JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi di akhir tahun, berbarengan dengan periode inflasi tinggi. Karena itu, lonjakan inflasi pasca kenaikan BBM pun bakal sulit dibendung.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin mengatakan, berdasar simulasi, kenaikan Rp 3.000 per liter atau 46 persen dari harga saat ini Rp 6.500 per liter bakal memicu kenaikan inflasi langsung sebesar 1,7 persen pada bulan pertama.
“Inflasi langsung ini bisa kita estimasi, tapi inflasi lanjutannya yang susah (diestimasi),” ujarnya di Kantor BPS kemarin (3/11).
Suryamin mencontohkan, jika kenaikan harga BBM dilakukan pada pertengahan November, maka tambahan inflasi langsung 1,7 persen akan terbagi dua pada November dan Desember.
Tapi, jika kenaikan dilakukan awal Desember, maka dampak inflasi 1,7 persen akan berlangsung pada akhir tahun.
“Misalnya, inflasi Desember 1 persen, maka jika BBM dinaikkan awal Desember, maka total inflasi menjadi 2,7 persen,” katanya.
Namun, kalkulasi seperti itu sepertinya hanya akan terjadi di atas kertas. Deputi Bidang Statistik Jasa dan Distribusi Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, berdasar pengalaman, justru inflasi tidak langsung atau inflasi lanjutan lah yang bergerak liar.
“Susah diprediksi, tergantung kelihaian pemerintah meredam kenaikan harga-harga,” ucapnya.
Sebagai gambaran, ketika pada 22 Juni 2013 lalu pemerintah menaikkan harga BBM jenis premium Rp 2.000 per liter atau 44 persen dari harga awal Rp 4.500 per liter, dampak tambahan inflasi langsung juga diperkirakan di kisaran 1,7 persen.
Namun, pada kenyataannya, inflasi Juni 2013 sudah menembus 1,03 persen, lalu pada Juli melonjak hingga 3,29 persen, dan Agustus masih terjadi inflasi sebesar 1,12 persen. Artinya, dalam tiga bulan saja, total inflasi mencapai 5,4 persen.
Menurut Sasmito, dampak inflasi tidak langsung akibat kenaikan harga BBM biasanya terjadi pada angkutan dalam kota. Apalagi, tarif ini yang memiliki bobot inflasi tinggi. “Pengalaman tahun-tahun sebelumnya, begitu BBM naik, tarif angkutan dalam kota langsung naik saat itu juga,” ujarnya.
Kenaikan tarif angkutan dalam kota itulah yang lantas memicu kenaikan harga-harga lain, seperti bahan pangan yang juga memiliki bobot inflasi tinggi. Pemerintah, kata Sasmito, sebenarnya bisa meredam dampak ini dengan menetapkan batas atas tarif angkutan dalam kota. Namun, pengawasannya memang sulit.
“Berbeda dengan tarif pesawat atau tarif angkutan antar kota yang menggunakan tiket, bisa dipantau kenaikannya. Tapi, kalau angkutan dalam kota, transaksinya antara kondektur dan penumpang langsung tanpa ada tiket. Misal, kalau biasanya bayar Rp 3 ribu lalu kondektur minta Rp 5 ribu, itu sulit dikontrol,” jelasnya.
Karena itu, menurut Sasmito, solusi pemerintah yang berencana memberikan bantuan kepada masyarakat kurang mampu sudah tepat. Setidaknya, masyarakat sudah memiliki dana untuk membeli kebutuhan pokok, sehingga uang yang dimiliki bisa dialihkan untuk membayar kenaikan tarif angkutan umum.
“Jadi, kenaikan harga memang sulit dibendung, tapi yang penting masyarakat bisa membayarnya,” ujarnya.
Suryamin menambahkan, jika memang harga BBM dinaikkan pada November atau Desember, maka target inflasi tahun ini sebesar 5 persen pasti bakal terlampaui. Sebab, untuk periode Januari – September saja, laju inflasi sudah mencapai 4,19 persen.
“Mungkin bisa sampai kisaran 7 persen,” sebutnya. Sebagi gambaran, saat harga BBM naik 2013 lalu, inflasi menembus angka 8,38 persen.
Sementara itu, Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Peter Jacobs mengatakan, pihaknya terus mencermati risiko inflasi terutama terkait dengan kemungkinan penyesuaian harga BBM bersubsidi menjelang akhir 2014.
“Kami terus memperkuat koordinasi pengendalian inflasi dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, supaya dampak lanjutan yang ditimbulkan minimal. Ekspektasi inflasi juga terkelola dengan baik,” ungkapnya. (jpnn)