Mau sukses? Bekerjalah dengan keras. Belajarlah dengan baik. Belajarlah untuk bekerja dengan keras dan pintar. Wkwkwkwk… Yang bener aja!
***
Ternyata jadi orang Indonesia itu harus tahan dengan konflik batin, dengan inkonsistensi, dengan contradictory, dengan mencla-mencle. Lagi pula, di negara mana lagi ada istilah ’’jam karet’’ dan itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar?
Untuk meraih sukses di Indonesia, kita tidak hanya harus mau kerja keras. Kreatif saja tidak cukup. Pintar saja tidak cukup. Baru-baru ini ada yang mengingatkan istilah yang lebih pas. Yaitu, ’’Lihai’’.
Ya, untuk meraih sukses di Indonesia, kita harus lihai.
’’Lihai’’ pada dasarnya jago menyiasati situasi. Bisa positif, menyelesaikan masalah dengan trik tertentu. Tanpa menyakiti, memberikan manfaat untuk semua pihak.
Mungkin bisa juga bohong tipis-tipis, tapi niat dasarnya baik, berakhir dengan manfaat dan kebaikan. Kadang ini perlu dilakukan, karena yang dibohongi mungkin belum tahu kalau akan mendapatkan manfaat banyak.
Bisa juga negatif, karena lihai bisa menjurus ke licik.
Positif atau negatif, kembali ke niat dasarnya.
Sama dengan banyak hal lain di Indonesia, untuk jadi lihai ini tidak ada pelajarannya di sekolah. Mungkin ada pelajaran agama, pelajaran pendidikan moral, tapi mungkin tidak ada yang sampai terapan atau studi kasus.
Lha buktinya, banyak orang yang kelihatannya paling taat beragama justru menjadi orang yang paling lihai dalam artian negatif!
Setelah tujuh tahun sekolah di luar negeri, dan pulang dengan gelar cum laude, saya tetap butuh waktu tahunan lagi untuk memahami dan bisa menerapkan apa itu ’’lihai’’.
Kalau di negara maju, segalanya memang lebih gampang. Bilang ’’A’’, hasilnya akan ’’A’’. Sistemnya jelas, orang-orangnya jelas (walau mungkin tidak semua).
Dan mungkin itu sudah bawaan sejak lahir.
Waktu SMA di Kansas, saat weekend saya pernah menjadi pelatih sepak bola untuk anak-anak SD kelas 1 dan 2. Di kota saya, hampir semua warganya kulit putih. Jadi, semua anak yang ikut program saya juga kulit putih.
Lumayan, bayarannya pada 1993 itu USD 15 per jam.
Ya ampun, alangkah gampangnya jadi pelatih anak SD di sana. Anak-anak kelas 1 dan 2 itu sudah begitu disiplin menerima instruksi dan menerapkannya.
Ketika diminta baris, begitu cepat mereka tertib berbaris. Ketika waktu itu diminta main umpan-umpanan, mereka melakukannya dengan tertib. Tidak ada godaan untuk menendang bola ke gawang atau main semaunya.
Mereka mau nurut, dan hanya menuntut satu hal. Di akhir setiap sesi, saya mendemonstrasikan tendangan salto ke gawang. Ehm, ehm, ya, saya dulu bisa melakukannya. Foto saya menendang salto bahkan pernah dimuat di halaman depan koran lokal. Hehehe…
Di tempat kita? Minta ampun. Kita harus lihai membujuk anak-anak untuk tertib, tidak semaunya.
Memang, kadang ada ibu-ibu yang bilang ’’Kan masih anak-anak…’’
Lha di negara lain, anak-anaknya kok lebih tertib? Salah di mana ini? Dan dipikir-pikir, anak-anak saya juga kayaknya susah diatur! Wkwkwkwk…