28 C
Medan
Friday, January 31, 2025

Ijeck dan Sihar Jadi ’Donatur’

 Komisioner KPU Sumut Benget Silitonga.

Lebih lanjut, Benget menjelaskan LPSDK akan diumumkan ke publik melalui website KPU Sumut, di Sekretariat KPU Sumut serta di Portal KPU RI. Selanjutnya LPPDK akan diaudit oleh akuntan publik yang resmi ditunjuk KPU Sumut.

“Apabila ditemukan kelebihan sumbangan akan dikembalikan ke negara. Sumbangan perseorangan maksimal Rp75 juta, sumbangan dari organisasi badan atau usaha maksimal Rp750 juta,” ungkapnya.

Dominannya calon wakil gubernur dalam memberikan sumbangan dana kampanye, menurut pengamat anggaran Elfenda Ananda, lumrah terjadi dengan kesepakatan-kesepatan politik yang tentunya masyarakat tidak tahu. Namun menurutnya, hal ini bisa menjadi kacau apabila sokongan dana dari orang nomor dua itu melebihi 10 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Dalam struktur pemerintahan, orang nomor satu (gubernur) sudah pasti lebih berkuasa ketimbang orang nomor dua (wakil gubernur). Kekuasan orang nomor satu dalam pemerintahan itu tak terlawan. Artinya, orang nomor satu tentu akan dominan dalam pengelolaan anggaran. Tapi, bila melihat kondisi seperti itu, pastinya ada kesepakatan politis antara keduanya (Cagub dan Cawagub) yang kita hanya bisa menduga-duga,” beber Elfenda Ananda kepada Sumut Pos, Senin (23/4).

Menurutnya, yang menjadi masalah adalah ketika orang nomor dua mengeluarkan dana kampanye lebih besar 10 persen dari PAD daerah. “Kalaulah APBD Provinsi Sumut Rp13 triliun, 60 persennya itu berasal dari PAD berarti Rp8 triliun. Kalau 10 persen berarti Rp800 miliar bayangkan kalau lebih, ini akan berbahaya dan menganggu penggunaan anggaran. Karena sudah bisa dipastikan orang nomor dua yang menyokong dana akan berupaya mengembalikan uangnya, efeknya akan muncul kesepakatan politik tak sehat dan menganggu ritme kepemimpinan ketika paslon tadi menang,” ungkapnya.

Untuk itu, masyarakat diharapkan memilih calon pemimpinnya yang bisa dipercaya dengan melihat rekam jejak tiap-tiap paslon pada Pilgubsu mendatang.

“Karena sudah pasti ada kesepakatan-kesepakatan politik yang kita belum ketahui diantara dua paslon, jangan sampai kegagalan pemimpin-pemimpin Sumut sebelumnya terulang, bisa dilihat bagaimana tak harmonisnya pasangan Gubsu dan Wagubsu sebelumnya,” pungkasnya Elfenda.

Sementara pengamat politik dan hukum dari UMSU Rio Affandi Siregar fenomena wakil lebih banyak uang belakangan memang menjadi perhatian. Dia mencontohkan, pasangan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta yang secara finansial justru lebih besar Sandiaga Uno sebagai wakil gubernur. “Keduanya kan punya latarbelakang yang sama, pengusaha. Sehingga wajar saja calon gubernur dan wakilnya saling melengkapi. Karena secara ketokohan, seorang wakil biasanya tidak begitu kuat. Jadi memang harus memiliki kelebihan, contohnya soal pendanaan,” ujar Rio, Senin (23/4).

 Komisioner KPU Sumut Benget Silitonga.

Lebih lanjut, Benget menjelaskan LPSDK akan diumumkan ke publik melalui website KPU Sumut, di Sekretariat KPU Sumut serta di Portal KPU RI. Selanjutnya LPPDK akan diaudit oleh akuntan publik yang resmi ditunjuk KPU Sumut.

“Apabila ditemukan kelebihan sumbangan akan dikembalikan ke negara. Sumbangan perseorangan maksimal Rp75 juta, sumbangan dari organisasi badan atau usaha maksimal Rp750 juta,” ungkapnya.

Dominannya calon wakil gubernur dalam memberikan sumbangan dana kampanye, menurut pengamat anggaran Elfenda Ananda, lumrah terjadi dengan kesepakatan-kesepatan politik yang tentunya masyarakat tidak tahu. Namun menurutnya, hal ini bisa menjadi kacau apabila sokongan dana dari orang nomor dua itu melebihi 10 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Dalam struktur pemerintahan, orang nomor satu (gubernur) sudah pasti lebih berkuasa ketimbang orang nomor dua (wakil gubernur). Kekuasan orang nomor satu dalam pemerintahan itu tak terlawan. Artinya, orang nomor satu tentu akan dominan dalam pengelolaan anggaran. Tapi, bila melihat kondisi seperti itu, pastinya ada kesepakatan politis antara keduanya (Cagub dan Cawagub) yang kita hanya bisa menduga-duga,” beber Elfenda Ananda kepada Sumut Pos, Senin (23/4).

Menurutnya, yang menjadi masalah adalah ketika orang nomor dua mengeluarkan dana kampanye lebih besar 10 persen dari PAD daerah. “Kalaulah APBD Provinsi Sumut Rp13 triliun, 60 persennya itu berasal dari PAD berarti Rp8 triliun. Kalau 10 persen berarti Rp800 miliar bayangkan kalau lebih, ini akan berbahaya dan menganggu penggunaan anggaran. Karena sudah bisa dipastikan orang nomor dua yang menyokong dana akan berupaya mengembalikan uangnya, efeknya akan muncul kesepakatan politik tak sehat dan menganggu ritme kepemimpinan ketika paslon tadi menang,” ungkapnya.

Untuk itu, masyarakat diharapkan memilih calon pemimpinnya yang bisa dipercaya dengan melihat rekam jejak tiap-tiap paslon pada Pilgubsu mendatang.

“Karena sudah pasti ada kesepakatan-kesepakatan politik yang kita belum ketahui diantara dua paslon, jangan sampai kegagalan pemimpin-pemimpin Sumut sebelumnya terulang, bisa dilihat bagaimana tak harmonisnya pasangan Gubsu dan Wagubsu sebelumnya,” pungkasnya Elfenda.

Sementara pengamat politik dan hukum dari UMSU Rio Affandi Siregar fenomena wakil lebih banyak uang belakangan memang menjadi perhatian. Dia mencontohkan, pasangan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta yang secara finansial justru lebih besar Sandiaga Uno sebagai wakil gubernur. “Keduanya kan punya latarbelakang yang sama, pengusaha. Sehingga wajar saja calon gubernur dan wakilnya saling melengkapi. Karena secara ketokohan, seorang wakil biasanya tidak begitu kuat. Jadi memang harus memiliki kelebihan, contohnya soal pendanaan,” ujar Rio, Senin (23/4).

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/