Para relawan memang terlihat bekerja keras melayani seluruh kebutuhan pasien. Ada yang memapah pasien berjalan karena penglihatannya kabur, ada yang sigap menggendong pasien di punggungnya saat akan pindah dari satu ruangan ke ruangan lain, ada yang mendorong kursi roda berisi pasien dari ruang operasi ke ruang pemilihan, ada yang kebagian meneteskan obat mata ke pasien, dll.
Relawan dari Drs Koffie dan MBI tanpa banyak cingcong sibuk mengurus pernik-pernik tas dan isinya yang akan dibagikan ke pasien. Tas oranye itu diisi kaus, obat tetes mata, kain kasa, plester, buku panduan, dan lain-lain. Meski terlihat sepele, mengurus ratusan tas seperti itu juga butuh kerja keras para relawan mendukung kesuksesan kegiatan.
Sebuah pemandangan menarik lainnya adalah seorang pria berkulit putih bermata sipit, yang sangat rajin memasang kain warna hijau ke kepala pasien yang sedang antri operasi, memasangkan baju biru, membubuhkan obat tetes mata, dll. Semuanya dikerjakan si pria dengan kalem, tanpa terlihat sibuk ke sana ke mari.
Pria itu terlihat pada hari Minggu di RS Tentara Padangsidimpuan, juga hari Senin, hari Selasa, dan hari Rabu. Sejak pagi hingga malam.
”Nama saya Kasui, usia 60 tahun. Pekerjaan wiraswasta,” katanya saat diajak ngobrol.
Ia mengaku relawan dari Majelis Budha Indonesia (MBI) Padangsidimpuan. Tahun ini adalah ketigakalinya ia jadi relawan operasi katarak yang digelar Tambang Emas Martabe.
Kenapa bapak mau jadi relawan?
”Oh… menolong orang lain itu rasanya di atas bahagia. Rasa manisnya serasa di nirwana. Bahkan tour ke luar negeri saja kalah nikmatnya,” kata pria yang menjadi relawan bersama istrinya itu, sambil tertawa cerah.
Katanya, melihat ibu-ibu dan anak-anak kecil yang menderita katarak, ia serasa diingatkan bahwa manusia terkadang kurang bersyukur memiliki mata yang masih melihat dengan baik. ”Melihat pasien yang sudah tua tapi masih semangat ikut operasi demi melihat indahnya dunia, saya ikut ketularan semangat. Ada pasien yang berkata: ’Kapan lagi kulihat dunia?’ Rasanya gimana gitu saat mendengarnya,” kata Kasui.
Sering ia lupa jam makan saat menjadi relawan. Tapi begitu melihat pasien bisa melihat kembali, ia mengaku, puas sekali. ”Rasanya nggak sia-sia capek kita. Apalagi saat ada pasien yang bilang terima kasih dengan tulus tanpa dibuat-buat. Makanya saya kembali dan kembali lagi menjadi relawan,” kata warga Jalan Thamrin Padangsidimpuan itu.
Ia lantas menceritakan pengalamannya yang berkesan dengan pasien. Seorang pasien ibu yang terlihat sudah tua, dipapahnya menuju ruang operasi. ”Eh malah si ibu itu pula yang memegang kita seolah kita yang perlu dipapah. Padahal tubunya kurus dan matanya katarak,” kekehnya.
Pengalaman menarik lainnya diungkapkan sejumlah relawan. Tari misalnya, relawan Martabe, mengaku terinspirasi melihat Kumar Shrestha, paramedis asal Nepal, yang selalu bekerja dengan hati gembira dan ikhlas, meski harus menangani ratusan pasien per hari. ”Dia selalu enjoy. Dari dia saya belajar rileks dalam bekerja melayani pasien dalam situasi seberat apapun,” cetusnya.
Relawan lainnya, secara senada mengatakan mengalami interaksi dengan pasien, yang memberi pengalaman berharga tentang indahnya menolong orang lain.
Tak kalah dengan seluruh pelayanan relawan yang melayani pasien, ada sosok relawan pendukung relawan lainnya. Dia adalah Faisal Abdi Harahap. Pria 40 tahun ini terlihat selalu sigap melayani kebutuhan para relawan Martabe, mulai dari sarana transportasi, menyediakan snack, bahkan mengangkat perlengkapan obat-obatan bagi pasien.
”Saya bisa dikatakan sebagai pendukung para relawan. Jam 6 pagi harus berangkat dari rumah untuk menjemput relawan, dan baru pulang ke rumah pukul 11 malam,” cetusnya sambil tak lupa memamerkan senyum.
Tas rangselnya terkenal sebagai ’kantong Dora Emon’. Dan dia siap sedia mengedarkan kantong ’Dora Emon’ itu ke para relawan yang tersebar di berbagai ruangan rumah sakit. ”Butuh Aqua?” tanyanya tersenyum, seraya membuka kantong ’Dora Emonnya’.
Tak heran, ia menjadi sosok yang cukup sering dicari. ”Lihat Pak Faisal?” (*)