MEDAN, SUMUTPOS.CO – Polemik pemilihan Wakil Gubernur Sumatera Utara (Wagubsu) semakin alot. Diperkirakan, paripurna yang akan digelar DPRD Sumut Senin hari ini (24/10) batal digelar. Indikasinya, tidak adanya komitmen politik antara parpol dengan kedua kandidat. Belum lagi tarik menarik kepentingan, sehingga diperkirakan ada pengkondisian agar paripurna tidak korum.
Bahkan, Fraksi PDIP secara tegas menolak paripurna pemilihan Wagubsu digelar, karena adanya putusan PTUN Jakarta atas gugatan yang dilayangkan PKNU Sumut terhadap mekanisme pemilihan cawagubsu. Keputusan ini diambil setelah Fraksi PDIP menggelar rapat tertutup dengan Pengurus DPD PDIP Sumut, Minggu (23/10) malam.
Juru Bicara Fraksi PDIP, Sutrisno Pangaribuan menyebutkan, pihaknya telah sepakat untuk tidak melanjutkan sidang paripurna pemilihan cawagubsu. Sebab, telah banyak pelanggaran hukum di dalam perjalanannya.
“Argumentasi yang saya sampaikan selama ini diterima DPD PDIP Sumut. Jadi, sikap fraksi adalah menolak dilanjutkannya sidang paripurna pemilihan, dan menghargai putusan PTUN Jakarta,” kata Sutrisno usai rapat berlangsung, tadi malam.
Dijelaskannya, Fraksi PDIP DPRD Sumut akan tetap hadir dalam sidang paripurna dengan agenda pemilihan cawagubsu. Akan tetapi, didalam kesempatan itu pihaknya akan menyampaikan argumentasi mengenai mengapa sidang paripurna harus dibatalkan.
“PDIP bukan tidak setuju dengan pengisian posisi wakil gubenur, itu perlu dicatat. Tapi yang kami tidak setuju itu adalah prosesnya,” ungkapnya.
Politisi asal Tapanuli Selatan (Tapsel) itu menambahkan, Fraksi PDIP akan mendukung proses pengisian kursi Sumut 2, jika acuannya adalah UU No 10/2016 pasal 176.
“Tidak boleh lagi pasal 174 serta surat Mendgari yang dijadikan acuan, karena itu melanggar ketentuan hukum. Ini sikap resmi Fraksi, dan akan disampaikan pada sidang paripurna esok (hari ini, Red),” tegasnya.
Sementara, pengamat politik Prof DR HM Arif Nasution MA menilai, hingga kini tidak ada kesepakatan antara parpol dengan kedua kandidat, sehingga parpol akan melakukan penolakan secara halus dengan mengkondisikan agar paripurna tidak korum.
“Di sisi lain, ada persoalan hukum dan peraturan yang tak duduk dalam memahami aturan. Jadi ini cakap kotor, bila tetap dilakukan paripurna pemilihan, dan bisa jadi paripurna ini bagian dari perbuatan perlawanan terhadap aturan,” kata Prof Arif Nasution kepada Sumut Pos, Minggu (23/10).
Dia juga menganalisis, dengan bertemunya para kandidat cawagubsu dengan pengurus sejumlah partai, pada akhirnya tak ada jawaban dukungan. Tentu ini menjadi tanda tanya besar.
Direktur Pasca Sarjana Magister Studi Pembangunan USU ini juga menyoroti secara etika politik yang dijalankan. Kemunculan kandidat cenderung karena adanya ego partai, sehingga ada unsur tidak harmonisnya para partai pengusung Gatot dan Erry.
Hal lainnya, sebutnya, parpol di luar PKS dan Hanura juga sudah melihat persoalan putusan Mahkamah Agung mengenai surat Kementerian Dalam Negeri, yang menyatakan partai non kursi tak mengusulkan kandidat Cawagubsu, tentu ini perbuatan yang tak sesuai aturan berlaku.
Arif juga menyampaikan, selain aturan yang berlaku ditabrak, dan komitmen politik antara Cawagubsu dengan partai politik tak terbangun, maka hasilnya pemaksaan serta terjadinya pemerintahan tidak sehat. Ditambah lagi, Erry Nuradi selaku orang yang berkepentingan untuk memakai Cawagubsu tak ada upaya politik untuk memastikan pendampingnya, seperti menyeleksi dan berkomunikasi ke partai politik.
Dengan pertimbangan politik praktis, yang kemungkinan bakal ada usulan kandidat Cawagubsu diulang, pertimbangan kepatutan dan kepantasan, yang belum jelas arah politik dan komitmennya serta ada aturan pelaksanaan demokrasi ditabrak.
“Sangat mungkin dilakukan penolakan paripurna secara halus, yakni paripurna dibuat tak korum,” sebutnya.