25.6 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Siswa Amati ‘Mobilitas Sosial’ di Sekitar Rumah

Atasi Kebosanan selama PJJ

CUCI TANGAN: Siswa SMP Negeri 2 Air Joman, mencuci tangan sebelum masuk sekolah, saat belajar luring di SMP Negeri 2 Air Joman, Asahan.

ASAHAN, SUMUTPOS.CO – Untuk mengatasi kebosanan siswa mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi Covid-19, guru di SMP Negeri 2 Air Joman, Asahan, Watini, SPd, memadukan metode daring (dalam jaringan) dan luring (luar jaringan) untuk siswa kelas VIII dan IX SMP. Sedangkan siswa kelas VII seluruhnya belajar luring, karena sebagian besar siswa tidak memiliki fasilitas untuk ikut belajar daring.

“Pembelajaran daring memiliki kelebihan yakni mampu melampaui batas ruang dan waktu. Tetapi seiring berjalannya waktu, semakin banyak peserta didik yang mengundurkan diri dari kelompok belajar daring. Mereka lebih memilih belajar luring dengan beragam alasan. Di antaranya, mereka bisa bertemu teman- temannya dan Bapak/Ibu guru selama belajar luring. Selain itu, ada kendala jaringan internet hingga biaya pembelian kuota,” kata Watini, SPd, guru mata pelajaran IPS di SMP Negeri 2 Air Joman, Asahan, kepada Sumut Pos, kemarin.

Untuk pembelajaran luring di sekolah, Watini membuat jadwal kehadiran siswa sesuai tingkatan. Kelas VII hadir setiap hari Senin, kelas VIII hari Selasa, dan kelas IX hari Rabu setiap minggu.

“Dalam proses pembelajaran luring, peserta didik dan guru tetap memperhatikan protokol kesehatan. Setiap kelas dibagi menjadi dua ruangan untuk menjaga jarak tempat duduk peserta didik. Wajib mencuci tangan setiap akan masuk ke lingkungan sekolah, yang disediakan di depan gerbang sekolah. Peserta didik juga diwajibkan mengenakan masker saat mengumpulkan dan mengambil LKPD (Lembar Kerja Peserta Didik) setiap minggu,” jelasnya.

Watini mengisahkan, sebagai guru, dirinya terus berupaya menemukan ide dan strategi pembelajaran yang tidak membosankan atau terkesan membebani peserta didik dan orang tua. “Berbekal pelatihan yang saya terima dari Tanoto Foundation tahun lalu, saya merancang LKPD luring yang mengandung unsure PIT (Produktif, Imajinatif dan Terbuka). LKPD ini mengarahkan siswa untuk belajar aktif di rumah,” cetus guru yang juga salahseorang Fasilitator Daerah Asahan Program Pintar Tanoto Foundation ini.

Pada materi ‘mobilitas sosial’ kelas VIII misalnya, Watini memadukan pembelajaran daring dan luring. Adapun tujuan pembelajaran materi ini adalah agar siswa dapat mengidentifikasi bentuk-bentuk mobilitas sosial, menganalisis mobilitas sosial vertikal naik, menganalisis mobilitas sosial vertikal turun, menganalisis mobilitas sosial horizontal, dan membuat contoh mobilitas sosial vertikal dan horizontal di lingkungan sekitar tempat tinggal.

“Rancangan yang saya buat adalah membagikan video pembelajaran dengan materi mobilitas social. Kemudian meminta siswa mengamati tayangan video tersebut. Memberi kesempatan kepada peserta didik mendiskusikan tayangan video. Selanjutnya, dengan bantuan sumber belajar buku paket siswa, saya minta siswa memperhatikan contoh bentuk- bentuk mobilitas sosial di sekitar tempat tinggal, yakni keluarga dan masyarakat sekitar, atau menemukan di media cetak atau internet,” lanjutnya.

Selanjutnya, contoh-contoh yang ditemukan, dtuliskan pada kertas post it, kemudian ditempelkan pada sebidang karton. Setiap gambar disertai keterangan.

LURING: Guru SMP Negeri 2 Air Joman, Watini, membuat jadwal kehadiran siswa selama belajar luring. Kelas VII hadir setiap hari Senin, kelas VIII hari Selasa, dan kelas IX hari Rabu setiap minggu.

Setelah 2 minggu, ia meminta peserta didik mengantarkan tugas mereka ke sekolah. Hasil pekerjaan/karya terbaik dijanjikan akan dipajang di dalam kelas, dan dapat dijadikan sumber belajar pada saat pandemic berakhir dan sekolah dibuka kembali.

“Setelah 1 minggu pemberian tugas, peserta didik datang ke sekolah untuk mengambil dan menyerahkan LKPD mata pelajaran lain. Beberapa siswa memanfaatkan kesempatan untuk menunjukkan hasil pekerjaannya yang baru sebagian selesai, memastikan apakah yang mereka kerjakan sudah sesuai arahan. Ada juga beberapa siswa yang bertanya melalui WhatsApp. Saya tentu dengan senang hati saya memberi tanggapan dan masukan terhadap tugas yang mereka kerjakan,” kata Watini sembari tersenyum manis.

Hasilnya, setelah dua minggu, hasil karya anak-anak didik ternyata rata-rata lumayan baik.

Misalnya untuk contoh mobilitas vertikal, seorang siswa bernama Sabariah, mencontohkan ayahnya sendiri untuk bentuk mobilitas sosial vertikal naik. Yakni ayahnya dulunya seorang guru honor, sekarang menjadi guru PNS.

“Untuk contoh mobilitas sosial vertikal turun, ia memberi contoh pamannya yang dulu seorang pemborong bangunan, kemudian bangkrut dan sekarang menjadi seorang tukang bangunan,” jelasnya kembali tersenyum.

Dan untuk mobilitas sosial horizontal, Sabariah memberikan contoh ibunya yang sebelum menikah adalah seorang pedagang sayuran, sampai sekarang masih menjadi seorang pedagang sayuran.

Siswa lainnya bernama Nova, memberikan contoh bentuk mobilitas sosial vertikal naik yakni abangnya sendiri. Dulu abangnya bersekolah sambil bekerja membantu orang tuanya sebagai petani. “Sekarang abang lulus menjadi Pegawai Negeri Sipil,” tulis Nova, seperti ditirukan Watini.

Untuk  mobiltas sosial vertikal turun, Nova memberi contoh kakaknya yang sempat bersekolah hingga SMA, namun putus sekolah di kelas XI.

Kemudian untuk contoh mobilitas sosial horizontal, Nova memberikan contoh ayahnya yang dulu seorang petani, sekarang juga masih seorang petani.

“Dari contoh gambar dan penjelasan yang mereka kerjakan, ternyata peserta didik mampu memahami pengertian dan bentuk-bentuk mobilitas sosial. Jadi materi ajar sampai pada siswa tanpa harus memberikan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat teoritis yang membuat mereka merasa bosan. Mereka malah senang,” kata guru yang juga peserta pelatihan Pengembangan Budaya Baca Tanoto Foundation ini.

Watini juga melakukan kegiatan refleksi dengan memberikan pertanyaan kepada para siswa: Mobilitas sosial yang mana yang kalian pilih? Bagaimana cara kalian mencapai cita-cita yang kalian inginkan?

Dengan metode PJJ seperti itu, peserta didik diharapkan lebih termotivasi belajar, agar bisa melakukan mobilitas sosial vertical naik dalam menjalani kehidupannya dan bisa bersaing dalam menghadapi tantangan globalisasi di masa mendatang. (mea)

Atasi Kebosanan selama PJJ

CUCI TANGAN: Siswa SMP Negeri 2 Air Joman, mencuci tangan sebelum masuk sekolah, saat belajar luring di SMP Negeri 2 Air Joman, Asahan.

ASAHAN, SUMUTPOS.CO – Untuk mengatasi kebosanan siswa mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi Covid-19, guru di SMP Negeri 2 Air Joman, Asahan, Watini, SPd, memadukan metode daring (dalam jaringan) dan luring (luar jaringan) untuk siswa kelas VIII dan IX SMP. Sedangkan siswa kelas VII seluruhnya belajar luring, karena sebagian besar siswa tidak memiliki fasilitas untuk ikut belajar daring.

“Pembelajaran daring memiliki kelebihan yakni mampu melampaui batas ruang dan waktu. Tetapi seiring berjalannya waktu, semakin banyak peserta didik yang mengundurkan diri dari kelompok belajar daring. Mereka lebih memilih belajar luring dengan beragam alasan. Di antaranya, mereka bisa bertemu teman- temannya dan Bapak/Ibu guru selama belajar luring. Selain itu, ada kendala jaringan internet hingga biaya pembelian kuota,” kata Watini, SPd, guru mata pelajaran IPS di SMP Negeri 2 Air Joman, Asahan, kepada Sumut Pos, kemarin.

Untuk pembelajaran luring di sekolah, Watini membuat jadwal kehadiran siswa sesuai tingkatan. Kelas VII hadir setiap hari Senin, kelas VIII hari Selasa, dan kelas IX hari Rabu setiap minggu.

“Dalam proses pembelajaran luring, peserta didik dan guru tetap memperhatikan protokol kesehatan. Setiap kelas dibagi menjadi dua ruangan untuk menjaga jarak tempat duduk peserta didik. Wajib mencuci tangan setiap akan masuk ke lingkungan sekolah, yang disediakan di depan gerbang sekolah. Peserta didik juga diwajibkan mengenakan masker saat mengumpulkan dan mengambil LKPD (Lembar Kerja Peserta Didik) setiap minggu,” jelasnya.

Watini mengisahkan, sebagai guru, dirinya terus berupaya menemukan ide dan strategi pembelajaran yang tidak membosankan atau terkesan membebani peserta didik dan orang tua. “Berbekal pelatihan yang saya terima dari Tanoto Foundation tahun lalu, saya merancang LKPD luring yang mengandung unsure PIT (Produktif, Imajinatif dan Terbuka). LKPD ini mengarahkan siswa untuk belajar aktif di rumah,” cetus guru yang juga salahseorang Fasilitator Daerah Asahan Program Pintar Tanoto Foundation ini.

Pada materi ‘mobilitas sosial’ kelas VIII misalnya, Watini memadukan pembelajaran daring dan luring. Adapun tujuan pembelajaran materi ini adalah agar siswa dapat mengidentifikasi bentuk-bentuk mobilitas sosial, menganalisis mobilitas sosial vertikal naik, menganalisis mobilitas sosial vertikal turun, menganalisis mobilitas sosial horizontal, dan membuat contoh mobilitas sosial vertikal dan horizontal di lingkungan sekitar tempat tinggal.

“Rancangan yang saya buat adalah membagikan video pembelajaran dengan materi mobilitas social. Kemudian meminta siswa mengamati tayangan video tersebut. Memberi kesempatan kepada peserta didik mendiskusikan tayangan video. Selanjutnya, dengan bantuan sumber belajar buku paket siswa, saya minta siswa memperhatikan contoh bentuk- bentuk mobilitas sosial di sekitar tempat tinggal, yakni keluarga dan masyarakat sekitar, atau menemukan di media cetak atau internet,” lanjutnya.

Selanjutnya, contoh-contoh yang ditemukan, dtuliskan pada kertas post it, kemudian ditempelkan pada sebidang karton. Setiap gambar disertai keterangan.

LURING: Guru SMP Negeri 2 Air Joman, Watini, membuat jadwal kehadiran siswa selama belajar luring. Kelas VII hadir setiap hari Senin, kelas VIII hari Selasa, dan kelas IX hari Rabu setiap minggu.

Setelah 2 minggu, ia meminta peserta didik mengantarkan tugas mereka ke sekolah. Hasil pekerjaan/karya terbaik dijanjikan akan dipajang di dalam kelas, dan dapat dijadikan sumber belajar pada saat pandemic berakhir dan sekolah dibuka kembali.

“Setelah 1 minggu pemberian tugas, peserta didik datang ke sekolah untuk mengambil dan menyerahkan LKPD mata pelajaran lain. Beberapa siswa memanfaatkan kesempatan untuk menunjukkan hasil pekerjaannya yang baru sebagian selesai, memastikan apakah yang mereka kerjakan sudah sesuai arahan. Ada juga beberapa siswa yang bertanya melalui WhatsApp. Saya tentu dengan senang hati saya memberi tanggapan dan masukan terhadap tugas yang mereka kerjakan,” kata Watini sembari tersenyum manis.

Hasilnya, setelah dua minggu, hasil karya anak-anak didik ternyata rata-rata lumayan baik.

Misalnya untuk contoh mobilitas vertikal, seorang siswa bernama Sabariah, mencontohkan ayahnya sendiri untuk bentuk mobilitas sosial vertikal naik. Yakni ayahnya dulunya seorang guru honor, sekarang menjadi guru PNS.

“Untuk contoh mobilitas sosial vertikal turun, ia memberi contoh pamannya yang dulu seorang pemborong bangunan, kemudian bangkrut dan sekarang menjadi seorang tukang bangunan,” jelasnya kembali tersenyum.

Dan untuk mobilitas sosial horizontal, Sabariah memberikan contoh ibunya yang sebelum menikah adalah seorang pedagang sayuran, sampai sekarang masih menjadi seorang pedagang sayuran.

Siswa lainnya bernama Nova, memberikan contoh bentuk mobilitas sosial vertikal naik yakni abangnya sendiri. Dulu abangnya bersekolah sambil bekerja membantu orang tuanya sebagai petani. “Sekarang abang lulus menjadi Pegawai Negeri Sipil,” tulis Nova, seperti ditirukan Watini.

Untuk  mobiltas sosial vertikal turun, Nova memberi contoh kakaknya yang sempat bersekolah hingga SMA, namun putus sekolah di kelas XI.

Kemudian untuk contoh mobilitas sosial horizontal, Nova memberikan contoh ayahnya yang dulu seorang petani, sekarang juga masih seorang petani.

“Dari contoh gambar dan penjelasan yang mereka kerjakan, ternyata peserta didik mampu memahami pengertian dan bentuk-bentuk mobilitas sosial. Jadi materi ajar sampai pada siswa tanpa harus memberikan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat teoritis yang membuat mereka merasa bosan. Mereka malah senang,” kata guru yang juga peserta pelatihan Pengembangan Budaya Baca Tanoto Foundation ini.

Watini juga melakukan kegiatan refleksi dengan memberikan pertanyaan kepada para siswa: Mobilitas sosial yang mana yang kalian pilih? Bagaimana cara kalian mencapai cita-cita yang kalian inginkan?

Dengan metode PJJ seperti itu, peserta didik diharapkan lebih termotivasi belajar, agar bisa melakukan mobilitas sosial vertical naik dalam menjalani kehidupannya dan bisa bersaing dalam menghadapi tantangan globalisasi di masa mendatang. (mea)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/