28.9 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Peternak Diminta Antisipatif

drh Agustia Kepala Balai Veteriner Medan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – BALAI Veteriner Medan memastikan bangkai babi yang ditemukan di Sungai Bederah terjangkit virus hog cholera dan terindikasi African Swine Fever (ASF). Bahkan, beberapa kabupaten/kota di Sumut juga demikian. Hal itu berdasarkan hasil uji laboratorium yang dilakukan instansi tersebut, yang mengambil sampel pada beberapa daerah selain Medan.

Kita tidak bisa menyatakan hanya berdasarkan gejala saja, tetapi harus dari hasil uji laboratorium.”

drh Agustia
Kepala Balai Veteriner Medan

Karenanya, untuk mencegah penyebaran virus hog cholera, peternak babi diminta melakukan langkah-langkah antisipatif.

Kepala Balai Veteriner Medan, drh Agustia mengungkap, tindakan yang bisa dilakukan oleh peternak babi sebagai pencegahan ada empat hal. Pertama, dengan memperketat lalu lintas ternak babi. Pasalnya, virus penyakit tersebut tidak terlihat secara kasat mata. Misalnya, ada ternak babi yang sehat seperti pada umumnya. Akan tetapi, beberapa hari kemudian tiba-tiba sakit hingga kemudian mati.

Oleh sebab itu, diimbau jangan membeli ternak babi dengan harga yang murah atau jauh di bawah harga pasaran. Curigalah terhadap harga jual babi yang murah tersebut dan tidak mudah tergiur. “Sebagai contoh, ada ternak babi yang sakit. Kemudian, pemiliknya menjual dengan harga murah karena daripada nantinya sia-sia lantaran mati,” ungkap Agustia yang diwawancarai di kantornya, akhir pekan lalu.

Pencegahan kedua, sebut Agustia, dengan biosecurity. Artinya, usaha untuk menjaga suatu daerah dari masuknya agen penyakit, menjaga tersebarnya agen penyakit dari daerah tertentu, dan menjaga agar suatu penyakit tidak menyebar di dalam daerah tersebut. Dengan kata lain, tidak saling besuk atau menjenguk antar peternak babi. Terlebih,virus ASF belum ada obat dan vaksinnya.

“Misalnya, meminta peternak lain untuk mengecek atau memeriksa hewan ternak kita yang kebetulan sakit. Jika itu dilakukan, maka hewan ternak milik peternak lain bisa berpotensi tertular penyakit hewan ternak kita yang sakit. Sebab, virus itu bisa saja menempel pada manusia dan kemudian ketika masuk kandang babi yang sehat lalu berpindah. Apalagi, babi yang sakit dibawa ke kandang babi yang sehat,” terang Agustia.

Ketiga, lanjut dia, bangkai babi yang mati dimohon untuk dikubur atau dibakar. Jangan dibuang ke sungai bangkainya, sebab apabila ada orang yang menggunakan air sungai yang sudah tercemar oleh virus bangkai babi tersebut untuk disemprot ke kandang ternak babinya, maka otomatis tertular. Selain itu, jangan dibuang ke semak-belukar atau hutan. Karena, kalau dibuang ke hutan maka bisa menularkan kepada babi hutan.

“Keempat, dengan manajemen kandang. Misalnya, pagi dan sore disemprot disinfektan setelah dicuci atau dibersihkan kandangnya. Bahkan, kalau bisa sesering mungkin dilakukan. Memang tidak bisa membunuh virus ASF, tetapi paling tidak bisa menghambat adanya dugaan penyebaran virus penyakit tersebut,” papar Agustia.

Lebih jauh dia mengatakan, pihaknya telah mengambil sampel pada 11 kabupaten/kota di Sumut. Dari 11 wilayah tersebut, 7 di antaranya positif hog cholera dan terindikasi virus ASF.

Namun, ketujuh wilayah tersebut sayangnya Agustia tidak bisa membeberkan karena masih sebatas indikasi ASF. Sebab, jika disebutkan dimana saja maka khawatir nantinya salah mengartikan. Dengan kata lain, bisa bias maknanya di masyarakat apabila tidak memahami secara benar.

“Kenapa terindikasi ASF, karena penyakit tersebut belum pernah ada dan terjadi di Indonesia, termasuk di Sumut. Memang indikasinya ada, tetapi belum tentu positif dan belum tentu negatif. Indikasinya ada pada 7 kabupaten/kota dari 11 kabupaten/kota yang dilakukan pemeriksaan uji sampel,” jelasnya.

Menurut Agustia, pada awal Oktober, sebetulnya pihaknha sudah mendapatkan hasil pengujian sampel yang dilakukan selama 7 atau 8 hari. Akan tetapi, belum berani menyampaikannya karena perlu pengujian kembali untuk benar-benar memastikan positif hog cholera dan terindikasi ASF.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu ternyata laporan atau informasi dari beberapa daerah yang mengalami kasus yang hampir sama terus masuk ke pihaknya. Untuk itu, dilakukan kroscek ke lapangan dan mengambil sampel. Hasilnya, di atas tanggal 20 Oktober telah diketahui bahwa penyebab kematian babi tersebut terkena virus hog cholera.

“Meski virus ASF belum ada di Indonesia, kita bekerja dengan skala atau standar ASF. Artinya, langkah-langkah yang dilakukan seakan-akan virus tersebut telah ada. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi jika nanti virus tersebut memang benar ada, sehingga kita tidak panik. Sebab, apabila ada virus ASF di Indonesia maka akan berdampak luas, seperti tidak boleh ekspor, penutupan suatu daerah yang terkena virus tersebut, disinfektan dan lain sebagainya,” bebernya.

Diutarakan dia, sampel yang diambil dan telah diuji sejauh ini dari hewan ternak rakyat atau skala kecil, bukan peternak skala besar yang memiliki izin usaha. Sebab, Agustia mengaku, pihaknya belum mendapat laporan dari dinas terkait yang memiliki kewenangan.

“Kami meyakini belum ada kematian babi dari peternak skala besar, karena penyakit virus ASF ataupun hog cholera dapat tertular bukan lewat angin atau udara. Melainkan, harus ada kontak langsung antara babi dengan babi,” ujarnya.

Selain itu, sambung Agustia, penularan virus tersebut juga bisa lewat manusia. Misalnya, ada orang yang baru masuk dan keluar dari kandang babi yang terkena penyakit tersebut. Selanjutnya, orang itu masuk ke kandang babi lainnya.

Jika itu terjadi, maka pastiakan tertular babi yang tadinya sehat. Oleh sebab itu, ketika orang akan masuk ke kandang babi maka disarankan untuk bersih-bersih dengan sabun, deterjen, mandi atau ganti baju. Hal ini yang dimaksudkan salah satu dari biosecurity, atau proteksi adanya penyebaran penyakit tersebut.

Disinggung mengenai bangkai babi yang hanyut di Sungai Bederah apakah milik peternak rakyat skala kecil atau skala besar? Agustia menyakini bangkai tersebut milik peternak skala kecil. Alasannya, populasi babi di Sumut jumlahnya mencapai 1.292.741 ekor. Sebagian besar dari populasi babi tersebut atau sekitar 90 persen, merupakan skala kecil yang memelihara di belakang rumah.

Makanya, kemungkinan ketika babinya mati, peternak rakyat tersebut tidak tahu mau dilakukan apa? Memang matinya tidak sekaligus jika terkena hog cholera, misalnya hari ini satu ekor dan besok satu ekor lagi. Lalu, di tempat lain juga mati satu ekor hingga seterusnya. Kemudian, dibuang ke sungai yang kebetulan pada sungai dan hari yang sama.

Sebab, kalau dikubur mungkin pemiliknya sudah lelah karena sebelumnya telah ada yang mati. Terlebih, berat dari rata-rata babi ada yang mencapai 50 kg lebih, 80 kg hingga 100 kg lebih. “Makanya, kalau hari ini mati terus dikubur, lalu besok dan lusa juga ada yang mati, tentu melelahkan. Jadi, kemungkinan karena sudah lelah pemiliknya, sehingga dibuang ke sungai,” cetusnya.

Agustia menyatakan, guna mencegah penyebaran penyakit hog cholera dan juga virus ASF, membutuhkan seluruh pihak termasuk masyarakat. Sebab, untuk obat dan vaksin dari virus ASF belum ada ditemukan di dunia.

“China saja terpaksa mengubur hidup-hidup 1,2 juta ekor babi, termasuk yang masih sehat karena diduga tertular virus ASF. Sebab, belum diketahui bagaimana untuk mengobatinya. Maka dari itu, daripada bermasalah nantinya, sehingga dengan terpaksa dimatikan secara massal,” bebernya.

Dijelaskan dia, jika babi terserang virus ASF maka pada hari ke-0 mulai terkena virus tersebut sampai hari ke-7, babi itu belum mati dan bahkan terlihat sehat sepert babi lainnya. Namun, pada hari ke-12 dipastikan 90 hingga 100 persen populasi, hanya dua hari menunjukkan sakit.

Tetapi, selama 7 hari virus tersebut sudah ada di babi itu. “7 sampai 12 hari baru mati, tetapi dengan catatan kategori akut. Dalam kondisi ini tidak ditemukan gejala-gejalanya, babinya sehat-sehat seperti pada umumnya. Namun, biasanya satu hari sebelum mati, babi tersebut tak mau makan,” jabarnya.

Tak hanya itu, ada juga dari hari ke-0 sampai ke-21 baru mati, dan ini masuk kategori soft akut. Masih ada lagi, dari hari ke-0 sampai ke-31 masih hidup dan serangan telah berlalu. Akan tetapi, babi tersebut di tubuhnya mengandung virus. Artinya, pembawa atau carrier dan ini banyak warga yang tidak tahu.

Padahal, babi tersebut menjadi mesin penular terhadap babi lainnya. “Apabila terjadi kondisi seperti itu, maka pilihannya sangat sulit. Namun, mau tidak mau maka layaknya harus dibunuh semua populasi babi tersebut. Sebab, jika tidak maka akan menularkan kepada babi lainnya yang sehat,” tegasnya.

Ia menambahkan, gejala hog cholera dengan virus ASF tak jauh berbeda atau bahkan hampir sama. Mulai dari babi tak mau makan, sampai keluar darah dari puting susunya. “Kita tidak bisa menyatakan hanya berdasarkan gejala saja, tetapi harus dari hasil uji laboratorium. Jadi, perbedaan hog cholera dengan ASF, karena ASF sistemik.

Artinya, kalau sudah masuk ke darah maka virus tersebut menghancurkan seluruh organ tubuh. Hal ini berarti, tingkat kematian tinggi dan jumlah kematian besar. Sampai sekarang bahkan di negara manapun, belum ada vaksin atau obat penyakit virus ASF.

Namun demikian, kedua penyakit tersebut bersifat zoonosis atau tidak menular ke manusia. Penularannya hanya ke hewan sejenisnya saja. Daging dari hewan yang terkena kedua penyakit tersebut boleh dimakan, asalkan dimasak secara benar,” tandasnya. (ris)

drh Agustia Kepala Balai Veteriner Medan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – BALAI Veteriner Medan memastikan bangkai babi yang ditemukan di Sungai Bederah terjangkit virus hog cholera dan terindikasi African Swine Fever (ASF). Bahkan, beberapa kabupaten/kota di Sumut juga demikian. Hal itu berdasarkan hasil uji laboratorium yang dilakukan instansi tersebut, yang mengambil sampel pada beberapa daerah selain Medan.

Kita tidak bisa menyatakan hanya berdasarkan gejala saja, tetapi harus dari hasil uji laboratorium.”

drh Agustia
Kepala Balai Veteriner Medan

Karenanya, untuk mencegah penyebaran virus hog cholera, peternak babi diminta melakukan langkah-langkah antisipatif.

Kepala Balai Veteriner Medan, drh Agustia mengungkap, tindakan yang bisa dilakukan oleh peternak babi sebagai pencegahan ada empat hal. Pertama, dengan memperketat lalu lintas ternak babi. Pasalnya, virus penyakit tersebut tidak terlihat secara kasat mata. Misalnya, ada ternak babi yang sehat seperti pada umumnya. Akan tetapi, beberapa hari kemudian tiba-tiba sakit hingga kemudian mati.

Oleh sebab itu, diimbau jangan membeli ternak babi dengan harga yang murah atau jauh di bawah harga pasaran. Curigalah terhadap harga jual babi yang murah tersebut dan tidak mudah tergiur. “Sebagai contoh, ada ternak babi yang sakit. Kemudian, pemiliknya menjual dengan harga murah karena daripada nantinya sia-sia lantaran mati,” ungkap Agustia yang diwawancarai di kantornya, akhir pekan lalu.

Pencegahan kedua, sebut Agustia, dengan biosecurity. Artinya, usaha untuk menjaga suatu daerah dari masuknya agen penyakit, menjaga tersebarnya agen penyakit dari daerah tertentu, dan menjaga agar suatu penyakit tidak menyebar di dalam daerah tersebut. Dengan kata lain, tidak saling besuk atau menjenguk antar peternak babi. Terlebih,virus ASF belum ada obat dan vaksinnya.

“Misalnya, meminta peternak lain untuk mengecek atau memeriksa hewan ternak kita yang kebetulan sakit. Jika itu dilakukan, maka hewan ternak milik peternak lain bisa berpotensi tertular penyakit hewan ternak kita yang sakit. Sebab, virus itu bisa saja menempel pada manusia dan kemudian ketika masuk kandang babi yang sehat lalu berpindah. Apalagi, babi yang sakit dibawa ke kandang babi yang sehat,” terang Agustia.

Ketiga, lanjut dia, bangkai babi yang mati dimohon untuk dikubur atau dibakar. Jangan dibuang ke sungai bangkainya, sebab apabila ada orang yang menggunakan air sungai yang sudah tercemar oleh virus bangkai babi tersebut untuk disemprot ke kandang ternak babinya, maka otomatis tertular. Selain itu, jangan dibuang ke semak-belukar atau hutan. Karena, kalau dibuang ke hutan maka bisa menularkan kepada babi hutan.

“Keempat, dengan manajemen kandang. Misalnya, pagi dan sore disemprot disinfektan setelah dicuci atau dibersihkan kandangnya. Bahkan, kalau bisa sesering mungkin dilakukan. Memang tidak bisa membunuh virus ASF, tetapi paling tidak bisa menghambat adanya dugaan penyebaran virus penyakit tersebut,” papar Agustia.

Lebih jauh dia mengatakan, pihaknya telah mengambil sampel pada 11 kabupaten/kota di Sumut. Dari 11 wilayah tersebut, 7 di antaranya positif hog cholera dan terindikasi virus ASF.

Namun, ketujuh wilayah tersebut sayangnya Agustia tidak bisa membeberkan karena masih sebatas indikasi ASF. Sebab, jika disebutkan dimana saja maka khawatir nantinya salah mengartikan. Dengan kata lain, bisa bias maknanya di masyarakat apabila tidak memahami secara benar.

“Kenapa terindikasi ASF, karena penyakit tersebut belum pernah ada dan terjadi di Indonesia, termasuk di Sumut. Memang indikasinya ada, tetapi belum tentu positif dan belum tentu negatif. Indikasinya ada pada 7 kabupaten/kota dari 11 kabupaten/kota yang dilakukan pemeriksaan uji sampel,” jelasnya.

Menurut Agustia, pada awal Oktober, sebetulnya pihaknha sudah mendapatkan hasil pengujian sampel yang dilakukan selama 7 atau 8 hari. Akan tetapi, belum berani menyampaikannya karena perlu pengujian kembali untuk benar-benar memastikan positif hog cholera dan terindikasi ASF.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu ternyata laporan atau informasi dari beberapa daerah yang mengalami kasus yang hampir sama terus masuk ke pihaknya. Untuk itu, dilakukan kroscek ke lapangan dan mengambil sampel. Hasilnya, di atas tanggal 20 Oktober telah diketahui bahwa penyebab kematian babi tersebut terkena virus hog cholera.

“Meski virus ASF belum ada di Indonesia, kita bekerja dengan skala atau standar ASF. Artinya, langkah-langkah yang dilakukan seakan-akan virus tersebut telah ada. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi jika nanti virus tersebut memang benar ada, sehingga kita tidak panik. Sebab, apabila ada virus ASF di Indonesia maka akan berdampak luas, seperti tidak boleh ekspor, penutupan suatu daerah yang terkena virus tersebut, disinfektan dan lain sebagainya,” bebernya.

Diutarakan dia, sampel yang diambil dan telah diuji sejauh ini dari hewan ternak rakyat atau skala kecil, bukan peternak skala besar yang memiliki izin usaha. Sebab, Agustia mengaku, pihaknya belum mendapat laporan dari dinas terkait yang memiliki kewenangan.

“Kami meyakini belum ada kematian babi dari peternak skala besar, karena penyakit virus ASF ataupun hog cholera dapat tertular bukan lewat angin atau udara. Melainkan, harus ada kontak langsung antara babi dengan babi,” ujarnya.

Selain itu, sambung Agustia, penularan virus tersebut juga bisa lewat manusia. Misalnya, ada orang yang baru masuk dan keluar dari kandang babi yang terkena penyakit tersebut. Selanjutnya, orang itu masuk ke kandang babi lainnya.

Jika itu terjadi, maka pastiakan tertular babi yang tadinya sehat. Oleh sebab itu, ketika orang akan masuk ke kandang babi maka disarankan untuk bersih-bersih dengan sabun, deterjen, mandi atau ganti baju. Hal ini yang dimaksudkan salah satu dari biosecurity, atau proteksi adanya penyebaran penyakit tersebut.

Disinggung mengenai bangkai babi yang hanyut di Sungai Bederah apakah milik peternak rakyat skala kecil atau skala besar? Agustia menyakini bangkai tersebut milik peternak skala kecil. Alasannya, populasi babi di Sumut jumlahnya mencapai 1.292.741 ekor. Sebagian besar dari populasi babi tersebut atau sekitar 90 persen, merupakan skala kecil yang memelihara di belakang rumah.

Makanya, kemungkinan ketika babinya mati, peternak rakyat tersebut tidak tahu mau dilakukan apa? Memang matinya tidak sekaligus jika terkena hog cholera, misalnya hari ini satu ekor dan besok satu ekor lagi. Lalu, di tempat lain juga mati satu ekor hingga seterusnya. Kemudian, dibuang ke sungai yang kebetulan pada sungai dan hari yang sama.

Sebab, kalau dikubur mungkin pemiliknya sudah lelah karena sebelumnya telah ada yang mati. Terlebih, berat dari rata-rata babi ada yang mencapai 50 kg lebih, 80 kg hingga 100 kg lebih. “Makanya, kalau hari ini mati terus dikubur, lalu besok dan lusa juga ada yang mati, tentu melelahkan. Jadi, kemungkinan karena sudah lelah pemiliknya, sehingga dibuang ke sungai,” cetusnya.

Agustia menyatakan, guna mencegah penyebaran penyakit hog cholera dan juga virus ASF, membutuhkan seluruh pihak termasuk masyarakat. Sebab, untuk obat dan vaksin dari virus ASF belum ada ditemukan di dunia.

“China saja terpaksa mengubur hidup-hidup 1,2 juta ekor babi, termasuk yang masih sehat karena diduga tertular virus ASF. Sebab, belum diketahui bagaimana untuk mengobatinya. Maka dari itu, daripada bermasalah nantinya, sehingga dengan terpaksa dimatikan secara massal,” bebernya.

Dijelaskan dia, jika babi terserang virus ASF maka pada hari ke-0 mulai terkena virus tersebut sampai hari ke-7, babi itu belum mati dan bahkan terlihat sehat sepert babi lainnya. Namun, pada hari ke-12 dipastikan 90 hingga 100 persen populasi, hanya dua hari menunjukkan sakit.

Tetapi, selama 7 hari virus tersebut sudah ada di babi itu. “7 sampai 12 hari baru mati, tetapi dengan catatan kategori akut. Dalam kondisi ini tidak ditemukan gejala-gejalanya, babinya sehat-sehat seperti pada umumnya. Namun, biasanya satu hari sebelum mati, babi tersebut tak mau makan,” jabarnya.

Tak hanya itu, ada juga dari hari ke-0 sampai ke-21 baru mati, dan ini masuk kategori soft akut. Masih ada lagi, dari hari ke-0 sampai ke-31 masih hidup dan serangan telah berlalu. Akan tetapi, babi tersebut di tubuhnya mengandung virus. Artinya, pembawa atau carrier dan ini banyak warga yang tidak tahu.

Padahal, babi tersebut menjadi mesin penular terhadap babi lainnya. “Apabila terjadi kondisi seperti itu, maka pilihannya sangat sulit. Namun, mau tidak mau maka layaknya harus dibunuh semua populasi babi tersebut. Sebab, jika tidak maka akan menularkan kepada babi lainnya yang sehat,” tegasnya.

Ia menambahkan, gejala hog cholera dengan virus ASF tak jauh berbeda atau bahkan hampir sama. Mulai dari babi tak mau makan, sampai keluar darah dari puting susunya. “Kita tidak bisa menyatakan hanya berdasarkan gejala saja, tetapi harus dari hasil uji laboratorium. Jadi, perbedaan hog cholera dengan ASF, karena ASF sistemik.

Artinya, kalau sudah masuk ke darah maka virus tersebut menghancurkan seluruh organ tubuh. Hal ini berarti, tingkat kematian tinggi dan jumlah kematian besar. Sampai sekarang bahkan di negara manapun, belum ada vaksin atau obat penyakit virus ASF.

Namun demikian, kedua penyakit tersebut bersifat zoonosis atau tidak menular ke manusia. Penularannya hanya ke hewan sejenisnya saja. Daging dari hewan yang terkena kedua penyakit tersebut boleh dimakan, asalkan dimasak secara benar,” tandasnya. (ris)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/