25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Arsip Penting

Saya mulai catatan ini dengan sebuah pertanyaan: di manakah Anda menyimpan ijazah SD?

Dan, pertanyaan itu saya jawab sendiri (meski saya bebaskan kalau Anda mau juga menjawabnya). Jawabannya adalah di sebuah map yang berada di laci di meja komputer di ruang tengah rumah kontrakan saya.

Lalu, saya bertanya lagi: kenapa Anda bisa ingat di mana meletakkan ijazah SD?

Jawab saya (meski saya bebaskan kalau Anda mau juga menjawabnya): namanya ijazah berarti sesuatu yang penting. Jadi, untuk sesuatu yang penting harus dilakukan secara istimewa.

Ya, saya memang menganggap ijazah sebagai sesuatu yang penting; tidak peduli itu ijazah SD atau ijazah pendidikan di atasnya. Pasalnya, bagi saya, untuk meraih ijazah tersebut bukanlah gampang. Ayolah, untuk meraih ijazah SD kan butuh enam tahun. Itu bukan waktu yang singkat bukan? Bisa bayangkan berapa jam untuk mendapatkan ijazah itu? 24 dikali 365 hari dikali enam tahun: 52.560 jam! Anggaplah dalam enam tahun itui ada satu kali tahun kabisat, berarti tambah satu hari alias 24 jam. Maka, untuk meraih ijazah SD, saya menanti selama 52.584 jam.

Mungkin Anda akan berkata: tidak setiap hari kan sekolah? Jawab saya: memang! Tapi, soal ijazah tidak sekar soal jam sekolah, ini soal waktu yang saya habiskan dalam menanti kertas berharga itu.

Nah, dengan keadaan itu, tegakah saya membiarkan ijazah tersebut di sembarang tempat? Tentu saja tidak. Itulah sebab, dalam perjalanan hidup saya, sekian ijazah yang saya punya selalu saya jaga baik. Ketika saya meninggalkan Aceh dan kuliah di Jogjakarta, seluruh ijazah saya bawa. Pun, ketika saya meninggalkan Jogja untuk bekerja di Medan, ijazah tidak luput masuk dalam koper. Lalu, apakah dengan menceritakan hal ini saya bisa dikatakan hebat? Tentu saja tidak. Saya ingin menceritakan ini hanya karena ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara yang bermasalah dengan ijazah SD-nya. Sebut saja calon yang kehilangan ijazah SD.

Hal ini seharusnya tidak begitu penting dibahas seandainya saja tidak ada pernyataan Komisi Pemilihan Umum Sumatera Utara. Dinyatakan, calon wajib menyetor ijazah dari SD hingga pendidikan terakhir. Jika tidak lengkap hingga waktu yang ditentukan, sang calon bisa dicoret dari pencalonan. Repot kan? Bahaya kan?

Paling, Anda akan mengatakan, kalau tidak ada ijazah kan bisa pakai surat keterangan. Tentu saja saya sepakat dengan itu. Tapi, bagi saya tidak sesederhana itu. Pasalnya, ketika seorang calon pemimpin tidak bisa membuat arsip bgai sesuatu yang penting baginya, bagaimana dia bisa memetakan mana yang penting atau tidak penting saat memimpin Sumatera Utara nanti.

Artinya, dia akan cenderung melakukan sesuatu untuk menggantikan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, menggampangkan masalah. Misalnya, ketika dia memimpin, Sumut kekurangan beras. Maka, dia akan membuat keputusan impor beras dan bukan meningkatkan produksi beras petani Sumut. Ya, bukankah ijazah SD saja dia ganti dengan surat keterangan?

Akhirnya, Anda pasti akan mengatakan saya berlebihan dalam menyampaikan pikiran di atas. Dan, saya sepakat untuk itu. Setidaknya, untuk sesuatu yang penting kita memang harus berlebihan bukan? Hm, terserah jika Anda tak setuju. (*)

Saya mulai catatan ini dengan sebuah pertanyaan: di manakah Anda menyimpan ijazah SD?

Dan, pertanyaan itu saya jawab sendiri (meski saya bebaskan kalau Anda mau juga menjawabnya). Jawabannya adalah di sebuah map yang berada di laci di meja komputer di ruang tengah rumah kontrakan saya.

Lalu, saya bertanya lagi: kenapa Anda bisa ingat di mana meletakkan ijazah SD?

Jawab saya (meski saya bebaskan kalau Anda mau juga menjawabnya): namanya ijazah berarti sesuatu yang penting. Jadi, untuk sesuatu yang penting harus dilakukan secara istimewa.

Ya, saya memang menganggap ijazah sebagai sesuatu yang penting; tidak peduli itu ijazah SD atau ijazah pendidikan di atasnya. Pasalnya, bagi saya, untuk meraih ijazah tersebut bukanlah gampang. Ayolah, untuk meraih ijazah SD kan butuh enam tahun. Itu bukan waktu yang singkat bukan? Bisa bayangkan berapa jam untuk mendapatkan ijazah itu? 24 dikali 365 hari dikali enam tahun: 52.560 jam! Anggaplah dalam enam tahun itui ada satu kali tahun kabisat, berarti tambah satu hari alias 24 jam. Maka, untuk meraih ijazah SD, saya menanti selama 52.584 jam.

Mungkin Anda akan berkata: tidak setiap hari kan sekolah? Jawab saya: memang! Tapi, soal ijazah tidak sekar soal jam sekolah, ini soal waktu yang saya habiskan dalam menanti kertas berharga itu.

Nah, dengan keadaan itu, tegakah saya membiarkan ijazah tersebut di sembarang tempat? Tentu saja tidak. Itulah sebab, dalam perjalanan hidup saya, sekian ijazah yang saya punya selalu saya jaga baik. Ketika saya meninggalkan Aceh dan kuliah di Jogjakarta, seluruh ijazah saya bawa. Pun, ketika saya meninggalkan Jogja untuk bekerja di Medan, ijazah tidak luput masuk dalam koper. Lalu, apakah dengan menceritakan hal ini saya bisa dikatakan hebat? Tentu saja tidak. Saya ingin menceritakan ini hanya karena ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara yang bermasalah dengan ijazah SD-nya. Sebut saja calon yang kehilangan ijazah SD.

Hal ini seharusnya tidak begitu penting dibahas seandainya saja tidak ada pernyataan Komisi Pemilihan Umum Sumatera Utara. Dinyatakan, calon wajib menyetor ijazah dari SD hingga pendidikan terakhir. Jika tidak lengkap hingga waktu yang ditentukan, sang calon bisa dicoret dari pencalonan. Repot kan? Bahaya kan?

Paling, Anda akan mengatakan, kalau tidak ada ijazah kan bisa pakai surat keterangan. Tentu saja saya sepakat dengan itu. Tapi, bagi saya tidak sesederhana itu. Pasalnya, ketika seorang calon pemimpin tidak bisa membuat arsip bgai sesuatu yang penting baginya, bagaimana dia bisa memetakan mana yang penting atau tidak penting saat memimpin Sumatera Utara nanti.

Artinya, dia akan cenderung melakukan sesuatu untuk menggantikan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, menggampangkan masalah. Misalnya, ketika dia memimpin, Sumut kekurangan beras. Maka, dia akan membuat keputusan impor beras dan bukan meningkatkan produksi beras petani Sumut. Ya, bukankah ijazah SD saja dia ganti dengan surat keterangan?

Akhirnya, Anda pasti akan mengatakan saya berlebihan dalam menyampaikan pikiran di atas. Dan, saya sepakat untuk itu. Setidaknya, untuk sesuatu yang penting kita memang harus berlebihan bukan? Hm, terserah jika Anda tak setuju. (*)

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/