25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Ashari-Yusuf Calon Tunggal

Sedangkan Pengamat Politik Agus Suryadi menilai, hegemoni Ashari Tambunan di Deliserdang memag tidak terbantahkan. Hal itu juga membuat semua parpol mendukung calon petahana itu. “Ashari Tambunan sulit dikalahkan di Deliserdang. Ini yang membuat semua parpol mendukung. Apalagi parpol sekarang lebih pragmatis, sehingga secara berjamaah mendukung Ashari. Selain itu, parpol di Deliserdang sepertinya kesulitan untuk melahirkan kader yang mampu mengimbangi Ashari,” sebutnya kepada Sumut Pos, Minggu (21/1) malam.

Pengamat dari USU ini menambahkan, selain kader parpol yang tidak menjual, sosok dari perseorangan juga tidak memiliki akar rumput di Deliserdang. “Kalau saya melihat, dua paslon dari independen memang belum mampu menyaingi Ashari,” pungkasnya.

Sementara, akademisi Universitas Medan Area (UMA) Warjio menilai, ada banyak hal yang melatarbelakangi fenomena paslon melawan ‘kotak kosong’ pada pilkada serentak di Indonesia tahun ini, terlebih seperti di Kabupaten Deliserdang. Pertama menurut dia, ialah kondisi keuangan kandidat yang akan bertarung. Terutama para calon yang tidak punya modal kuat sehingga susah mendapat perahu atau partai politik. “Nah ini menjadi persoalan, karena kemampuan keuangan tidak mencukupi akhirnya si kandidat menarik diri ikut berkompetisi di pilkada,” katanya kepada Sumut Pos, Minggu (21/1).

Hal kedua, sebut Warjio, faktor kekuatan petahana selama periodenisasi memimpin daerah itu cukup bagus dengan menggalang semua elemen masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya, sehingga secara kalkulasi politik calon lawannya menjadi kesulitan dan mendapat tantangan yang tinggi. “Alhasil lawannya itu sulit juga untuk ikut mencalon sesuai sarat dan ketentuan perundang-undangan,” katanya.

Pandangan terakhir ialah, petahana membeli semua parpol untuk mendukung kontestasi dirinya bertarung dalam pilkada. Sehingga tidak ada kemungkinan lagi bagi kandidat lain untuk mendapatkan tiket pencalonan. “Salah satunya dalam konteks Pilkada Deliserdang tahun ini. Kita masih ingat seperti Tebingtinggi yang juga melawan kotak kosong di edisi pilkada serentak sebelumnya. Fenomena begini sudah marak di seluruh daerah se Indonesia sejak pilkada serentak diberlakukan,” terangnya.

Bisa juga dengan strategi memakai calon lawan imitasi. Artinya menurut Warjio, sengaja diciptakan lawan atau kandidatnya memakai parpol tertentu serta menggunakan jalur independen tidak mencukupi yang akhirnya si kandidat tersebut mengundurkan diri. “Saya kira dalam konteks membuka kran partisipasi politik masyarakat, ini merupakan contoh yang tidak baik. Tapi persoalannya di UU kita memperbolehkan hal tersebut. Kiranya ke depan ada evaluasi terhadap calon lawan kotak kosong ini, dimana legislatif kita perlu membuat regulasi baru untuk mengatur pelaksanaan pilkada serentak tersebut,” pungkasnya. (btr/prn/adz)

Sedangkan Pengamat Politik Agus Suryadi menilai, hegemoni Ashari Tambunan di Deliserdang memag tidak terbantahkan. Hal itu juga membuat semua parpol mendukung calon petahana itu. “Ashari Tambunan sulit dikalahkan di Deliserdang. Ini yang membuat semua parpol mendukung. Apalagi parpol sekarang lebih pragmatis, sehingga secara berjamaah mendukung Ashari. Selain itu, parpol di Deliserdang sepertinya kesulitan untuk melahirkan kader yang mampu mengimbangi Ashari,” sebutnya kepada Sumut Pos, Minggu (21/1) malam.

Pengamat dari USU ini menambahkan, selain kader parpol yang tidak menjual, sosok dari perseorangan juga tidak memiliki akar rumput di Deliserdang. “Kalau saya melihat, dua paslon dari independen memang belum mampu menyaingi Ashari,” pungkasnya.

Sementara, akademisi Universitas Medan Area (UMA) Warjio menilai, ada banyak hal yang melatarbelakangi fenomena paslon melawan ‘kotak kosong’ pada pilkada serentak di Indonesia tahun ini, terlebih seperti di Kabupaten Deliserdang. Pertama menurut dia, ialah kondisi keuangan kandidat yang akan bertarung. Terutama para calon yang tidak punya modal kuat sehingga susah mendapat perahu atau partai politik. “Nah ini menjadi persoalan, karena kemampuan keuangan tidak mencukupi akhirnya si kandidat menarik diri ikut berkompetisi di pilkada,” katanya kepada Sumut Pos, Minggu (21/1).

Hal kedua, sebut Warjio, faktor kekuatan petahana selama periodenisasi memimpin daerah itu cukup bagus dengan menggalang semua elemen masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya, sehingga secara kalkulasi politik calon lawannya menjadi kesulitan dan mendapat tantangan yang tinggi. “Alhasil lawannya itu sulit juga untuk ikut mencalon sesuai sarat dan ketentuan perundang-undangan,” katanya.

Pandangan terakhir ialah, petahana membeli semua parpol untuk mendukung kontestasi dirinya bertarung dalam pilkada. Sehingga tidak ada kemungkinan lagi bagi kandidat lain untuk mendapatkan tiket pencalonan. “Salah satunya dalam konteks Pilkada Deliserdang tahun ini. Kita masih ingat seperti Tebingtinggi yang juga melawan kotak kosong di edisi pilkada serentak sebelumnya. Fenomena begini sudah marak di seluruh daerah se Indonesia sejak pilkada serentak diberlakukan,” terangnya.

Bisa juga dengan strategi memakai calon lawan imitasi. Artinya menurut Warjio, sengaja diciptakan lawan atau kandidatnya memakai parpol tertentu serta menggunakan jalur independen tidak mencukupi yang akhirnya si kandidat tersebut mengundurkan diri. “Saya kira dalam konteks membuka kran partisipasi politik masyarakat, ini merupakan contoh yang tidak baik. Tapi persoalannya di UU kita memperbolehkan hal tersebut. Kiranya ke depan ada evaluasi terhadap calon lawan kotak kosong ini, dimana legislatif kita perlu membuat regulasi baru untuk mengatur pelaksanaan pilkada serentak tersebut,” pungkasnya. (btr/prn/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/