25.6 C
Medan
Sunday, May 19, 2024

Inalum Siap Melantai di Bursa

TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Sejumlah pekerja menuang alumunium ke pencetakan di pabrik pencetakan Tanjung Gading Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.
TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Sejumlah pekerja menuang alumunium ke pencetakan di pabrik pencetakan Tanjung Gading Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Usai mengambil alih PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), pemerintah terus memoles produsen alumunium alloy itu. Rencana besar pun disiapkan untuk mengantarkan Inalum ke lantai bursa.

Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan, hal utama yang harus dilakukan oleh manajemen baru Inalum adalah investasi untuk meningkatkan kapasitas produksi. “Ini butuh modal besar. Karena itu saya sarankan IPO (penawaran saham perdana),” ujarnya usai rapat di Kemenko Perekonomian kemarin (6/3).

Sebagaimana diketahui, sebelumnya kepemilikan Inalum terbagi antara pemerintah Indonesia (41,12 persen) dan konsorsium swasta-pemerintah Jepang yang tergabung dalam Nippon Asahan Alumunium (58,88 persen). Berdasarkan kontrak yang ditandatangani pada 7 Juli 1975 di Tokyo, pengaturan kerja sama tersebut berakhir pada 31 Oktober 2013. Namun alotnya negosiasi membuat Indonesia baru bisa mengambilalih Inalum pada tahun 2014 ini.

Menurut Hidayat, sebenarnya ada dua opsi penambahan modal. Selain IPO, ada pula wacana agar pemerintah menyuntikkan dana melalui penyertaan modal negara (PMN). Namun, mengingat keterbatasan APBN, opsi tersebut kurang realistis. “Untuk itu IPO bisa jadi jalan keluar yang bagus,” katanya.

Mantan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu menyebut, Inalum setidaknya membutuhkan investasi hingga USD 1,3 miliar atau sekitar Rp 15 triliun. Kebutuhan dana itu untuk meningkatkan kapasitas produksi dari saat ini yang sebesar 250.000 ton per tahun. “Target kita pada 2017 bisa naik menjadi 470 ribu ton,” ucapnya.

Posisi Inalum memang sangat strategis dalam rantai produksi industri Indonesia. Selama ini, dari total produksi aluminium sebanyak 250.000 ton per tahun, 150.000 ton diantaranya diekspor ke Jepang untuk memenuhi kebutuhan industri elektronik dan otomotif di Negeri Matahari Terbit tersebut.

Sementara itu, 100.000 ton lainnya dialokasikan untuk kebutuhan industri Indonesia. Padahal, saat ini kebutuhan aluminium untuk industri di Indonesia mencapai 300.000 ton dan terus naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, setiap tahun Indonesia harus mengimpor sekitar 200.000 ton aluminium.

Hidayat menyebut, setelah diambil alih, prirotas Inalum kini adalah mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri. Setidaknya, 80 persen dari produksi Inalum nanti akan dialokasikan untuk industri domestik. “Jika ada kelebihan (produksi) baru kita ekspor,” ujarnya.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menambahkan, saat ini pemerintah tengah melakukan finalisasi penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) untuk menjadi landasan hukum menjadikan Inalum sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Bulan ini (PP) akan selesai,” katanya.

Menurut Hatta, selama dalam masa transisi peralihan kepemilikan kepada Indonesia, pengelolaan atau operasional Inalum termasuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) nya, sementara diserahkan kepada pihak Otoritas Asahan. Adapun perencanaan pengembangan kawasan industri dan hilirisasi akan ditangani oleh Kementerian Perindustrian. (owi/sof)

TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Sejumlah pekerja menuang alumunium ke pencetakan di pabrik pencetakan Tanjung Gading Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.
TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Sejumlah pekerja menuang alumunium ke pencetakan di pabrik pencetakan Tanjung Gading Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Usai mengambil alih PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), pemerintah terus memoles produsen alumunium alloy itu. Rencana besar pun disiapkan untuk mengantarkan Inalum ke lantai bursa.

Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan, hal utama yang harus dilakukan oleh manajemen baru Inalum adalah investasi untuk meningkatkan kapasitas produksi. “Ini butuh modal besar. Karena itu saya sarankan IPO (penawaran saham perdana),” ujarnya usai rapat di Kemenko Perekonomian kemarin (6/3).

Sebagaimana diketahui, sebelumnya kepemilikan Inalum terbagi antara pemerintah Indonesia (41,12 persen) dan konsorsium swasta-pemerintah Jepang yang tergabung dalam Nippon Asahan Alumunium (58,88 persen). Berdasarkan kontrak yang ditandatangani pada 7 Juli 1975 di Tokyo, pengaturan kerja sama tersebut berakhir pada 31 Oktober 2013. Namun alotnya negosiasi membuat Indonesia baru bisa mengambilalih Inalum pada tahun 2014 ini.

Menurut Hidayat, sebenarnya ada dua opsi penambahan modal. Selain IPO, ada pula wacana agar pemerintah menyuntikkan dana melalui penyertaan modal negara (PMN). Namun, mengingat keterbatasan APBN, opsi tersebut kurang realistis. “Untuk itu IPO bisa jadi jalan keluar yang bagus,” katanya.

Mantan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia itu menyebut, Inalum setidaknya membutuhkan investasi hingga USD 1,3 miliar atau sekitar Rp 15 triliun. Kebutuhan dana itu untuk meningkatkan kapasitas produksi dari saat ini yang sebesar 250.000 ton per tahun. “Target kita pada 2017 bisa naik menjadi 470 ribu ton,” ucapnya.

Posisi Inalum memang sangat strategis dalam rantai produksi industri Indonesia. Selama ini, dari total produksi aluminium sebanyak 250.000 ton per tahun, 150.000 ton diantaranya diekspor ke Jepang untuk memenuhi kebutuhan industri elektronik dan otomotif di Negeri Matahari Terbit tersebut.

Sementara itu, 100.000 ton lainnya dialokasikan untuk kebutuhan industri Indonesia. Padahal, saat ini kebutuhan aluminium untuk industri di Indonesia mencapai 300.000 ton dan terus naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, setiap tahun Indonesia harus mengimpor sekitar 200.000 ton aluminium.

Hidayat menyebut, setelah diambil alih, prirotas Inalum kini adalah mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri. Setidaknya, 80 persen dari produksi Inalum nanti akan dialokasikan untuk industri domestik. “Jika ada kelebihan (produksi) baru kita ekspor,” ujarnya.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menambahkan, saat ini pemerintah tengah melakukan finalisasi penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) untuk menjadi landasan hukum menjadikan Inalum sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Bulan ini (PP) akan selesai,” katanya.

Menurut Hatta, selama dalam masa transisi peralihan kepemilikan kepada Indonesia, pengelolaan atau operasional Inalum termasuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) nya, sementara diserahkan kepada pihak Otoritas Asahan. Adapun perencanaan pengembangan kawasan industri dan hilirisasi akan ditangani oleh Kementerian Perindustrian. (owi/sof)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/