Oleh karena itu tidak heran jika dalam struktur holding BUMN migas, Kementerian BUMN menginstruksikan PGN sebagai subholding gas. Langkah ini mulai tampak pada saat Kementerian BUMN melakukan restrukturisasi organisasi Pertamina dengan menghilangkan Direktorat Gas pada Februari 2018.
Dikutip dari Buku Putih Pembentukan Holding BUMN Migas yang diterbitkan Kementerian BUMN, pemerintah ingin proses integrasi saham dan aset Pertagas ke tubuh PGN bisa diselesaikan dalam waktu satu tahun.
Di tahun ini juga, pemerintah menghendaki PGN bisa menyusun rencana bisnis jangka pendek, jangka panjang, dan rencana implementasi bisnis perusahaan setelah mengelola aset Pertagas.
Termasuk mensinergikan neraca keuangan seperti target penerimaan dan laba, belanja modal, dan rencana investasi. Selain itu, PGN juga harus menyusun struktur organisasi perusahaan setelah bergabungnya Pertagas.
PGN sendiri telah menjalankan amanat untuk memulai proses akuisisi Pertagas dengan melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) rencana untuk melaksanakan RUPS Luar Biasa (LB) pada Jumat, 29 Juni 2018.
Pelaksanaan RUPSLB merupakan tindak lanjut keputusan mata acara 6 RUPS tahunan PGN pada 26 April 2018. Di mana 80,7 persen pemegang saham menyepakati integrasi Pertagas ke dalam tubuh PGN.
Rencana RUPSLB berikutnya adalah meminta persetujuan pemegang saham atas transaksi material terhadap Rencana Pengambilalihan Saham Pertamina pada Pertagas oleh PGN.
Wakil Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Inas Nasrullah Zubir meminta Kementerian BUMN dan Pertamina untuk segera menjelaskan dinamika yang terjadi di Pertagas kepada seluruh karyawannya. Sehingga, tidak terjadi gejolak di internal Pertagas.
Menurut Inas, sebelum holding BUMN migas terbentuk, karyawan yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) tidak setuju akuisisi Pertagas ke PGN.
Penolakan tersebut menurutnya lebih disebabkan tidak adanya sosialisasi dari manajemen maupun Kementerian BUMN atas rencana besar pembentukan holding migas, yang bertujuan menciptakan perusahaan migas berskala dunia.
“Tidak pernah ada sosialisasi dari Kementerian BUMN tentang akuisisi ini, dan FSPPB tidak pernah diajak bicara,” katanya.
Menurut Inas, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan, para pekerja yang tergabung dalam serikat tidak berwenang menentukan aksi korporasi yang dilakukan perusahaan tempatnya bekerja.
“Sebenarnya serikat pekerja tidak punya kewenangan tentang akuisisi, tapi harus diajak diskusi lah setidaknya,” pungkasnya. (srs/JPC/ram)