Menurutnya, satu di antara penguat itu adalah soal Undang-Undang nomor 10/2016 yang menjelaskan, syarat calon (kepala daerah) adalah ijazah pendidikan terakhir.
“Jadi ketika kita sudah menyerahkan ijazah S3 (doktor), maka tidak usah lagi didiskusikan STTB itu. Artinya STTB yang legalisirnya mengacu pada surat keterangan sekretaris dinas DKI Jakarta. Itu kan satu versi mengatakan tidak pernah melakukan legalisir, tapi disisi lain dia menyatakan benar ada ijazah itu, ada nomornya. Artinya substansi yuridis dia mengakui legalisasi itu, hanya perbedaannya tinggal stempel dan tanda tangan,” katanya.
Sedangkan soal klarifikasi dari Sekretaris Dinas Pendidikan DKI Jakarta tentang legalisir dimaksud, dirinya menegaskan, memang pihak JR Saragih tidak pernah melakukan legalisir pada 2018 sebagaimana surat yang dikeluarkan instansi tersebut dan sampai di KPU Sumut pada 22 Februari 2018. Hal itu sudah dilakukan pada 2017 lalu. Artinya, telah disiapkan jauh hari sebelum masa pendaftaran peserta Pilgub 2018.
“Kalau kita lihat lebih jeli lagi, kita lihat pengarsipan mereka di sana. Kalau kita itu kan melakukan legalisir di 2017. Keterangan sekretaris dinas itu 2018, ya kita memang tidak ada melegaliasasi di 2018. Tahun 2017 benar kita ada. Jadi itu kan juga harus menjadi pertimbangan dari KPU,” paparnya.
Menurutnya, mereka mempertanyakan surat keterangan dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang baru diterima KPU pada 22 Januari 2018. Sementara masa perbaikan berkas pencalonan berlangsung dari 18-20 Januari.
“Dan yang paling tidak adil lagi adalah kita baru mengetahui syaratnya tidak dipenuhi pada 9 Februari 2018 itu menjelang penetapan pasangan calon. Ya Pak JR Saragih gak bisa ngapa-ngapain lagi. Itu beberapa hal yang akan kita sampaikan di persidangan,” pungkasnya. (bal/ila)