Menurut Chudry, langkah eksekusi manajemen bisa menjadi terobosan, kalau memang ada. Namun ia mengingatkan, eksekusi harus sepenuhnya dilaksanakan sesuai dakwaan. Misalnya, ketika DL didakwa merubah kawasan hutan lindung menjadi perkebunan, maka artinya ada pelanggaran Undang-Undang Kehutanan.
“Jadi kalau dakwaannya langgar UU Kehutanan, maka dikembalikan fungsinya pada kondisi semula sesuai dengan apa yang didakwakan. Jangan justru hanya pindah tangan pengelolaan. Misalnya dari semula oleh sebuah perusahaan, kini oleh pemerintah lewat PT Inhutani,” katanya.
Chudry menduga, kebijakan alih manajemen dari PT Torganda ke PT Inhutani kemungkinan ditempuh pemerintah, mengingat adanya belasan ribu masyarakat yang kini mengelola perkebunan sawit di atas lahan tersebut.
Hal tersebut dimungkinkan apalagi selama ini dikenal ada program inti plasma. Artinya masyarakat yang melakukan penanaman, sementara hasilnya dijual pada PT Inhutani.
“Mungkin pertimbangannya karena ada masyarakat, jadi dibiarkan (tidak dijadikan hutan kembali,red). Mestinya tidak ada pertimbangan seperti itu,” kata Chudry.
Sebelumya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan, alih manajemen dari PT Torganda ke PT Inhutani dilakukan mengingat adanya ribuan masyarakat yang bermukim di atas lahan tersebut. Karena itu demi menjaga aktivitas perekonomian masyarakat tidak berhenti, diambil kebijaksanaan alih manajemen. Apalagi putusan kasasi MA secara tegas menyatakan lahan merupakan milik Negara dan pengelolaannya berada di bawah Kementerian LHK.
“Sebagai bentuk kehadiran Negara, manajemen (perkebunan,red) tidak diteruskan oleh mereka (perusahaan DL Sitorus,red). Makanya harus ada alih manajemen. Karena diberikan ke kehutanan, kami kasih ke Perhutani dulu untuk sementara. Alih manajemen ini artinya yang kita tukar tingkat direksi. Jadi di atas dulu. Sehingga operasi ke bawah tidak terganggu. Karena masyarakat tidak boleh terhenti aktivitas ekonominya,” kata Siti. (gir/jpnn)
Kejagung: Sudah Dieksekusi, Register 40 Kewenangan Kemenhut
Menurut Chudry, langkah eksekusi manajemen bisa menjadi terobosan, kalau memang ada. Namun ia mengingatkan, eksekusi harus sepenuhnya dilaksanakan sesuai dakwaan. Misalnya, ketika DL didakwa merubah kawasan hutan lindung menjadi perkebunan, maka artinya ada pelanggaran Undang-Undang Kehutanan.
“Jadi kalau dakwaannya langgar UU Kehutanan, maka dikembalikan fungsinya pada kondisi semula sesuai dengan apa yang didakwakan. Jangan justru hanya pindah tangan pengelolaan. Misalnya dari semula oleh sebuah perusahaan, kini oleh pemerintah lewat PT Inhutani,” katanya.
Chudry menduga, kebijakan alih manajemen dari PT Torganda ke PT Inhutani kemungkinan ditempuh pemerintah, mengingat adanya belasan ribu masyarakat yang kini mengelola perkebunan sawit di atas lahan tersebut.
Hal tersebut dimungkinkan apalagi selama ini dikenal ada program inti plasma. Artinya masyarakat yang melakukan penanaman, sementara hasilnya dijual pada PT Inhutani.
“Mungkin pertimbangannya karena ada masyarakat, jadi dibiarkan (tidak dijadikan hutan kembali,red). Mestinya tidak ada pertimbangan seperti itu,” kata Chudry.
Sebelumya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan, alih manajemen dari PT Torganda ke PT Inhutani dilakukan mengingat adanya ribuan masyarakat yang bermukim di atas lahan tersebut. Karena itu demi menjaga aktivitas perekonomian masyarakat tidak berhenti, diambil kebijaksanaan alih manajemen. Apalagi putusan kasasi MA secara tegas menyatakan lahan merupakan milik Negara dan pengelolaannya berada di bawah Kementerian LHK.
“Sebagai bentuk kehadiran Negara, manajemen (perkebunan,red) tidak diteruskan oleh mereka (perusahaan DL Sitorus,red). Makanya harus ada alih manajemen. Karena diberikan ke kehutanan, kami kasih ke Perhutani dulu untuk sementara. Alih manajemen ini artinya yang kita tukar tingkat direksi. Jadi di atas dulu. Sehingga operasi ke bawah tidak terganggu. Karena masyarakat tidak boleh terhenti aktivitas ekonominya,” kata Siti. (gir/jpnn)