Dikatakan Uchok, angka fee hingga 20 persen itu lumayan besar. Pasalnya, itu hanya untuk satu proyek saja. Jika semua proyek harus bocor untuk fee 20 persen, itu sama saja uang APBD untuk angaran pembangunan menguap 20 persen masuk ke kantong oknum pejabat. “Karena pengusahanya kalau tak mau kasih fee, tahun berikutnya gak bakalan dikasih proyek lagi,” ujarnya.
Uchok mengakui, memang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menegaskan
memberikan perhatian khusus kepada Sumut, juga Riau dan Banten, yang merupakan daerah yang subur korupsinya. Tapi para pejabat yang bermental korup juga paham bahwa tenaga KPK terbatas, tidak akan mampu melakukan pengawasan secara intens dan menyeluruh.
“Jadi KPK tidak bisa menjadi jagoan sendirian. Sudah beberapa kali ada shock therapy di Sumut, tapi ya begitu-begitu saja, korupsi jalan terus dengan beragam modus. Hanya modus bansos saja yang berkurang,” cetusnya.
Lantas bagaimana cara penghentian modus fee yang efektif? Uchok mengatakan, KPK harus memberdayakan kekuatan masyarakat sipil seperti LSM yang konsen pada pemberantasan korupsi.
Lembaga antirasuah itu, lanjutnya, harus rajin menggelar pelatihan-pelatihan kepada masyarakat mengenai cara mengendus dugaan korupsi dan mekanisme pelaporannya ke KPK.
Dalam kasus fee proyek, lanjut Uchok, masyarakat bisa meminta data kepada pemda mengenai proyek-proyek yang akan dikerjakan, berapa nilainya, siapa peserta tender, dan bisa ikut melakukan pengawasan pengerjaan proyek.
“Masyarakat harus didorong ikut mengawasi dan melaporkan ke KPK. Sudah ada Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik, masyarakat berhak tahu proyek-proyek apa yang dikerjakan dan siapa yang mengerjakan,” terangnya.
“Publik harus berani melakukan pengawasan karena KPK tidak bisa menjadi jagoan sendirian,” pungkasnya. (cr-13/sam/rbb)