28.9 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

KJA Baru Dilarang di Danau Toba

KERAMBA: Keramba jaring apung (KJA) yang berada di perairan Danau Toba. Keberadaan KJA ini menjadi persoalan serius yang harus segera dituntaskan oleh pemerintah.

SUMUTPOS.CO – Daya tampung Danau Toba terhadap budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA), maksimal hanya 10 ribu ton ikan per tahun. Saat ini, jumlah ikan dinilai sudah melampaui batas yang disarankan. Karena itu, Pemprov Sumut menyurati pemerintah daerah se kawasan Danau Toba, melarang adanya KJA baru.

“PEMPROV Sumut terus berupaya melakukan langkah-langkah mengatasi pencemaran air Danau Toba. Pertama menyurati seluruh kabupaten dan kota, terkait moratorium KJA, agar tidak ditambah lagi di Danau Toba. Kedua, agar kabupaten/kota mengikuti ketentuan Perpres No.81/2014 tentang RTRW Danau Toba khususnya kawasan budidaya perikanan,” ujar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumut, Mulyadi Simatupang menjawab Sumut Pos, Senin (19/8).

Ketiga, DKP Sumut meminta baik perusahaan ataupun kelompok masyarakat pengelola KJA, agar memerhatikan produksi budidayaikan di Danau Toba setiap tahunnya, sesuai SK Gubernur Nomor 188.44/2013/KPTS/2017 tentang daya tampung beban pencemaran dan daya dukung Danau Toba untuk budidaya perikanan.

“Jadi tiga poin inilah yang kita minta dan sudah kita lakukan. Setiap bulan kita juga melakukan pembinaan budidaya ikan yang baik kepada kelompok masyarakat, agar Danau Toba tidak tercemar,” katanya.

Dalam konteks pengawasan KJA, Mulyadi mengaku domain tersebut lebih kepada pemda s- kawasan Danau Toba. Pemprov dalam hal ini sebagai supervisor. “Kita sebagai pemberi saran, arahan dan lebih ke supervisi. Contoh dalam pemberian makan ikan agar jangan berlebihan. Sesuaikan dengan daya dukungnya,” pungkas dia.

Kepala Bidang Pengendalian dan Kerusakan Lingkungan pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumut, Mariduk Sitorus, sebelumnya mengatakan, mayoritas perusahaan yang beroperasi di kawasan Danau Toba YANG memanfaatkan sumber air danau, terindikasi sebagai pencemar atas kualitas air Danau Toba.

“Yang jelas semua perusahaan yang ada di kawasan Danau Toba, terindikasi sebagai sumber pencemar Danau Toba. Termasuk perhotelan-perhotelan. Tapi apakah sudah dikelola dengan baik atau tidak, ini yang belum pernah kita cek. Sebab itu wilayah domestik (domain kabupaten/kota),” katanya.

Diungkapkan dia, sumber limbah yang masuk ke Danau Toba seperti dari PT Aquafarm, Jafpa, Gorga Duma Sari, Taman Simalem Resort, PT Alegrindro, dan limbah domestik rumah tangga. Ia juga menyebut sudah ada Pemen LH No.68 yang mengatur persoalan limbah domestik, yang memungkinkan pihaknya ikut andil melakukan pengawasan intens.

“Pemprov tidak punya wilayah oleh sebab itu kabupaten/kota yang melakukan. Begitupun kami tetap lakukan monitoring dan supervisi sesuai UU 32/2014,” katanya.

Mariduk menambahkan, pemantauan kualitas air Danau Toba juga kerap dilakukan DLH Sumut melalui UTP di Parapat setiap tiga bulan, guna mengetahui sejauh mana tingkat pencemaran Danau Toba.

“Sejak SK 188.44/2009/KPTS/2017 tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Danau Toba dan SK 188.44/213/Kota/2017 tentang Daya Dukung Danau Toba untuk Budidaya Perikanan 10.000 ton diterbitkan, ada penurunan signifikan pencemaran air danau melalui aktifitas KJA,” katanya.

Pihaknya optimis melalui penerapan SK dimaksud sampai 2022, kualitas air Danau Toba akan semakin membaik. Ini didasari dari penelitian yang telah dilakukan DLH, bahwa 10 ribu ton memang merupakan daya tampung maksimal KJA di Danau Toba.

“Jumlah tersebut merupakan maksimal yang boleh dimanfaatkan semua perusahaan dan masyarakat untuk budidaya ikan. Tetapi perusahaan keramba ikan yang ada di perairan Danau Toba bukan kita yang harus menertibkan, melainkan pemerintah pusat. Kita hanya melakukan analisa dan gambaran saja,” katanya. (prn)

KERAMBA: Keramba jaring apung (KJA) yang berada di perairan Danau Toba. Keberadaan KJA ini menjadi persoalan serius yang harus segera dituntaskan oleh pemerintah.

SUMUTPOS.CO – Daya tampung Danau Toba terhadap budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA), maksimal hanya 10 ribu ton ikan per tahun. Saat ini, jumlah ikan dinilai sudah melampaui batas yang disarankan. Karena itu, Pemprov Sumut menyurati pemerintah daerah se kawasan Danau Toba, melarang adanya KJA baru.

“PEMPROV Sumut terus berupaya melakukan langkah-langkah mengatasi pencemaran air Danau Toba. Pertama menyurati seluruh kabupaten dan kota, terkait moratorium KJA, agar tidak ditambah lagi di Danau Toba. Kedua, agar kabupaten/kota mengikuti ketentuan Perpres No.81/2014 tentang RTRW Danau Toba khususnya kawasan budidaya perikanan,” ujar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumut, Mulyadi Simatupang menjawab Sumut Pos, Senin (19/8).

Ketiga, DKP Sumut meminta baik perusahaan ataupun kelompok masyarakat pengelola KJA, agar memerhatikan produksi budidayaikan di Danau Toba setiap tahunnya, sesuai SK Gubernur Nomor 188.44/2013/KPTS/2017 tentang daya tampung beban pencemaran dan daya dukung Danau Toba untuk budidaya perikanan.

“Jadi tiga poin inilah yang kita minta dan sudah kita lakukan. Setiap bulan kita juga melakukan pembinaan budidaya ikan yang baik kepada kelompok masyarakat, agar Danau Toba tidak tercemar,” katanya.

Dalam konteks pengawasan KJA, Mulyadi mengaku domain tersebut lebih kepada pemda s- kawasan Danau Toba. Pemprov dalam hal ini sebagai supervisor. “Kita sebagai pemberi saran, arahan dan lebih ke supervisi. Contoh dalam pemberian makan ikan agar jangan berlebihan. Sesuaikan dengan daya dukungnya,” pungkas dia.

Kepala Bidang Pengendalian dan Kerusakan Lingkungan pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumut, Mariduk Sitorus, sebelumnya mengatakan, mayoritas perusahaan yang beroperasi di kawasan Danau Toba YANG memanfaatkan sumber air danau, terindikasi sebagai pencemar atas kualitas air Danau Toba.

“Yang jelas semua perusahaan yang ada di kawasan Danau Toba, terindikasi sebagai sumber pencemar Danau Toba. Termasuk perhotelan-perhotelan. Tapi apakah sudah dikelola dengan baik atau tidak, ini yang belum pernah kita cek. Sebab itu wilayah domestik (domain kabupaten/kota),” katanya.

Diungkapkan dia, sumber limbah yang masuk ke Danau Toba seperti dari PT Aquafarm, Jafpa, Gorga Duma Sari, Taman Simalem Resort, PT Alegrindro, dan limbah domestik rumah tangga. Ia juga menyebut sudah ada Pemen LH No.68 yang mengatur persoalan limbah domestik, yang memungkinkan pihaknya ikut andil melakukan pengawasan intens.

“Pemprov tidak punya wilayah oleh sebab itu kabupaten/kota yang melakukan. Begitupun kami tetap lakukan monitoring dan supervisi sesuai UU 32/2014,” katanya.

Mariduk menambahkan, pemantauan kualitas air Danau Toba juga kerap dilakukan DLH Sumut melalui UTP di Parapat setiap tiga bulan, guna mengetahui sejauh mana tingkat pencemaran Danau Toba.

“Sejak SK 188.44/2009/KPTS/2017 tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Danau Toba dan SK 188.44/213/Kota/2017 tentang Daya Dukung Danau Toba untuk Budidaya Perikanan 10.000 ton diterbitkan, ada penurunan signifikan pencemaran air danau melalui aktifitas KJA,” katanya.

Pihaknya optimis melalui penerapan SK dimaksud sampai 2022, kualitas air Danau Toba akan semakin membaik. Ini didasari dari penelitian yang telah dilakukan DLH, bahwa 10 ribu ton memang merupakan daya tampung maksimal KJA di Danau Toba.

“Jumlah tersebut merupakan maksimal yang boleh dimanfaatkan semua perusahaan dan masyarakat untuk budidaya ikan. Tetapi perusahaan keramba ikan yang ada di perairan Danau Toba bukan kita yang harus menertibkan, melainkan pemerintah pusat. Kita hanya melakukan analisa dan gambaran saja,” katanya. (prn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/