31.7 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Menyoal Spiritualitas Pendidikan Dalam Kepemimpinan

Oleh: Slamet Sudaryono

Arus deras modernisasi kehidupan tidak mampu dielakkan lagi, mempengaruhi setiap lini kehidupan yang berdampak terhadap terkikisnya nilai-nilai spiritualisme dalam kehidupan.  Akhir-akhir ini publik sering digemparkan dengan tindakan amoral yang dilakukan para pemimpin rakyat Mulai dari kasus manipulasi keadilan, kasus narkoba yang kian merajalela hingga korupsi yang kian jelas terungkap.

Melihat kenyataan yang terjadi sekarang ini, tentu sangat memprihatinkan. Seorang pemimpin yang terdidik seharusnya menggunakan pendidikannya untuk memberi contoh positif, berkorban dan memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya.

Namun kenyataannya justru berbalik makna, pemimpin yang seharusnya menjadi panutan justru menjadi pelaku dari perbuatan tidak bermoral itu sendiri yang jelas jauh dari nilai spiritual. Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang terdidik belum tentu bisa mengontrol prilakunya dalam bermasyarakat dan bernegara.

Begitu banyak orang yang terdidik dan berilmu akan tetapi justru menggunakan ilmunya di jalan yang salah. Itu artinya pendidikan tanpa disandingi sisi spiritulitas hanya akan dijadikan sebagai alat pembodohan belaka. Hal tersebut tentu sangat memprihatinkan, melihat perkembangan sistem pendidikan kian mengalami kemajuan.

Menurut UU NO. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pada dasarnya, pendidikan adalah suatu proses untuk menciptakan atau mewujudkan sebuah perubahan positif disegala bidang baik sosial maupun kultural. Dalam sejarahnya, Rasulullah menggunakan pendidikan untuk mewujudkan perubahan sosial dan kultural.

Tentunya pendidikan tersebut dilaksanakan secara tammatan (sempurna) dengan menjunjung tinggi nilai spiritual di dalam pendidikan, yang ditujukan untuk menyiapkan generasi kepemimpinan yang mampu menciptakan sejarah bagi peradaban bangsa maupun dunia.

Dengan adanya kemajuan dan modernisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, seharusnya menjadi motivasi untuk lebih meningkatkan taraf berposes dan memberikan peran terhadap pembangunan, namun justru sebaliknya, modernisasi malah mengarahkan pelaku didiknya kepada sifat manja yang individualis dan bersifat materialis, cenderung mengabaikan kepentingan umum dan lebih mengedepankan nafsu individualnya.

Proses pendidikan diharapkan mampu menciptakan leader yang memiliki nilai kemanusiaan yang adil, bijaksana dan beradab. Keadilan dan kebijaksanaan tidak akan dapat terealisasi di atas kebatilan yang dibangun atas  nafsu yang rakus dan hedonisme.

Dengan begitu peradaban yang merupakan induk dari sebuah pembangunan tidak akan terealisir. Dengan ditanamkannya spiritualisme dalam pendidikan, merubah sistem kepemimpinan yang awalnya mengedepankan nafsu dan hedonisme menjadi insan paripurna yang dapat mengkolaborasikan antara spiritual dengan pendidikan akan segera terwujud secara perlahan. Menciptakan sistem yang dingin, nyata, bersifat reformis terhadap apapun yang tidak sesuai , itulah buah tertanamnya nilai spiritual pendidikan dalam kepemimpinan.

Disisi lain, pendidikan dilaksanakan untuk menyiapkan generasi yang peka dan tanggap terhadap persoalan hidup dan kehidupan di masa sekarang dan yang akan datang. Untuk itu tidak cukup hanya sekedar memberi wawasan untuk pencapaian di masa depan yang bersifat umum tanpa dibekali dengan nilai-nilai spiritual yang menjadi pengontrol dalam berprilaku, Karena hal tersebut merupakan target capaian dalam jangka pendek atau menengah saja.
Untuk itu, perlu adanya penanaman nilai spiritual di dalam pendidikan sebagai target capaian untuk jangka panjang. Spiritulisme dianggap penting dalam pendidikan karena merupakan sebuah kontrol bagi prilaku dan pergerakan kepemimpinan di masa depan. Dengan tidak adanya kontrol dalam prilaku tentunya akan melahirkan pemimipin yang individualis, materialis dan konsumtif.

Adanya spiritualisme dalam pendidikan akan memberi dampak positif terhadap generai untuk menjadi pemikir yang produktif, peka terhadap masalah sosil dalam pembangunan dan memiliki kontrol dalam proses reformasinya.

Penjelasan tersebut tentunya memberikan pemahaman akan adanya usaha dan tujuan pendidikan bagi masa yang akan datang. Pertama, pendidikan adalah sebuah usaha yang dilakukan untuk meningkatkan mutu serta kualitas diri dalam bermasyarakat dan bernegara. Melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, pendidikan menjadi satu-satunya cara atau jalan yang harus tempuh untuk mengejar ketertinggalan.
Pendidikan di nilai sebagai sesuatu yang urgen karena dengan pendidikan kita dapat mengembangkan potensi terpendam yang harus di eksplor sehingga akan menghasilkan tindakan-tindakan yang memberi manfaat bagi dirinya pribadi maupun masyarakat di sekelilingnya yang nantinya berdampak positif pula terhadap pembangunan negara.

Kedua, dengan usaha dan proses pendidikan yang telah dilakukan tentu akan menambah khazanah berfikir seseorang yang terwujud dalam bentuk kecerdasan dan ketrampilan. Yang dengan hal tersebut, seseorang telah berada pada tingkatan selevel lebih tingggi dari sebelumnya karena sudah melalui proses yang panjang.

Dengan kecerdasan, manusia sudah dapat melakukan sesuatu yang memberikan pengaruh terhadap lingkungan sekitarnya dengan mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan bermasyarakat.

Dan yang  ketiga, setelah usaha dan proses panjang yang dilakukan dengan menghasilkan kecerdasan yang menjadikannya setingkat lebih tinggi dari sebelumnya, ada hal penting yang tidak boleh dilewatkan di dalam pendidikan yaitu tumbuhnya kekuatan spiritual keagamaan yang nantinya akan membawa kepada pengendalian diri atau kepribadian yang terkemas dalam akhlak mulia dan menjadi generasi yang adil, bijaksana dan beradab. Wallahu a’alam bi al-shawab.

Penulis  di  Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN) IAIN Walisongo, Penerima Beasiswa Unggulan Monash Institute Semarang.

Oleh: Slamet Sudaryono

Arus deras modernisasi kehidupan tidak mampu dielakkan lagi, mempengaruhi setiap lini kehidupan yang berdampak terhadap terkikisnya nilai-nilai spiritualisme dalam kehidupan.  Akhir-akhir ini publik sering digemparkan dengan tindakan amoral yang dilakukan para pemimpin rakyat Mulai dari kasus manipulasi keadilan, kasus narkoba yang kian merajalela hingga korupsi yang kian jelas terungkap.

Melihat kenyataan yang terjadi sekarang ini, tentu sangat memprihatinkan. Seorang pemimpin yang terdidik seharusnya menggunakan pendidikannya untuk memberi contoh positif, berkorban dan memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya.

Namun kenyataannya justru berbalik makna, pemimpin yang seharusnya menjadi panutan justru menjadi pelaku dari perbuatan tidak bermoral itu sendiri yang jelas jauh dari nilai spiritual. Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang terdidik belum tentu bisa mengontrol prilakunya dalam bermasyarakat dan bernegara.

Begitu banyak orang yang terdidik dan berilmu akan tetapi justru menggunakan ilmunya di jalan yang salah. Itu artinya pendidikan tanpa disandingi sisi spiritulitas hanya akan dijadikan sebagai alat pembodohan belaka. Hal tersebut tentu sangat memprihatinkan, melihat perkembangan sistem pendidikan kian mengalami kemajuan.

Menurut UU NO. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pada dasarnya, pendidikan adalah suatu proses untuk menciptakan atau mewujudkan sebuah perubahan positif disegala bidang baik sosial maupun kultural. Dalam sejarahnya, Rasulullah menggunakan pendidikan untuk mewujudkan perubahan sosial dan kultural.

Tentunya pendidikan tersebut dilaksanakan secara tammatan (sempurna) dengan menjunjung tinggi nilai spiritual di dalam pendidikan, yang ditujukan untuk menyiapkan generasi kepemimpinan yang mampu menciptakan sejarah bagi peradaban bangsa maupun dunia.

Dengan adanya kemajuan dan modernisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, seharusnya menjadi motivasi untuk lebih meningkatkan taraf berposes dan memberikan peran terhadap pembangunan, namun justru sebaliknya, modernisasi malah mengarahkan pelaku didiknya kepada sifat manja yang individualis dan bersifat materialis, cenderung mengabaikan kepentingan umum dan lebih mengedepankan nafsu individualnya.

Proses pendidikan diharapkan mampu menciptakan leader yang memiliki nilai kemanusiaan yang adil, bijaksana dan beradab. Keadilan dan kebijaksanaan tidak akan dapat terealisasi di atas kebatilan yang dibangun atas  nafsu yang rakus dan hedonisme.

Dengan begitu peradaban yang merupakan induk dari sebuah pembangunan tidak akan terealisir. Dengan ditanamkannya spiritualisme dalam pendidikan, merubah sistem kepemimpinan yang awalnya mengedepankan nafsu dan hedonisme menjadi insan paripurna yang dapat mengkolaborasikan antara spiritual dengan pendidikan akan segera terwujud secara perlahan. Menciptakan sistem yang dingin, nyata, bersifat reformis terhadap apapun yang tidak sesuai , itulah buah tertanamnya nilai spiritual pendidikan dalam kepemimpinan.

Disisi lain, pendidikan dilaksanakan untuk menyiapkan generasi yang peka dan tanggap terhadap persoalan hidup dan kehidupan di masa sekarang dan yang akan datang. Untuk itu tidak cukup hanya sekedar memberi wawasan untuk pencapaian di masa depan yang bersifat umum tanpa dibekali dengan nilai-nilai spiritual yang menjadi pengontrol dalam berprilaku, Karena hal tersebut merupakan target capaian dalam jangka pendek atau menengah saja.
Untuk itu, perlu adanya penanaman nilai spiritual di dalam pendidikan sebagai target capaian untuk jangka panjang. Spiritulisme dianggap penting dalam pendidikan karena merupakan sebuah kontrol bagi prilaku dan pergerakan kepemimpinan di masa depan. Dengan tidak adanya kontrol dalam prilaku tentunya akan melahirkan pemimipin yang individualis, materialis dan konsumtif.

Adanya spiritualisme dalam pendidikan akan memberi dampak positif terhadap generai untuk menjadi pemikir yang produktif, peka terhadap masalah sosil dalam pembangunan dan memiliki kontrol dalam proses reformasinya.

Penjelasan tersebut tentunya memberikan pemahaman akan adanya usaha dan tujuan pendidikan bagi masa yang akan datang. Pertama, pendidikan adalah sebuah usaha yang dilakukan untuk meningkatkan mutu serta kualitas diri dalam bermasyarakat dan bernegara. Melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, pendidikan menjadi satu-satunya cara atau jalan yang harus tempuh untuk mengejar ketertinggalan.
Pendidikan di nilai sebagai sesuatu yang urgen karena dengan pendidikan kita dapat mengembangkan potensi terpendam yang harus di eksplor sehingga akan menghasilkan tindakan-tindakan yang memberi manfaat bagi dirinya pribadi maupun masyarakat di sekelilingnya yang nantinya berdampak positif pula terhadap pembangunan negara.

Kedua, dengan usaha dan proses pendidikan yang telah dilakukan tentu akan menambah khazanah berfikir seseorang yang terwujud dalam bentuk kecerdasan dan ketrampilan. Yang dengan hal tersebut, seseorang telah berada pada tingkatan selevel lebih tingggi dari sebelumnya karena sudah melalui proses yang panjang.

Dengan kecerdasan, manusia sudah dapat melakukan sesuatu yang memberikan pengaruh terhadap lingkungan sekitarnya dengan mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan bermasyarakat.

Dan yang  ketiga, setelah usaha dan proses panjang yang dilakukan dengan menghasilkan kecerdasan yang menjadikannya setingkat lebih tinggi dari sebelumnya, ada hal penting yang tidak boleh dilewatkan di dalam pendidikan yaitu tumbuhnya kekuatan spiritual keagamaan yang nantinya akan membawa kepada pengendalian diri atau kepribadian yang terkemas dalam akhlak mulia dan menjadi generasi yang adil, bijaksana dan beradab. Wallahu a’alam bi al-shawab.

Penulis  di  Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN) IAIN Walisongo, Penerima Beasiswa Unggulan Monash Institute Semarang.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/