26.7 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Wah, Penambang Emas Tanpa Izin Raup Rp80,86 Triliun per Tahun

Foto: Dame/sumutpos.co Narasumber pada Orientasi Pertambangan bagi Media di Berastagi, Jumat (1/5/2015). Dari kiri ke kanan: Katarina Siburian, Masnellyarti Hilman, Linda Siahaan, Rudy Sayoga Gautama, dan Chandra Nugraha
Foto: Dame/sumutpos.co
Narasumber pada Orientasi Pertambangan bagi Media di Berastagi, Jumat (1/5/2015). Dari kiri ke kanan: Katarina Siburian, Masnellyarti Hilman, Linda Siahaan, Rudy Sayoga Gautama, dan Chandra Nugraha.

BERASTAGI, SUMUTPOS.CO – Penambangan emas skala kecil yang tidak mengantongi izin di Indonesia, ternyata tersebar di 27 provinsi, di 80 kabupaten dan 2 kota. Data tahun 2012, dari sekian banyak penambangan tersebut, produksi emas yang mereka raup diperkirakan mencapai 65-130 ton.

”Jika harga emas dihitung Rp622.000 per gram, maka para penambang emas tanpa izin itu bisa meraup Rp40,43 triliun-Rp80.86 triliun per tahun,” kata Dra Masnellyarti Hilman, MSc, mantan Deputi MenLH Bidang Pengelolaan B3, Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, pada Orientasi Lanjutan Bagi Media yang diselenggarakan Tambang Emas Martabe di Berastagi, akhir pekan kemarin.

Bandingkan dengan produksi emas dari kegiatan penambangan yang resmi (legal atau sesuai ketentuan-red) secara nasional, yang hanya sekitar 66 ton per tahun (data tahun 2012).

”Ironisnya, penambangan emas skala kecil tanpa izin itu dilakukan tanpa memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab. Sumber daya tambang terkuras tanpa ada pemasukan pajak dan lain-lain bagi negara. Sementara alam rusak karena penambangan tanpa peduli aspek lingkungan, dan pengolahan bijih emas menggunakan merkuri yang sembarangan yang beresiko tinggi pada kesehatan manusia dan lingkungan,” kata Nelly yang juga Dosen Universitas Bakrie ini.

Merkuri, lanjutnya, sudah diketahui sangat berdampak pada kesehatan manusia, seperti kerusakan syaraf, otak dan ginjal, keguguran, kerusakan saluran pernafasan, reaksi psikotik, penyakit kardio-vaskular, bahkan kematian. Sementara untuk lingkungan, terjadinya penurunan kualitas udara dan lahan yang terkontaminasi merkuri.

Tambang-tambang emas besar, kata Nelly, tidak lagi menggunakan merkuri dalam proses pengolahan bijih emasnya. Tetapi memilih Sianida yang relatif lebih aman bagi lingkungan, karena dapat diubah menjadi senyawa yang tidak larut, dan sisanya dihancurkan dengan campuran SO2 dan udara.

“Di Tambang Emas Martabe sendiri, proses pengolahan bijih emas dan perak menggunakan bahan organik Sianida untuk penangkapan emas. Kelebihan Sianida, hanya dibutuhkan sejumlah kecil untuk mengekstrak emas. Biasanya kurang dari 1 kg per ton bebatuan. Bandingkan dengan petambang kecil tanpa izin yang butuh 100 gram merkuri per 1 gram emas,” terangnya.

Karena itu, lanjutnya, negara harus menertibkan penambangan liar itu. Jikapun, misalnya penambangan emas liar atau penambangan tanpa izin itu tidak bisa dihentikan, minimal harus ditertibkan agar penambangannya memenuhi pedoman teknis pencemaran atau kerusakan lingkungan.

Dan mengingat Konvensi Minamata yang melarang penggunaan merkuri per tahun 2018, pemerintah hendaknya mengatur perizinan bagi penambang emas skala kecil tersebut, menginventarisirnya, dan memberikan bantuan teknis bagi para petambang yang memenuhi syarat dan tidak menggunakan merkuri dalam proses produksinya. (mea)

Foto: Dame/sumutpos.co Narasumber pada Orientasi Pertambangan bagi Media di Berastagi, Jumat (1/5/2015). Dari kiri ke kanan: Katarina Siburian, Masnellyarti Hilman, Linda Siahaan, Rudy Sayoga Gautama, dan Chandra Nugraha
Foto: Dame/sumutpos.co
Narasumber pada Orientasi Pertambangan bagi Media di Berastagi, Jumat (1/5/2015). Dari kiri ke kanan: Katarina Siburian, Masnellyarti Hilman, Linda Siahaan, Rudy Sayoga Gautama, dan Chandra Nugraha.

BERASTAGI, SUMUTPOS.CO – Penambangan emas skala kecil yang tidak mengantongi izin di Indonesia, ternyata tersebar di 27 provinsi, di 80 kabupaten dan 2 kota. Data tahun 2012, dari sekian banyak penambangan tersebut, produksi emas yang mereka raup diperkirakan mencapai 65-130 ton.

”Jika harga emas dihitung Rp622.000 per gram, maka para penambang emas tanpa izin itu bisa meraup Rp40,43 triliun-Rp80.86 triliun per tahun,” kata Dra Masnellyarti Hilman, MSc, mantan Deputi MenLH Bidang Pengelolaan B3, Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, pada Orientasi Lanjutan Bagi Media yang diselenggarakan Tambang Emas Martabe di Berastagi, akhir pekan kemarin.

Bandingkan dengan produksi emas dari kegiatan penambangan yang resmi (legal atau sesuai ketentuan-red) secara nasional, yang hanya sekitar 66 ton per tahun (data tahun 2012).

”Ironisnya, penambangan emas skala kecil tanpa izin itu dilakukan tanpa memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab. Sumber daya tambang terkuras tanpa ada pemasukan pajak dan lain-lain bagi negara. Sementara alam rusak karena penambangan tanpa peduli aspek lingkungan, dan pengolahan bijih emas menggunakan merkuri yang sembarangan yang beresiko tinggi pada kesehatan manusia dan lingkungan,” kata Nelly yang juga Dosen Universitas Bakrie ini.

Merkuri, lanjutnya, sudah diketahui sangat berdampak pada kesehatan manusia, seperti kerusakan syaraf, otak dan ginjal, keguguran, kerusakan saluran pernafasan, reaksi psikotik, penyakit kardio-vaskular, bahkan kematian. Sementara untuk lingkungan, terjadinya penurunan kualitas udara dan lahan yang terkontaminasi merkuri.

Tambang-tambang emas besar, kata Nelly, tidak lagi menggunakan merkuri dalam proses pengolahan bijih emasnya. Tetapi memilih Sianida yang relatif lebih aman bagi lingkungan, karena dapat diubah menjadi senyawa yang tidak larut, dan sisanya dihancurkan dengan campuran SO2 dan udara.

“Di Tambang Emas Martabe sendiri, proses pengolahan bijih emas dan perak menggunakan bahan organik Sianida untuk penangkapan emas. Kelebihan Sianida, hanya dibutuhkan sejumlah kecil untuk mengekstrak emas. Biasanya kurang dari 1 kg per ton bebatuan. Bandingkan dengan petambang kecil tanpa izin yang butuh 100 gram merkuri per 1 gram emas,” terangnya.

Karena itu, lanjutnya, negara harus menertibkan penambangan liar itu. Jikapun, misalnya penambangan emas liar atau penambangan tanpa izin itu tidak bisa dihentikan, minimal harus ditertibkan agar penambangannya memenuhi pedoman teknis pencemaran atau kerusakan lingkungan.

Dan mengingat Konvensi Minamata yang melarang penggunaan merkuri per tahun 2018, pemerintah hendaknya mengatur perizinan bagi penambang emas skala kecil tersebut, menginventarisirnya, dan memberikan bantuan teknis bagi para petambang yang memenuhi syarat dan tidak menggunakan merkuri dalam proses produksinya. (mea)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/