25 C
Medan
Saturday, December 6, 2025

Duh… Pilkada Simalungun-Siantar Bisa Molor ke 2017

Girindra Sandino mengatakan, jika pilkada kedua daerah itu, termasuk tiga daerah yang lain yang juga ditunda, dilakukan pemungutan suaranya pada 2016, maka akan muncul masalah hukum baru. Begitu pun jika digelar pada 2017.

Alasannya, jika digelar 2016 atau 2017, akan menabrak ketentuan pasal 201 ayat 1 UU pilkada.

“Pasal 201 ayat (1) UU Pilkada, ditegaskan di situ bahwa pemunguatan suara serentak dalam pemilihan gubernur, bupati/wali kota yangmasa jabatannya berakhir tahun 015 dan Januari sampai dengan bulan Juni 2016, dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember 2015. Jadi, kalau digelar 2016, bisa dipersoalkan secara hukum,” jelas Girindra.

Bagaimana jika tetap digelar 2016 tapi disebut ‘pilkada susulan’ Girindra menjelaskan, di UU Pillkada disebutkan bahwa syarat pemilu susulan adalah jika terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan dan/atau gangguan lainnya. Nah, Girindra bertanya, apakah adanya proses hukum itu termasuk dalam frase ‘gangguan lainnya’?
Menurut dia, jika KPU menafsirkan demikian, tetap saja bisa diperdebatkan secara hukum. Tapi menurut Girindra, proses hukum itu muncul juga disebabkan karena ketidakprofesionalan KPU dalam menjalankan tugas. Tepatnya, karena KPU tidak cermat dalam menjalankan tahapan pencalonan.

Dalam kasus pilkada Kalteng, lanjutnya, KPU tidak sejak awal mengklirkan masalah dualisme kepengurusan di PPP. Dalam kasus Kota Manado, KPU tidak memberikan definisi yang jelas terkait status bebas bersyarat.

Dalam kasus Simalungun, KPU setempat tidak cermat melakukan verifikasi status hukum Amran Sinaga, dimana putusan kasasi MA sebenarnya sudah keluar September 2014, jauh hari sebelum tahapan pencalonan.

Sikap KPU di lima daerah yang pilkadanya tertunda itu sesungguhnya sangat merugikan pasangan calon.

“Mereka sudah kampanye, sudah keluar uang banyak, tapi hak politiknya dihilangkan oleh KPU,” ujar Girindra.

Tidak hanya itu, dampaknya bisa lebih luas lagi, dimana pemilih berpotensi menjadi malas menggunakan hak suaranya di ‘pilkada susulan’ itu. Belum lagi soal tambahan anggaran karena harus mencetak surat suara, surat undangan menyoblos (C6), dan sosialisasi pasangan calon.

Girindra Sandino mengatakan, jika pilkada kedua daerah itu, termasuk tiga daerah yang lain yang juga ditunda, dilakukan pemungutan suaranya pada 2016, maka akan muncul masalah hukum baru. Begitu pun jika digelar pada 2017.

Alasannya, jika digelar 2016 atau 2017, akan menabrak ketentuan pasal 201 ayat 1 UU pilkada.

“Pasal 201 ayat (1) UU Pilkada, ditegaskan di situ bahwa pemunguatan suara serentak dalam pemilihan gubernur, bupati/wali kota yangmasa jabatannya berakhir tahun 015 dan Januari sampai dengan bulan Juni 2016, dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember 2015. Jadi, kalau digelar 2016, bisa dipersoalkan secara hukum,” jelas Girindra.

Bagaimana jika tetap digelar 2016 tapi disebut ‘pilkada susulan’ Girindra menjelaskan, di UU Pillkada disebutkan bahwa syarat pemilu susulan adalah jika terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan dan/atau gangguan lainnya. Nah, Girindra bertanya, apakah adanya proses hukum itu termasuk dalam frase ‘gangguan lainnya’?
Menurut dia, jika KPU menafsirkan demikian, tetap saja bisa diperdebatkan secara hukum. Tapi menurut Girindra, proses hukum itu muncul juga disebabkan karena ketidakprofesionalan KPU dalam menjalankan tugas. Tepatnya, karena KPU tidak cermat dalam menjalankan tahapan pencalonan.

Dalam kasus pilkada Kalteng, lanjutnya, KPU tidak sejak awal mengklirkan masalah dualisme kepengurusan di PPP. Dalam kasus Kota Manado, KPU tidak memberikan definisi yang jelas terkait status bebas bersyarat.

Dalam kasus Simalungun, KPU setempat tidak cermat melakukan verifikasi status hukum Amran Sinaga, dimana putusan kasasi MA sebenarnya sudah keluar September 2014, jauh hari sebelum tahapan pencalonan.

Sikap KPU di lima daerah yang pilkadanya tertunda itu sesungguhnya sangat merugikan pasangan calon.

“Mereka sudah kampanye, sudah keluar uang banyak, tapi hak politiknya dihilangkan oleh KPU,” ujar Girindra.

Tidak hanya itu, dampaknya bisa lebih luas lagi, dimana pemilih berpotensi menjadi malas menggunakan hak suaranya di ‘pilkada susulan’ itu. Belum lagi soal tambahan anggaran karena harus mencetak surat suara, surat undangan menyoblos (C6), dan sosialisasi pasangan calon.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru