Katarak ternyata bukan hanya jatah nasib para lansia. Anak-anak pun bisa kena, bahkan bayi baru lahir. Penyebabnya beragam. Serangan virus rubella saat di kandungan, atau infeksi obat yang dikonsumsi ibu saat hamil. Marissa Adriana adalah salahsatu balita yang jadi korban. Balita cantik itu katarak sejak lahir.
————————————-
Dame Ambarita, Medan
————————————-
Mendengar ada anak perempuan yang baru berusia 1 tahun 9 bulan ikut operasi katarak, paramedis dan relawan yang bertugas di Rumkit Putri Hijau Medan terlihat lebih aktif bertukar informasi. Maklum, Marissa adalah pasien termuda yang mendaftar ikut operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe bekerja sama dengan A New Vision dan Kodam I Bukit Barisan, di Medan, 13-15 Desember 2016.
Digendong ibunya Ruri Angraeni Oktavianty (31), dan didampingi ayahnya Aria Hendro (41), Marissa terlihat kecil mungil dan rapuh. Kulitnya putih bersih. Bulu matanya lentik. Secara keseluruhan, ia adalah balita cantik. Namun kecantikannya sedikit ternoda oleh bola matanya yang keputih-putihan. Kata ibunya, Marissa diketahui katarak setelah berumur 2 bulan.
“Meski di kandungan mencapai 10 bulan, saat lahir beratnya hanya 1,8 kg. Sangat kecil. Saking kecilnya, kami nggak berani memandikannya hingga usianya 2 bulan,” kata Ruri, ibunya. Meski bayi mereka sangat kecil, pasutri ini memilih merawatnya di rumah mereks di Jalan Banteng Medan. Alasannya: biaya!
Setelah dua bulan, suatu hari sang ayah coba-coba menyenter mata anaknya yang sejak lahir selalu tertutup. “Ternyata matanya lengket-lengket dan banyak tahi matanya. Sejak itulah, kami baru rajin membersihkan. Ternyata anak kami tak bisa melihat,” kata Hendro sang ayah.
Ibunya mengisahkan, tiga bulan pertama nengandung Marissa, dia tidak sadar sedang hamil. Karenanya ia tidak terlalu menjaga diri. “Saat itu saya malas makan. Kalau lagi flu atau batuk, saya makan saja obat-obat bebas yang dibeli dari apotek. Abis… saya nggak tahu saat itu sudah hamil. Kata dokter, anak saya itu infeksi obat,” ungkapnya.
Saat dibawa ke dokter untuk berobat, ternyata dokter menyarankan agar Marissa tumbuh lebih besar dulu baru dioperasi. Soalnya, tubuhnya masih sangat muda. Bahkan untuk imunisasi pun, dokter yang mereka temui tidak berani.
Setelah anak keempat dari lima bersaudara itu berumur setahun, mereka membawanya ke dokter di RS pemerintah. Oleh si dokter, mata anaknya hanya disenter. “Dokternya nggak bilang apa-apa. Hanya kasih obat salep dan tetes mata. Saat ditetes, mata anak kami malah jadi iritasi,” ungkap Hendro.
Berikutnya, mereka membawa Marissa ke tempat praktek seorang dokter mata. Usai memeriksa, si dokter berkata bahwa kedua mata Marissa kena katarak, tetapi bisa dioperasi. Biayanya dipatok Rp25 juta! Jika bersedia, hari itu juga bisa dioperasi.
“Kalau pakai BPJS, bisa nggak, Dok?” tanya sang ibu lugu.
“Terserah… tapi kalau pakai BPJS, saya nggak tanggung jawab,” kata si dokter cuek.
Terdiam, pasangan suami istri itu mundur dan membawa pulang anak mereka. “Dari mana duit saya Rp25 juta? Saya hanya sopir pengangkut ayam potong dari peternakan ke pasar. Sebelumnya pun hanya sopir angkutan Medan-Sibolga-Medan. Istri hanya ibu rumah tangga. Bahkan kartu BPJS pun kami tak punya,” jelas Hendro.
Mentok dengan biaya perobatan, akhirnya Marissa dibiarkan tumbuh dengan lapisan katarak menutupi matsnya. Tak heran jika dia lebih suka tinggal di rumah. Kalau dibawa ke luar rumah, ia selalu menangis dan marah memberontak. Sinar matahari menyakiti matanya.
“Tapi kalau di rumah ada lilin atau lampu handphone, ia suka mendekat. Ia tertarik pada cahaya kecil. Mati lampu, ia justru menangis,” tutur sang ayah.
Selama di rumah, Marissa suka memanjat ayunan atau merangkak ke sana ke mari.
Soal makanan, anak yang baru memiliki berat badan 7 kg di usianya yang hampir dua tahun ini menolak roti atau buah. “Ia hanya mau makan bubur campur kentang atau wortel,” kata ayahnya.