Selama puluhan tahun, beras dikenal sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia. Padahal, Nusantara memiliki kekayaan tanaman pangan hingga ratusan jenis. Sebagian besar di antaranya nyaris terlupakan. Adalah Helianti Hilman, ‘Kartini masa kini’ yang menggali ratusan tanaman pangan lokal nusantara dan mengangkatnya ke dunia internasional.
Pemandangan rak-rak berisi wadah beragam warna di belakang sosok Helianti Hilman pada layar zoom pekan lalu, kontan memunculkan ketertarikan peserta webinar.
Mirip rak buku, tapi bukan.
Apa itu?
“Apakah itu produk tanaman pangan nusantara, bu?” tanya Indra Bekti, pembawa acara webinar perayaan Kartini 2021 Tambang Emas Martabe bertema: The Future Has No Gender, Selasa (20/4) lalu.
“Betul, Indra. Di belakang saya ini adalah ratusan jenis produk pangan dari Aceh sampai Papua, yang telah kami ekspor ke berbagai negara. Ini beragam jenis pangan yang kami gali selama 12 tahun dari berbagai pelosok nusantara,” ungkap Helianti, pembicara tamu sembari menoleh ke arah rak-rak di belakangnya.
Kartini pelopor pemberdayaan para petani di Javara Academy atau Sekolah Seniman Pangan itu, lantas memutar video dengan konten sejumlah tanaman pangan nusantara, yang nutrisinya melampaui makanan-makanan favorit dunia.
Contohnya, krokot, tanaman liar yang kadar Omega 3-nya setara dengan ikan salmon yang mahal. Kemudian daun kelor yang kadar nutrisinya sangat tinggi. Sangat sehat dikonsumsi. Daun ini mudah pula tumbuh di berbagai pelosok tanah air.
“Indonesia ternyata memiliki ratusan jenis tanaman pangan yang nyaris terlupakan. Ini yang mau kita bangkitkan. Intinya, kita tak perlu takut kelaparan karena beragam jenis pangan tumbuh di sekitar kita. Bahkan tumbuh liar di pinggir jalan,” katanya.
Sejak kapan sih mulai tertarik tanaman pangan yang ‘nyaris terlupakan’ itu?
Menurut CEO Javara Indonesia ini, ketertarikan dirinya pada tanaman pangan dimulai sejak sang ibu –seorang mantan jaksa–, memilih berkebun di sekitar rumah untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarga. Maklum, desa pegunungan tempat suaminya bekerja sebagai Manager Perkebunan Kopi itu rada jauh dari stok makanan. “Hasil kebun ibu saya sangat mencukupi gizi keluarga. Sisanya bahkan dijual ke kota,” ucapnya.
Namun kreativitas sang ibu pada dunia tanaman masih sekadar bibit… bukan pemicu Helianti terjun ke dunia bisnis pertanian.
“Jujur ya… latar belakang pendidikan saya bukan pertanian. Penggalian tanaman pangan lokal ini baru muncul saat saya diundang menjadi lawyer para petani yang kesulitan dengan kontrak-kontrak korporasi besar. Saat berinteraksi dengan petani itulah, saya kok jadi kalap saat mendapati ternyata begitu banyak tanaman pangan yang tidak pernah saya lihat sebelumnya,” cetus Sarjana Hukum Internasional lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung dan Master Hukum Hak Kekayaan Intelektual Kings College lulusan University of London ini, seraya tersenyum manis.
‘Kekalapan’ itu membuat Helianti mulai serius menggali tanaman-tanaman pangan nusantara. Tahun 2008 lalu, ia membangun perusahaan food diversity entrepreneur berbasis kearifan lokal, dengan bendera Javara. “Saya memulai Javara dengan 8 produk dan 10 petani. Pasar pun awalnya hanya di Jakarta,” tutur wanita kelahiran 9 Maret 1971 ini.
Awalnya, pasar domestik agak sulit berkembang. Tapi ia tidak menyerah. Memegang konsep Business with Purposes, ia menerobos pasar luar negeri. Eh ternyata sukses seiring dengan makin tingginya peminat tanaman organik. Ia sekaligus mendobrak anggapan bahwa hanya pebisnis besar yang mampu melakukan ekspor.
Sekarang di tahun 2021, Javara sudah bermitra dengan 50 ribu petani, melahirkan 700 produk dan ekspor ke 28 negara. Pasar domestik pun semakin berkembang. Bahkan di era pandemi Covid-19 penjualannya naik 28 persen karena banyaknya permintaan ‘makanan penguat imunitas tubuh’.
Produk khas Sumut yakni andaliman, termasuk salahsatu yang dikembangkannya. Ada juga tepung kelapa, tepung sagu, biskuit kelapa, mi, bayam, VCO, madu, biji chia, dan ratusan produk pangan lainnya. Semuanya produk lokal.
“Indonesia begitu kaya. Ada ragam tanaman yang tumbuh di ragam ekosistem berbeda. Mulai dari ekosistem kering, basah, di gunung, pantai, bahkan di lingkungan hutan mangrove,” cetusnya.
Tahun 2017 lalu, ia mendirikan Sekolah Seniman Pangan. Pesertanya adalah anak-anak petani, perimba, nelayan, dan para perajin makanan yang ingin belajar mengolah ide dan mewujudkannya menjadi produk yang dicari pasar. Bahan bakunya dari sawah, ladang, kebun, dan hutan.
“Di sekolah itu, peserta belajar kewirausahaan, mulai dari inovasi produk dari bahan baku yang tersedia, membangun jiwa entrepreneurship, pengembangan produk, menghitung biaya produksi, fotografi produk, branding, hingga marketing,” cetusnya.
Pendidikan tersebut tidak berbayar, tetapi peserta harus bekerja untuk mengganti biaya pendidikan. Kerja di sini berarti menghasilkan produk dan kemudian mencicil biaya pendidikan lewat produk tersebut berdasarkan kesepakatan. Sebagai contoh mereka produksi 1.000 botol selai kacang, yang 500 botol dijual kepaddanya, yang 100 botol untuk mencicil biaya pendidikan. Sisanya bebas mereka jual.
Kini Javara telah memiliki 900 jenis produk-produk juara dari berbagai pelosok Indonesia. Diproduksi oleh petani-petani juara. Sebanyak 250 di antaranya telah memperoleh sertifikat organik berstandar internasional. Dari jumlah tersebut, tidak sampai 10 yang diproduksi sendiri oleh Javara. Sisanya oleh komunitas petani berdasarkan berbagai skema kerja sama. Seperti joint venture, investasi murni, sharing saham, dan pinjaman alat atau modal.
Helianti terus mengembangkan produk-produk Javara, melalui branding dan digitalisasi dan e-commerce.
Lantas, apa kunci suksesnya?
“Pertama, pendidikan karakter dari keluarga. Ayah dan ibu saya membekali kami dengan kecintaan pada alam, keberanian mengambil resiko, kemandirian, jiwa sosial, pendidikan, integritas, kreatifitas, jiwa wirausaha, soft skill, yang ditopang dengan pondasi agama. Simpelnya: doa, upaya, syukur, berbagi,” katanya menyederhanakan.
Inspirasi dari kedua orangtuanya, ia teruskan kepada anak-anaknya. Ia selalu mengajak anak-anaknya agar dekat dengan alam. “Dilatih sejak usia dini,” ungkapnya.
Masalah, menurutnya bukan jadi hambatan untuk maju. “Ada masalah itu justru senang. Karena akan memicu kreativitas mencari solusi baru,” ungkapnya.
Berkontribusi sosial, salahsatunya berbagi ilmu, bagi seorang Helianti, bukan hal yang merugikan. Justru dianggapnya sebagai zakat wajib. “Untungnya, suami support 1.000 persen,” sebutnya.
Perempuan Indonesia Lebih Maju
Selama 12 tahun bertualang menggali kekayaan tanaman pangan nusantara mulai dari Aceh hingga Papua bersama sang suami Dian Patria, Helianti menemukan berbagai kisah tentang peran perempuan Indonesia di tengah masyarakat.
“Kita tidak perlu mengerdilkan diri dengan isu-isu gender dari luar negeri. Soal gender, sejarah perempuan Indonesia sebenarnya lebih maju dibanding perempuan di Eropa. Bayangkan… saat perempuan Inggris masih berkutat dengan hak kepemilikan harta, perempuan Indonesia sudah punya hak itu,” katanya.
“Bahkan saat mereka masih berjuang dengan kepemimpinan, perempuan Indonesia telah memimpin laskar perang. Bahkan menjadi syahbandar. Seperti Malahayati, Cut Nyak Dhien, dan seterusnya. Perempuan Indonesia sudah lama memiliki kesetaraan gender dengan laki-laki,” lanjutnya.
Ada kisah unik saat rekannya dari luar negeri diajak bertemu petani-petani tanaman pangan di Indonesia. Saat pertemuan, ternyata yang hadir laki-laki semua. Si rekan pun sedikit jengkel, dan mempertanyakan hal itu.
Helianti menjawab: “Tenang, ikuti saja dulu pertemuannya. Nanti kamu akan paham peran perempuan di masyarakat.”
Benarlah, saat berikutnya para petani itu ditanya apakah setuju dengan ide yang dilontarkan dalam rapat, si rekan kontan paham. “Para petani itu menjawab: ‘kami tanya dulu istri di rumah’. Nah ‘kan, meski perempuan kita tidak tampil ke depan, mereka punya peran sendiri dalam mengambil keputusan,” katanya seraya tersenyum lebar.
Terhadap perempuan-perempuan Indonesia, ia berpesan agar membekali diri dengan sejumlah kecakapan, agar mampu survive di mana pun.
“Jangan batas diri dengan isu gender. Tetapi sadari juga ada kodrat. Jika ingin melakukan terobosan, jangan paksakan untuk langsung mengubah sesuatu. Ikuti dulu emosi yang selama ini sudah terbangun di masyarakat sembari beri ruang. Cari celah yang bisa disiasati. Jangan habiskan energi untuk konfrontasi. Berguru pada siapa saja, termasuk berguru pada alam,” pungkasnya.
Martabe Percaya Keberagaman
Terkait isu gender, Tambang Emas Martaba di Batangtoru, Tapsel, telah menerapkan keberagaman sebagai bagian dari culture perusahaan.
Rahmat Lubis, General Manager Operations PT Agincourt Resources, yang hadir sebagai pembicara pada webinar perayaan Hari Kartini itu menyebutkan, keberagaman merupakan sesuatu yang penting dan bagus. “Semakin banyak perbedaan dan keberagaman, semakin banyak perspektif. Wawasan semakin luas. Saya belajar dari kampung saya yang pekerjaan warga dan pergaulannya relatif seragam. Saya kira, di sana malah jadi lambat berkembang,” katanya.
Kata Rahmat, konsep keberagaman itu tak hanya soal gender, tetapi juga dalam hal suku, agama, makanan, bahkan pandangan politik. “Jangan mengurung diri dalam kelompok yang sama terus. Karena dunia ini luas,” ungkapnya.
Ia menyebutkan, konsep keberagaman diterapkan Tambang Emas Martabe sejak lima tahun terakhir. Industri tambang yang dulunya dikenal keras karena didominasi para pria, sekarang mulai bergeser ke arah ‘normal’, karena kehadiran karyawan perempuan. “Mengikutsertakan perempuan ternyata mampu membuat tambang lebih lembut dan normal. Para pria lebih enggan berantem, karena segan ada perempuan di antara mereka,” ungkapnya.
Top Managemen Tambang Emas Martabe mulai membangun konsep keberagaman gender secara sistematik. Sejumlah kebijakan diambil, misalnya antiharassment (pelecehan) berbasis gender, fasilitas untuk wanita hamil dan menyusui, cuti melahirkan yang lebih panjang hingga 4 bulan, bahkan cuti 2 minggu untuk suami yang istrinya melahirkan.
“Perempuan mungkin menjadi minoritas, tapi tidak boleh merasa terancam. Jika ditemukan ada harassment, si karyawan bisa dipecat,” tegasnya.
Saat ini pekerja perempuan di tambang Emas Martabe mencapai 26 persen dari total karyawan, atau sekitar 600 orang. Karena pandemi, sempat diberlakukan Work from Home dan sistem karantina, sehingga yang karyawan bekerja tinggal 600-700 orang di lokasi tambang. “Pengaturan kerja tidak berdasarkan gender. Jadi meski perempuan, tetap dapat giliran kerja shift yang diatur secara adil. Intinya, tidak mengistimewakan karyawan perempuan, tetapi juga tidak mendiskriminasi,” terangnya.
Rahmat mengatakan, penerapan keberagaman di Tambang Emas Martabe terus berproses dan masih jauh dari kata selesai. Tapi dampaknya diakui positif terhadap budaya kerja di tambang. “Soal keberagaman, saya kira bukan soal kuantitas. Tetapi fungsi, tujuan, efek. Semakin beragam, ide semakin berkembang. Hasilnya, produktivitas perusahaan semakin bagus. Karena itu, perusahaan terus mendorong penerapan keberagaman bahk di internal maupun eksternal perusahaan,” katanya.
Untuk keberagaman gender di perusahaan, ia mengakui masih perlu dorongan secara khusus. Targetnya, jumlah karyawan perempuan mencapai 30 persen hingga beberapa tahun ke depan.
Darryn: Selamat Hari Kartini
Direktur Operasional PTAR Darryn McClelland, dalam sambutannya pada zoom meeting tersebut, mengaku senang merayakan Hari Kartini Bersama para karyawan.
“Selamat Hari Kartini! Sangat senang sekali kita semua bisa hadir pada kesempatan ini untuk merayakan Hari Kartini, yang tentu saja diselenggarakan secara virtual. Selama pandemi COVID-19 ini kita semua dituntut untuk selalu kreatif dan terus bersemangat untuk memberikan nilai serta kontribusi kepada seluruh pemangku kepentingan,” kata Darryn.
Ia mengatakan, PT Agincourt Resources, sebagai pengelola Tambang Emas Martabe merupakan perusahaan yang menyadari betul pentingnya keberagaman untuk mengembangkan respon cepat dan inovatif terhadap tantangan ke depan.
“Manajemen perusahaan sangat serius untuk menerapkan kebijakan keberagaman gender. Kami mulai menerapkan keberagaman gender ini sejak 21 April 2016,” ungkapnya.
Keberagaman gender yang ada di PTAR, kata dia, sejauh ini telah memberikan banyak manfaat. Di antaranya: keluasan ide untuk mendukung penyelesaikan masalah, dan kesempatan berinovasi, peningkatan kualitas personal yang mampu berkontribusi terhadap pengembangan perusahaan, akses yang lebih luas untuk menjaring bakat-bakat potensial dalam rekrutmen karyawan, serta tentu saja pengembangan perspektif yang berbeda dalam lingkungan kerja.
“Kami meyakini, penerapan keberagaman gender di perusahaan tidak hanya soal kuantitas atau seberapa banyak karyawan perempuan yang ada, tapi yang paling penting adalah dari sisi kualitas, salah satunya yakni penciptaan lingkungan kerja yang mendukung keberagaman gender, serta pemberian kesempatan yang sama bagi seluruh gender untuk meningkatkan kemampuan professionalnya,” katanya.
Keberagaman gender telah membuat PTAR sebagai sebuah perusahaan dan organisasi mengalami kemajuan yang luar biasa. Ia berjanji akan secara konsisten menerapkannya.
“The future has no gender. Semuanya memiliki kesempatan yang sama, porsi kontribusi yang sama, baik untuk keluarga maupun perusahaan. Ke depan, kami percaya, keberagaman dapat meningkatkan performa perusahaan dan membuka luas kesempatan bagi kami untuk terus berinovasi,” pungkasnya.
Webinar yang juga dihadiri Senior Manager Corporate Communications PTAR, Katarina Siburian Hardono tersebut diisi dengan tanya jawab dan lucky draw. (mea)