25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Pengungsi Sinabung ’Malu tapi Butuh’ soal Bilik Asmara

Foto: Anita/PM Sejumlah pengungsi korban erupsi Sinabung, tidur-tiduran di lokasi pengungsian, Jumat (21/8/2015).
Foto: Anita/PM
Sejumlah pengungsi korban erupsi Sinabung, tidur-tiduran di lokasi pengungsian, Jumat (21/8/2015).

BATU KARANG, SUMUTPOS.CO – Warga Desa Gurukinayan yang tinggal di posko pengungsian Jambur Lau Buah Batu Karang, Desa Batu Karang, Kecamatan Payung, mulai gelisah. Meski pemerintah dan relawan telah menyediakan kebutuhan hidup, tapi mereka tetap tidak nyaman karena tak punya privasi, termasuk urusan untuk menyalurkan kebutuhan biologis.

Urusan hubungan suami istri tetap jadi kebutuhan yang cukup penting, selain makan dan minum. Apalagi, hingga saat ini belum ada prediksi sampai kapan mereka akan tinggal di pengungsian. Meski begitu,soal bilik asmara di pengungsian inimasih jadi dilema.

“Serba salah kami. Perlu ya memang perlu. Tapi kita kan malu juga. Selain masih menjunjung tinggi adat, kita nggak mungkin masuk ke bilik asmara secara terang-terangan. Apalagi pengungsi di sini rata-rata masih punya hubungan saudara. Masih bersaudara semua di sini. Jadi begini sajalah dulu,” kata Tarigan,Kamis (20/8) siang.

Lalu bagaimana Tarigan dan pasutri lain menyalurkan kebutuhan biologis masing-masing? Ditanya begitu, Tarigan dan beberapa pengungsi lain memilih bungkam. Selain masalah bilik asmara, tidur berhimpit-himpitan dan bercampur baur dengan lelaki dewasa juga jadi masalah, khususnya bagi para remaja.

Kondisi itu dikeluhkan oleh Tawan (16), salah seorang remaja yang sudah dua bulan lebih tinggal di posko pengungsian itu. Selama di pengungsian itu,ia terpaksa harus tidur berhimpit-himpitan bercampur baur dengan laki-laki dan perempuan dewasa. Tak ada jarak sedikit pun, hanya satu dua buah tas pakaian ditaruh disela-sela tempat yang biasanya dia tidur bersama kedua orangtuanya sebagai pembatas. Selembar tikar dan dua helai selimut selalu menemani kala mereka beristirahat.

“Sebenarnya, aku sudah malu tidur dengan kedua orangtuaku di pengungsian apalagi berhimpitan-himpitan dengan lelaki dewasa. Walaupun masih ada hubungan saudara, tapi di sana ada bibi (tante), mama (paman), bengkila (suami tante) serta turangku, ya sudah pasti segan. Tapi apa boleh buat dan mau bagaimana lagi. Kadang-kadang risih juga ketika golek-golek di depan banyak orang. Apalagi kalau waktunya mau mandi, semua harus antre menunggu giliran. Sehingga merasa tidak nyaman tinggal di sini,” lirih gadis berkulit sawo matang itu.

Dua gadis tanggung yang sedang mengobrol di bawah pohon rindang, mencurahkan keluh kesah mereka. Keduanya mengaku sempat trauma karena pada suatu malam mereka sempat memergoki pasangan sedang berhubungan intim. “Ketika berjalan, aku melihat ada balai-balai yang dikelilingi spanduk. Saat itu spanduk itu bergoyang-goyang. Karena penasaran aku bukalah spanduk itu sedikit. Setelah spanduk terbuka, betapa terkejutnya aku ada dua orang berlainan jenis sedang bergumul. Karena kaget bercampur takut aku lari meninggalkan balai-balai itu,” kenangnya.

Pemandangan itu katanya, sangat membekas dibenaknya. Karena hal itu belum waktunya untuk dilihatnya.

Lain lagi dengan pengalaman Nelly (17) pengungsi asal desa yang sama. Dia mengaku risau dengan kondisi di pengungsian. Setiap kali pacarnya datang, dia merasa tidak ada tempat yang enak untuk mengobrol. Karena itu, remaja berumur 17 tahun tersebut selalu mengajak pacarnya untuk keluar dari lokasi pengungsian. “Tapi, ketika kami pacaran di luar, saya takut nggak bisa mengontrol diri. Saya takut hamil,” katanya mengakhiri.

Sehingga dampak psikologis ini akan mempengaruhi pikiran, emosi, dan perilaku korban bencana dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dampak dari bencana menyentuh semua aspek kehidupan seperti kehilangan kehidupan yang teratur. Sementara jumlah pengungsi asal desa Gurki yang tinggal di posko tersebut berjumlah 1226 jiwa/404 KK. (cr-7/deo)

Foto: Anita/PM Sejumlah pengungsi korban erupsi Sinabung, tidur-tiduran di lokasi pengungsian, Jumat (21/8/2015).
Foto: Anita/PM
Sejumlah pengungsi korban erupsi Sinabung, tidur-tiduran di lokasi pengungsian, Jumat (21/8/2015).

BATU KARANG, SUMUTPOS.CO – Warga Desa Gurukinayan yang tinggal di posko pengungsian Jambur Lau Buah Batu Karang, Desa Batu Karang, Kecamatan Payung, mulai gelisah. Meski pemerintah dan relawan telah menyediakan kebutuhan hidup, tapi mereka tetap tidak nyaman karena tak punya privasi, termasuk urusan untuk menyalurkan kebutuhan biologis.

Urusan hubungan suami istri tetap jadi kebutuhan yang cukup penting, selain makan dan minum. Apalagi, hingga saat ini belum ada prediksi sampai kapan mereka akan tinggal di pengungsian. Meski begitu,soal bilik asmara di pengungsian inimasih jadi dilema.

“Serba salah kami. Perlu ya memang perlu. Tapi kita kan malu juga. Selain masih menjunjung tinggi adat, kita nggak mungkin masuk ke bilik asmara secara terang-terangan. Apalagi pengungsi di sini rata-rata masih punya hubungan saudara. Masih bersaudara semua di sini. Jadi begini sajalah dulu,” kata Tarigan,Kamis (20/8) siang.

Lalu bagaimana Tarigan dan pasutri lain menyalurkan kebutuhan biologis masing-masing? Ditanya begitu, Tarigan dan beberapa pengungsi lain memilih bungkam. Selain masalah bilik asmara, tidur berhimpit-himpitan dan bercampur baur dengan lelaki dewasa juga jadi masalah, khususnya bagi para remaja.

Kondisi itu dikeluhkan oleh Tawan (16), salah seorang remaja yang sudah dua bulan lebih tinggal di posko pengungsian itu. Selama di pengungsian itu,ia terpaksa harus tidur berhimpit-himpitan bercampur baur dengan laki-laki dan perempuan dewasa. Tak ada jarak sedikit pun, hanya satu dua buah tas pakaian ditaruh disela-sela tempat yang biasanya dia tidur bersama kedua orangtuanya sebagai pembatas. Selembar tikar dan dua helai selimut selalu menemani kala mereka beristirahat.

“Sebenarnya, aku sudah malu tidur dengan kedua orangtuaku di pengungsian apalagi berhimpitan-himpitan dengan lelaki dewasa. Walaupun masih ada hubungan saudara, tapi di sana ada bibi (tante), mama (paman), bengkila (suami tante) serta turangku, ya sudah pasti segan. Tapi apa boleh buat dan mau bagaimana lagi. Kadang-kadang risih juga ketika golek-golek di depan banyak orang. Apalagi kalau waktunya mau mandi, semua harus antre menunggu giliran. Sehingga merasa tidak nyaman tinggal di sini,” lirih gadis berkulit sawo matang itu.

Dua gadis tanggung yang sedang mengobrol di bawah pohon rindang, mencurahkan keluh kesah mereka. Keduanya mengaku sempat trauma karena pada suatu malam mereka sempat memergoki pasangan sedang berhubungan intim. “Ketika berjalan, aku melihat ada balai-balai yang dikelilingi spanduk. Saat itu spanduk itu bergoyang-goyang. Karena penasaran aku bukalah spanduk itu sedikit. Setelah spanduk terbuka, betapa terkejutnya aku ada dua orang berlainan jenis sedang bergumul. Karena kaget bercampur takut aku lari meninggalkan balai-balai itu,” kenangnya.

Pemandangan itu katanya, sangat membekas dibenaknya. Karena hal itu belum waktunya untuk dilihatnya.

Lain lagi dengan pengalaman Nelly (17) pengungsi asal desa yang sama. Dia mengaku risau dengan kondisi di pengungsian. Setiap kali pacarnya datang, dia merasa tidak ada tempat yang enak untuk mengobrol. Karena itu, remaja berumur 17 tahun tersebut selalu mengajak pacarnya untuk keluar dari lokasi pengungsian. “Tapi, ketika kami pacaran di luar, saya takut nggak bisa mengontrol diri. Saya takut hamil,” katanya mengakhiri.

Sehingga dampak psikologis ini akan mempengaruhi pikiran, emosi, dan perilaku korban bencana dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dampak dari bencana menyentuh semua aspek kehidupan seperti kehilangan kehidupan yang teratur. Sementara jumlah pengungsi asal desa Gurki yang tinggal di posko tersebut berjumlah 1226 jiwa/404 KK. (cr-7/deo)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/