27.8 C
Medan
Friday, May 24, 2024

Aliansi Buruh Maksimal Tuntut Revisi UMP Sumut 2022, Gubsu Jangan Buru-buru Teken UMK

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Elemen buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Maksimal menggelar aksi di Kantor Gubernur Sumut, Jalan Pangeran Diponegoro Medan, Selasa (30/11). Mereka menuntut upah minimum provinsi (UMP) Sumut 2022 yang cuma naik 0,93 persen atau Rp23.126,94 segera direvisi. Mereka juga meminta Gubsu untuk tidak buru-buru meneken surat keputusan (SK) upah minimum kabupaten/kota (UMK).

ORASI: Koordinator aksi, Willy Agus Utomo menyampaikan orasinya di depan kantor Gubernur Sumatera Utara, Jalan Pangeran Diponegoro, Medan, Selasa (30/11). Dalam aksi ini, mereka mendesak Gubsu untuk merivisi UMP 2022 dan tidak buru-buru meneken SK UMK yang direkomendasikan bupati dan wali kota se-Sumut.dewi/sumu tpos.

Mereka yang melakukan aksi, merupakan gabungan dari 13 elemen buruh diantaranya, FSPMI, KSPI, FSPI Serbunas, Serbundo dan lainnya ini. Mereka menilai, kenaikan UMP tidak memenuhi hak-hak dari para buruh.

Koordinator aksi, Willy Agus Utomo mendesak Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi untuk segera melakukan revisi UMP Sumut tahun 2022. Karena, ditetapkan sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan PP 36 UU Cipta Kerja tentang Pengupahan dinyatakan inkonstitusional.

“Kami meminta Gubernur Sumut merevisi UMP yang hanya naik 0,93 persen, untuk dinaikan menjadi 7 persen sampai maksimalnya 10 persen. Karena berdasarkan UU Cipta Kerja harusnya PP 36 itu tak boleh dipaksakan, karena sudah dibatalkan oleh MK, walau ada statemen pemerintah yang berbeda,” katanya.

Willy mengatakan, Edy Rahmayadi sebagai pimpinan tertinggi di Pemerintahan Provinsi Sumut ini, harus melihat keseluruhan apa menjadi aturan yang berlaku. Sehingga harus dilakukan revisi UMP Sumut ini. “Kami sudah menyerahkan tadi legal opinion, bahwasannya UU Cipta Kerja itu yang berkaitan dengan hak buruh, khususnya yang luas secara menyeluruh itu tidak boleh dipaksakan berlaku sebelum ada perbaikan,” ucap Willy.

Di samping itu juga, Aliansi Buruh Maksimal ini meminta kepada Gubernur Edy untuk tidak langsung menandatangani upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2022 yang telah direkomendasikan bupati dan wali kota dengan mengacu PP 36 Tahun 2021 tentang pengupahan. “Hari ini kita ketahui, bupati dan wali kota di Sumut sudah mengirim rekomendasi UMK-nya ke Gubsu. Bahkan ada yang tengah malam tadi dipaksakan, padahal rekomnya jelas tidak mengakomodir tuntutan buruh tentang upah layak. Jadi kita minta agar Gubsu jangan buru-buru menandatanganinya. Lihat kondisi buruhmu hari ini dan perkembangan nasional,” tegasnya.

“Kami sudah kasih pertimbangan hukum. Kami juga akan memberikan fakta-fakta di lapanyan bahwa buruh hari ini tak cukup upahnya dengan naik 0,93 persen itu. Jadi kami minta adanya kenaikan,” sambung Willy.

Terlebih, UMP dan UMK baru akan berlaku pada Januari 2022 mendatang, sehingga buruh berharap ada dilakukan kajian ekonomi hukum, serta pemerintah melihat kondisi sosial ekonomi para buruh saat ini. “Dan sekali lagi kami minta, Gubernur Sumut jangan buru-buru tanda tangani upah minimum kabupaten kota. Kami mohon jangan dulu ditandatangani,” tegas Willy.

Pasca putusan MK tentang UU Cipta Kerja, lanjut Willy, sudah banyak kepala daerah, baik gubernur, bupati, dan walikota yang sudah merevisi kenaikan UMP dan UMK. “Seperti di DKI Jakarta, Gubernur Anies udah berjanji pada buruh akan memperbaiki kenaikan UMP-nya, serta beberapa daerah lain seperti UMK Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya, Bekasi, Purwakarta, Cianjur, Karawang, Tangerang, dan lain-lain, rata-rata direvisi naik di atas 5-7 persen,” ungkapnya.

Selain itu, sambungnya, para buruh juga meminta agar pemerintah tidak hanya memperbaiki UU Cipta Kerja, akan tetapi agar segera dicabut dari Perundang-Undangan yang berlaku, karena telah melanggar konstitusi UUD 45. Willy juga mengancam akan menggelar aksi besar-besaran di Sumut, jika Gubsu tidak menyahuti tuntutan para buruh. “Kita pastikan akan mengerahkan massa yang lebih besar lagi, jika Gubsu tidak merevisi UMP dan UMK se Sumut, bahkan bila perlu aksi menginap di Kantor Gubsu ini,” ancamnya.

Bila pada akhirnya tuntutan mereka tak kunjung mendapat tanggapan, maka Aliansi Buruh Maksimal mewacanakan mogok kerja selama tiga hari, bahkan melakukan aksi menginap di kantor Gubernur Sumut. “Memang kami ada wacana untuk melaksanakan aksi pada tanggal 6-8 Desember, tiga hari penuh. Bahkan akan melakukan aksi menginap, bila Gubernur Sumut tak merespon tuntutan buruh untuk bersama, merevisi UMP,” tandasnya.

Setengah jam berorasi, perwakilan para buruh dipersilahkan masuk oleh pihak Pemprovsu, Willy dan elemen lain terlihat menyerahkan surat Legal Opinion (Pendapat Hukum) kepada Bagian Kesekretariatan Pemprov Sumut. Aksi para buruh juga mendapat kawalan pihak Kepolisian dan Satpol PP. (gus/dwi)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Elemen buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Maksimal menggelar aksi di Kantor Gubernur Sumut, Jalan Pangeran Diponegoro Medan, Selasa (30/11). Mereka menuntut upah minimum provinsi (UMP) Sumut 2022 yang cuma naik 0,93 persen atau Rp23.126,94 segera direvisi. Mereka juga meminta Gubsu untuk tidak buru-buru meneken surat keputusan (SK) upah minimum kabupaten/kota (UMK).

ORASI: Koordinator aksi, Willy Agus Utomo menyampaikan orasinya di depan kantor Gubernur Sumatera Utara, Jalan Pangeran Diponegoro, Medan, Selasa (30/11). Dalam aksi ini, mereka mendesak Gubsu untuk merivisi UMP 2022 dan tidak buru-buru meneken SK UMK yang direkomendasikan bupati dan wali kota se-Sumut.dewi/sumu tpos.

Mereka yang melakukan aksi, merupakan gabungan dari 13 elemen buruh diantaranya, FSPMI, KSPI, FSPI Serbunas, Serbundo dan lainnya ini. Mereka menilai, kenaikan UMP tidak memenuhi hak-hak dari para buruh.

Koordinator aksi, Willy Agus Utomo mendesak Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi untuk segera melakukan revisi UMP Sumut tahun 2022. Karena, ditetapkan sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan PP 36 UU Cipta Kerja tentang Pengupahan dinyatakan inkonstitusional.

“Kami meminta Gubernur Sumut merevisi UMP yang hanya naik 0,93 persen, untuk dinaikan menjadi 7 persen sampai maksimalnya 10 persen. Karena berdasarkan UU Cipta Kerja harusnya PP 36 itu tak boleh dipaksakan, karena sudah dibatalkan oleh MK, walau ada statemen pemerintah yang berbeda,” katanya.

Willy mengatakan, Edy Rahmayadi sebagai pimpinan tertinggi di Pemerintahan Provinsi Sumut ini, harus melihat keseluruhan apa menjadi aturan yang berlaku. Sehingga harus dilakukan revisi UMP Sumut ini. “Kami sudah menyerahkan tadi legal opinion, bahwasannya UU Cipta Kerja itu yang berkaitan dengan hak buruh, khususnya yang luas secara menyeluruh itu tidak boleh dipaksakan berlaku sebelum ada perbaikan,” ucap Willy.

Di samping itu juga, Aliansi Buruh Maksimal ini meminta kepada Gubernur Edy untuk tidak langsung menandatangani upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2022 yang telah direkomendasikan bupati dan wali kota dengan mengacu PP 36 Tahun 2021 tentang pengupahan. “Hari ini kita ketahui, bupati dan wali kota di Sumut sudah mengirim rekomendasi UMK-nya ke Gubsu. Bahkan ada yang tengah malam tadi dipaksakan, padahal rekomnya jelas tidak mengakomodir tuntutan buruh tentang upah layak. Jadi kita minta agar Gubsu jangan buru-buru menandatanganinya. Lihat kondisi buruhmu hari ini dan perkembangan nasional,” tegasnya.

“Kami sudah kasih pertimbangan hukum. Kami juga akan memberikan fakta-fakta di lapanyan bahwa buruh hari ini tak cukup upahnya dengan naik 0,93 persen itu. Jadi kami minta adanya kenaikan,” sambung Willy.

Terlebih, UMP dan UMK baru akan berlaku pada Januari 2022 mendatang, sehingga buruh berharap ada dilakukan kajian ekonomi hukum, serta pemerintah melihat kondisi sosial ekonomi para buruh saat ini. “Dan sekali lagi kami minta, Gubernur Sumut jangan buru-buru tanda tangani upah minimum kabupaten kota. Kami mohon jangan dulu ditandatangani,” tegas Willy.

Pasca putusan MK tentang UU Cipta Kerja, lanjut Willy, sudah banyak kepala daerah, baik gubernur, bupati, dan walikota yang sudah merevisi kenaikan UMP dan UMK. “Seperti di DKI Jakarta, Gubernur Anies udah berjanji pada buruh akan memperbaiki kenaikan UMP-nya, serta beberapa daerah lain seperti UMK Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya, Bekasi, Purwakarta, Cianjur, Karawang, Tangerang, dan lain-lain, rata-rata direvisi naik di atas 5-7 persen,” ungkapnya.

Selain itu, sambungnya, para buruh juga meminta agar pemerintah tidak hanya memperbaiki UU Cipta Kerja, akan tetapi agar segera dicabut dari Perundang-Undangan yang berlaku, karena telah melanggar konstitusi UUD 45. Willy juga mengancam akan menggelar aksi besar-besaran di Sumut, jika Gubsu tidak menyahuti tuntutan para buruh. “Kita pastikan akan mengerahkan massa yang lebih besar lagi, jika Gubsu tidak merevisi UMP dan UMK se Sumut, bahkan bila perlu aksi menginap di Kantor Gubsu ini,” ancamnya.

Bila pada akhirnya tuntutan mereka tak kunjung mendapat tanggapan, maka Aliansi Buruh Maksimal mewacanakan mogok kerja selama tiga hari, bahkan melakukan aksi menginap di kantor Gubernur Sumut. “Memang kami ada wacana untuk melaksanakan aksi pada tanggal 6-8 Desember, tiga hari penuh. Bahkan akan melakukan aksi menginap, bila Gubernur Sumut tak merespon tuntutan buruh untuk bersama, merevisi UMP,” tandasnya.

Setengah jam berorasi, perwakilan para buruh dipersilahkan masuk oleh pihak Pemprovsu, Willy dan elemen lain terlihat menyerahkan surat Legal Opinion (Pendapat Hukum) kepada Bagian Kesekretariatan Pemprov Sumut. Aksi para buruh juga mendapat kawalan pihak Kepolisian dan Satpol PP. (gus/dwi)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/