29 C
Medan
Sunday, April 28, 2024

Sering Jatuh, Gadis Cilik Ini Tak Boleh Lagi Bermain di Luar Rumah

Foto: Dame/Sumut Pos
PASIEN KATARAK: Marcia Lumbanbatu (kiri) didampingi ibunya, Boru Tobing, menunggu giliran dioperasi katarak gratis, di Rumah Sakit TNI Putri Hijau Medan, Sabtu (13/10/2018).

Tak bisa melihat dengan jelas, gadis cilik ini sering jatuh sendiri saat berjalan atau berlari. Mamanya jadi takut. Di usianya yang masih begitu belia, anak kecil itu dikurung di rumah dan dilarang bermain di luar.

————————————
Dame Ambarita, Medan
————————————

Sejak lahir 7,5 tahun yang lalu, Marcia Lumbanbatu diduga sudah menderita katarak. Hanya saja, baru ketahuan saat usianya masuk 5 tahun.

“Guru TK-nya yang pertama mengetahui. Suatu hari gurunya bilang ke saya, ‘Bu, kayaknya Caca (panggilan Marcia), penglihatannya terganggu. Soalnya, dia selalu menyipitkan mata saat melihat papan tulis’,” ungkap sang ibu, Boru Tobing, saat mendampingi Marcia mengikuti tahapan Operasi Katarak Gratis, di RS TNI Losung Batu, Padangsidimpuan, Sumatera Utara, Sabtu (13/10).

Marcia yang kedua belah matanya tampak menyipit itu tampak malu-malu mendengar sang ibu bercerita tentang dirinya. Ia menyandar manja ke leher ibunya.

Menurut boru Tobing yang berprofesi sebagai guru SD HKBP di Pearaja Tarutung, Tapanuli Utara, saat ini Caca duduk di kelas 2 SD di sekolah yang sama.

“Saat mengandung Caca, di usia kehamilan 7 bulan, saya sakit keras.  Mengalami blooding hingga saya harus berbaring di rumah sakit. Tensi saya naik tinggi. Mungkin karena itu anak saya lahir dalam kondisi katarak,” tuturnya, sambil membantu Caca minum dari botol minuman menggunakan sedotan.

Sejak bayi, mata anaknya sudah cenderung menyipit. Kurang selera makan sehingga pertumbuhan tubuhnya agak lambat. Tapi ia sama sekali tidak curiga.

Setelah suaminya diberitahu mengenai laporan guru TK tentang kondisi anak bungsu dari 3 anaknya, Caca langsung dibawa ke dokter di RSU Balige. Ayahnya saat itu berpikir, putri kecilnya mungkin hanya menderita mata minus biasa.

“Ternyata dokternya bilang Caca kena katarak dan dianjurkan operasi,” kata boru Tobing.

Ayah Caca yang bekerja sebagai wiraswasta, dengan lugu bertanya apakah katarak anaknya bisa diatasi dengan memakai kacamata.

“Dokter bilang, percuma. Jalan satu-satunya adalah operasi. Masalahnya, operasi tak bisa dilakukan di RS Balige atau di Tarutung. Katanya harus ke Medan. Sementara kami terkendala persoalan biaya,” aku boru Tobing jujur.

Dokter akhirnya hanya memberi Caca obat tetes mata, sekedar melembabkan mata Caca yang kering.

Menyadari anaknya positif katarak, boru Tobing lebih memperhatikan kondisi Caca. Jika dulu dikiranya Caca kerap jatuh saat berjalan karena masih kecil, kini ia sadar penyebab sesungguhnya.

Karenanya, ia cenderung mengurung Caca di rumah, di luar jam-jam sekolah. “Iya… tak lagi saya bolehkan bermain di luar. Kalaupun mau bermain, harus kami awasi,” tuturnya.

Agar Caca tidak bosan, secara berkala ia mengundang teman-teman Caca untuk bermain ke rumah.

“Tapi mata Caca tampaknya bersih. Nggak ada lapisan kataraknya yang terlihat,” tanya Sumut Pos.

“Iya, memang. Kata dokter, harus ditetes obat tertentu dulu, baru kelihatan,” jawab sang ibu.

Untuk mengatasi kesulitan membaca pelajaran di papan tulis, Caca didudukkan gurunya di meja paling depan di kelasnya.

Boru Tobing pernah juga mencoba meneteskan getah daun katarak di mata anaknya. Tapi sekali saja. Soalnya Caca meraung saking pedihnya. “Efeknya juga nggak ada,” sebutnya.

Hingga akhir September kemarin, ia membaca sebuah spanduk di wilayah tempat tinggalnya di Desa Toruan 5, Pearaja Tarutung. Tentang sebuah operasi katarak gratis yang digelar di RS TNI di Padangsidimpuan. Di spanduk tertera informasi agar menghubungi Koramil terdekat.

Saat ia membaca-baca spanduk, seorang babinsa melihat dan mengarankannya ke Kodim. Ia pun segera mendaftarkan Caca ke Koramil. “Katanya, operasi katarak gratis ini disponsori sebuah perusahaan Tambang Emas Martabe di Padangsidimpuan,” kata guru kelas 6 SD ini.

Dari Tarutung, ada 8 orang yang ikut operasi, termasuk Caca.

Caca sendiri tak takut saat diberitahu akan operasi. Anak yang suka main sepeda itu santai saja menunggu giliran menuju ruang operasi.

Hanya saja saat sudah masuk ruang operasi, ternyata dia tak bisa berhenti bergerak. Alhasil, dokter yang hendak mengoperasi tidak berani melanjutkan karena rentan salah sayat.

Pihak penyelenggara pun memutuskan operasi Caca ditunda. Tapi bukan berarti Caca ditolak
Rencananya, ia akan dikirim ke Surabaya bersama tiga anak lainnya yang juga menderita katarak. Bulan Oktober ini juga. Di sana, mereka akan dibius total sebelum dioperasi katarak.

Selain Caca, ketiga anak lainnya itu yaķni Cempaka (7) asal Madina, Misbah (5), dan seorang anak lainnya. Semua atas biaya dari PT Agincourt Resources, pengelola Tambang Emas Martabe di Batangtoru Tapsel.

Semoga, hasil operasi katarak mereka kelak, berjalan lancar dan berhasil memulihkan penglihatan mereka. (Mea)

Foto: Dame/Sumut Pos
PASIEN KATARAK: Marcia Lumbanbatu (kiri) didampingi ibunya, Boru Tobing, menunggu giliran dioperasi katarak gratis, di Rumah Sakit TNI Putri Hijau Medan, Sabtu (13/10/2018).

Tak bisa melihat dengan jelas, gadis cilik ini sering jatuh sendiri saat berjalan atau berlari. Mamanya jadi takut. Di usianya yang masih begitu belia, anak kecil itu dikurung di rumah dan dilarang bermain di luar.

————————————
Dame Ambarita, Medan
————————————

Sejak lahir 7,5 tahun yang lalu, Marcia Lumbanbatu diduga sudah menderita katarak. Hanya saja, baru ketahuan saat usianya masuk 5 tahun.

“Guru TK-nya yang pertama mengetahui. Suatu hari gurunya bilang ke saya, ‘Bu, kayaknya Caca (panggilan Marcia), penglihatannya terganggu. Soalnya, dia selalu menyipitkan mata saat melihat papan tulis’,” ungkap sang ibu, Boru Tobing, saat mendampingi Marcia mengikuti tahapan Operasi Katarak Gratis, di RS TNI Losung Batu, Padangsidimpuan, Sumatera Utara, Sabtu (13/10).

Marcia yang kedua belah matanya tampak menyipit itu tampak malu-malu mendengar sang ibu bercerita tentang dirinya. Ia menyandar manja ke leher ibunya.

Menurut boru Tobing yang berprofesi sebagai guru SD HKBP di Pearaja Tarutung, Tapanuli Utara, saat ini Caca duduk di kelas 2 SD di sekolah yang sama.

“Saat mengandung Caca, di usia kehamilan 7 bulan, saya sakit keras.  Mengalami blooding hingga saya harus berbaring di rumah sakit. Tensi saya naik tinggi. Mungkin karena itu anak saya lahir dalam kondisi katarak,” tuturnya, sambil membantu Caca minum dari botol minuman menggunakan sedotan.

Sejak bayi, mata anaknya sudah cenderung menyipit. Kurang selera makan sehingga pertumbuhan tubuhnya agak lambat. Tapi ia sama sekali tidak curiga.

Setelah suaminya diberitahu mengenai laporan guru TK tentang kondisi anak bungsu dari 3 anaknya, Caca langsung dibawa ke dokter di RSU Balige. Ayahnya saat itu berpikir, putri kecilnya mungkin hanya menderita mata minus biasa.

“Ternyata dokternya bilang Caca kena katarak dan dianjurkan operasi,” kata boru Tobing.

Ayah Caca yang bekerja sebagai wiraswasta, dengan lugu bertanya apakah katarak anaknya bisa diatasi dengan memakai kacamata.

“Dokter bilang, percuma. Jalan satu-satunya adalah operasi. Masalahnya, operasi tak bisa dilakukan di RS Balige atau di Tarutung. Katanya harus ke Medan. Sementara kami terkendala persoalan biaya,” aku boru Tobing jujur.

Dokter akhirnya hanya memberi Caca obat tetes mata, sekedar melembabkan mata Caca yang kering.

Menyadari anaknya positif katarak, boru Tobing lebih memperhatikan kondisi Caca. Jika dulu dikiranya Caca kerap jatuh saat berjalan karena masih kecil, kini ia sadar penyebab sesungguhnya.

Karenanya, ia cenderung mengurung Caca di rumah, di luar jam-jam sekolah. “Iya… tak lagi saya bolehkan bermain di luar. Kalaupun mau bermain, harus kami awasi,” tuturnya.

Agar Caca tidak bosan, secara berkala ia mengundang teman-teman Caca untuk bermain ke rumah.

“Tapi mata Caca tampaknya bersih. Nggak ada lapisan kataraknya yang terlihat,” tanya Sumut Pos.

“Iya, memang. Kata dokter, harus ditetes obat tertentu dulu, baru kelihatan,” jawab sang ibu.

Untuk mengatasi kesulitan membaca pelajaran di papan tulis, Caca didudukkan gurunya di meja paling depan di kelasnya.

Boru Tobing pernah juga mencoba meneteskan getah daun katarak di mata anaknya. Tapi sekali saja. Soalnya Caca meraung saking pedihnya. “Efeknya juga nggak ada,” sebutnya.

Hingga akhir September kemarin, ia membaca sebuah spanduk di wilayah tempat tinggalnya di Desa Toruan 5, Pearaja Tarutung. Tentang sebuah operasi katarak gratis yang digelar di RS TNI di Padangsidimpuan. Di spanduk tertera informasi agar menghubungi Koramil terdekat.

Saat ia membaca-baca spanduk, seorang babinsa melihat dan mengarankannya ke Kodim. Ia pun segera mendaftarkan Caca ke Koramil. “Katanya, operasi katarak gratis ini disponsori sebuah perusahaan Tambang Emas Martabe di Padangsidimpuan,” kata guru kelas 6 SD ini.

Dari Tarutung, ada 8 orang yang ikut operasi, termasuk Caca.

Caca sendiri tak takut saat diberitahu akan operasi. Anak yang suka main sepeda itu santai saja menunggu giliran menuju ruang operasi.

Hanya saja saat sudah masuk ruang operasi, ternyata dia tak bisa berhenti bergerak. Alhasil, dokter yang hendak mengoperasi tidak berani melanjutkan karena rentan salah sayat.

Pihak penyelenggara pun memutuskan operasi Caca ditunda. Tapi bukan berarti Caca ditolak
Rencananya, ia akan dikirim ke Surabaya bersama tiga anak lainnya yang juga menderita katarak. Bulan Oktober ini juga. Di sana, mereka akan dibius total sebelum dioperasi katarak.

Selain Caca, ketiga anak lainnya itu yaķni Cempaka (7) asal Madina, Misbah (5), dan seorang anak lainnya. Semua atas biaya dari PT Agincourt Resources, pengelola Tambang Emas Martabe di Batangtoru Tapsel.

Semoga, hasil operasi katarak mereka kelak, berjalan lancar dan berhasil memulihkan penglihatan mereka. (Mea)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/