31.7 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Wakiran Juga Sempat Tikam Putri Sulungnya

Foto: Kombinas/PM
Foto Sumirah semasa hidup (kiri), dan foto putri, menantu, dan cucunya (kanan). Sumirah tewas ditikam suaminya, Wakiran, karena menolak rujuk.

TAMORA, SUMUTPOS.COTindakan sadis Wakiran (64) yang menikami mantan istrinya, Sumirah (47) yang menolak rujuk pada Senin (17/7) dinihari kemarin, masih menjadi perbincangan hangat di Desa Telaga Sari, Tanjung Morawa.

Apalagi sempat beredar kabar jika pihak keluarga tidak keberatan atas kejadian tersebut.

Untuk memastikan kebenarannya, wartawan menyambangi lokasi kejadian pada Selasa (18/7) siang. Di rumah semi permanen Gang Keluarga, Dusun II, Desa Telaga Sari, ada putri sulung Wakiran dan Sumirah yakni Sri (27) dan suaminya, Bambang Saputra (27). Di situ juga ada Tumiati (53), kakak kandung Sumirah.

Pada perbincangan kemarin, Bambang mengungkap informasi mengejutkan. Usai membunuh Sumirah, ayah mertuanya (pelaku) itu ternyata sempat berupaya menikam Sri.

Beruntung, Bambang cepat bereaksi dengan menangkis pisau yang dihujamkan pelaku kepada istrinya. Akibat aksi heroiknya, jari serta tangan Bambang terluka.

Terkait kronologi, Tumiati menceritakan, saat kejadian dirinya tidur sekamar bersama korban. Dia terbangun dari tidur karena mendengar jeritan adiknya (Sumirah).

Melihat korban berlumuran darah, dirinya spontan menarik Sumirah untuk menghindari tikaman berikutnya. “Pisau yang dipegang pelaku juga sudah di depan wajah ku. Tapi teriakan korban membangunkan seisi rumah,” sebutnya.

Usai menikam, Wakiran keluar dari kamar dan berdiri di depan lemari televisi. Langkahnya terhenti karena kepergok Sri, putri sulungnya. Sempat diam sejenak, Wakiran mengarahkan pisaunya kepada ibu 1 anak tersebut. Sejurus kemudian pelaku berupaya menikam Sri. Tikaman itulah yang ditangkis Bambang.

Pembunuhan terhadap Sumirah diyakini anak, menantu, dan kakak iparnya sudah direncanakan oleh Wakiran. Sebab, ayah tiga anak itu diketahui telah beberapa kali mendatangi TKP dengan cara mengendap-endap.

 

Wakiran yang membunuh Sumirah istrinya, karena sang istri menolak rujuk setelah 7 tahun berpisah.

Dua hari sebelum kejadian, pelaku juga datang dan mengintip dari belakang rumah. Tapi karena korban terbangun dan minta ditemani Sri ke toilet, Wakiran buru-buru kabur.

Lanjut Sri, Bambang Saputra dan Tumiati, pembunuhan diyakini memang sudah sangat terencana. Itu bisa dilihat dari sebotol air raksa yang juga dibawa Wakiran. “Sebotol air raksa kami temukan di belakang rumah,” ujar Bambang dan dibenarkan oleh Sri dan Tumiati.

Karenanya, ketiga anak korban dan menantu serta iparnya berharap penegak hukum memberikan hukuman seberat-beratnya kepada Wakiran. Pihak keluarga khawatir, upaya pembunuhan akan kembali dilakukan jika pria tersebut dibiarkan bebas.

Terkait kabar jika keluarga tidak keberatan atas kematian korban, Sri bersama suaminya serta Tumiati dengan tegas menyangkalnya. Menurut mereka, keberatan yang mereka maksud adalah upaya otopsi karena terkendala biaya.

“Ada yang bilang jika biaya otopsi itu mahal sampai Rp15 juta. Dari mana uang kami? Sedangkan korban saja pun menyewa rumah yang sangat sederhana. Korban saja pun semasa hidupnya hanya bekerja pembantu dan mocok-mocok,” ketus mereka. (man/ras)

Foto: Kombinas/PM
Foto Sumirah semasa hidup (kiri), dan foto putri, menantu, dan cucunya (kanan). Sumirah tewas ditikam suaminya, Wakiran, karena menolak rujuk.

TAMORA, SUMUTPOS.COTindakan sadis Wakiran (64) yang menikami mantan istrinya, Sumirah (47) yang menolak rujuk pada Senin (17/7) dinihari kemarin, masih menjadi perbincangan hangat di Desa Telaga Sari, Tanjung Morawa.

Apalagi sempat beredar kabar jika pihak keluarga tidak keberatan atas kejadian tersebut.

Untuk memastikan kebenarannya, wartawan menyambangi lokasi kejadian pada Selasa (18/7) siang. Di rumah semi permanen Gang Keluarga, Dusun II, Desa Telaga Sari, ada putri sulung Wakiran dan Sumirah yakni Sri (27) dan suaminya, Bambang Saputra (27). Di situ juga ada Tumiati (53), kakak kandung Sumirah.

Pada perbincangan kemarin, Bambang mengungkap informasi mengejutkan. Usai membunuh Sumirah, ayah mertuanya (pelaku) itu ternyata sempat berupaya menikam Sri.

Beruntung, Bambang cepat bereaksi dengan menangkis pisau yang dihujamkan pelaku kepada istrinya. Akibat aksi heroiknya, jari serta tangan Bambang terluka.

Terkait kronologi, Tumiati menceritakan, saat kejadian dirinya tidur sekamar bersama korban. Dia terbangun dari tidur karena mendengar jeritan adiknya (Sumirah).

Melihat korban berlumuran darah, dirinya spontan menarik Sumirah untuk menghindari tikaman berikutnya. “Pisau yang dipegang pelaku juga sudah di depan wajah ku. Tapi teriakan korban membangunkan seisi rumah,” sebutnya.

Usai menikam, Wakiran keluar dari kamar dan berdiri di depan lemari televisi. Langkahnya terhenti karena kepergok Sri, putri sulungnya. Sempat diam sejenak, Wakiran mengarahkan pisaunya kepada ibu 1 anak tersebut. Sejurus kemudian pelaku berupaya menikam Sri. Tikaman itulah yang ditangkis Bambang.

Pembunuhan terhadap Sumirah diyakini anak, menantu, dan kakak iparnya sudah direncanakan oleh Wakiran. Sebab, ayah tiga anak itu diketahui telah beberapa kali mendatangi TKP dengan cara mengendap-endap.

 

Wakiran yang membunuh Sumirah istrinya, karena sang istri menolak rujuk setelah 7 tahun berpisah.

Dua hari sebelum kejadian, pelaku juga datang dan mengintip dari belakang rumah. Tapi karena korban terbangun dan minta ditemani Sri ke toilet, Wakiran buru-buru kabur.

Lanjut Sri, Bambang Saputra dan Tumiati, pembunuhan diyakini memang sudah sangat terencana. Itu bisa dilihat dari sebotol air raksa yang juga dibawa Wakiran. “Sebotol air raksa kami temukan di belakang rumah,” ujar Bambang dan dibenarkan oleh Sri dan Tumiati.

Karenanya, ketiga anak korban dan menantu serta iparnya berharap penegak hukum memberikan hukuman seberat-beratnya kepada Wakiran. Pihak keluarga khawatir, upaya pembunuhan akan kembali dilakukan jika pria tersebut dibiarkan bebas.

Terkait kabar jika keluarga tidak keberatan atas kematian korban, Sri bersama suaminya serta Tumiati dengan tegas menyangkalnya. Menurut mereka, keberatan yang mereka maksud adalah upaya otopsi karena terkendala biaya.

“Ada yang bilang jika biaya otopsi itu mahal sampai Rp15 juta. Dari mana uang kami? Sedangkan korban saja pun menyewa rumah yang sangat sederhana. Korban saja pun semasa hidupnya hanya bekerja pembantu dan mocok-mocok,” ketus mereka. (man/ras)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/