Di berbagai desa, main lompat karet adalah mainan anak perempuan. Tetapi di Desa Orahili Fau, lompat karet justru mainan anak laki-laki. Permainannya relatif keras. Anak-anak melompati tali karet yang dipegangi dua orang, dengan berlari di atas halaman desa yang dilapisi bebatuan. Tempat mendaratnya pun bebatuan. Permainan yang rawan cedera kaki, awww…
——————————-
Dame Ambarita, Nias
——————————
Belasan pemuda Orahili Fau berturut-turut melompati Hombo Batu dalam atraksi khusus menyambut rombongan Indonesian Trip Advisors, yang berkunjung ke desa mereka, akhir pekan lalu.
Satu pemuda berlari dan hup… ia melompat… disusul satu pemuda lagi… seorang lagi… lagi.. lagi… lagi semua hanya hitungan detik. Alhasil, para fotografer yang ingin mengabadikan momen spesial itu rada kewalahan mengambil angle dari beberapa sudut.
Atraksi mereka diiringi sorakan meriah ratusan warga desa yang antusias menonton. Jika seorang berhasil melompat sempurna, sorakan meriah diterimanya. Bagi yang jatuhnya tidak sempurna, warga bersorak rada kecewa. Meski tidak mengurangi dukungan terhadap pemuda-pemuda istimewa itu.
Pemuda yang mampu tampil dengan kaki mengayuh di udara, mendapat sorakan lebih keras. Konon, keterampilan itu perlu keahlian dan kecepatan khusus, karena mereka harus mendarat di pasir keras dalam hitungan detik. Salah mengukur, kaki bisa tidak stabil saat mendarat.
Bagaimana para pemuda Nias belajar melompati batu seperti itu?
Ternyata tidak ada yang instan. Mereka harus berlatih sejak kecil. Caranya, dengan melompati tali karet yang dipegangi dua orang. Secara bertahap, tinggi tali karet ditingkatkan seiring kemampuan si anak. Mirip dengan permainan lompat tali ala anak-anak perempuan. Bedanya, lompat tali ala anak perempuan dilakukan dengan mengaitkan kaki kanan ke tali karet, menariknya ke bawah, lantas menarik kaki kiri melewatinya. Itupun dilakukan di atas tanah berpasir, atau tanah berumput tebal.
Sedangkan di Orahili Fau, tali karet itu harus dilompati tanpa sedikit pun menyentuhnya. Dan semuanya dilakukan di atas bebatuan keras. Uhh….
Mengapa pemuda Nias harus mampu lompat batu?
Konon dulu, jelas Kepala Suku Orahili Fau, Miliar Fau, desa-desa di Nias sering berperang satu sama lain. Misalnya, karena persoalan tapal batas desa, karena pembunuhan, penculikan, dan sebagainya.
Untuk menghindari serangan, banyak desa yang memasang pagar batu yang tinggi sebagai pertahanan, plus ’pagar gaib’. Nah, untuk melompati pagar inilah, para pemuda dilatih lompat batu. Tinggi batu dibuat setara tinggi pagar desa lawan. Dan untuk melompati ’pagar gaib’ desa lawan, di bawah hombo batu ada tumbal kepala manusia. Jumlahnya bisa beberapa kepala. Keberadaan tumbal ini sebagai ujian bagi para pemuda untuk melihat apakah mereka mampu melompati ’pagar gaib’.
Karena itulah… atraksi lompat batu di desa ini bukan sembarangan atraksi. Ada ritual khusus di sana. Sebelum Hombo Batu dimulai, penatua desa akan ’membuka’ batu dengan ’doa’. Dan setelah atraksi selesai, penatua akan ’menutup’ batu juga dengan ’doa’.
Dalam sejarah Desa Orahili Fau, ada belasan tumbal kepala manusia –disebut nifo binu– di berbagai titik. ”Ada tumbal kepala manusia di bawah Taneme Wahe (pusat desa), tumbal di bawah rumah panjang, tumbal di bawah hombo batu, bahkan tumbal untuk mengawal kuburan pemimpin desa,” jelasnya,
Dulu, jenazah pemimpin desa diangkat di atas tiang-tiang, hingga membusuk di sana. Jenazah itu harus dikawal hingga 10 tumbal kepala manusia.
Dari manakah tumbal-tumbal itu diperoleh?
”Dari mana saja. Para tumbal bisa saja warga desa lain yang sembarang ditemui, atau warga desa Orahili Fau yang tidak pernah menginjak desanya. Para prajurit berburu tumbal ke seluruh Nias. Dan setiap kepala dihargai 6 pon emas,” katanya.
Karena itulah, pembuatan hombo batu tak sembarangan. Hombo batu adalah kriteria puncak pembuatan sebuah desa.
Saat ini, tradisi tumbal tidak ada lagi seiring masuknya agama ke desa ini. (*/bersambung)