PARAPAT, SUMUTPOS.CO – Selama dua tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun, dari 4,92 persen tahun 2014 menjadi 4,73 persen tahun 2015. Di sektor pertambangan, pertumbuhannya bahkan sudah mengalami kontraksi (mengerut), dari 0,78 persen pada tahun 2014, menjadi minus 5,64 persen tahun 2015. Untuk subsektor minerba lebih menurun lagi, dari 13,12 persen tahun 2014, menjadi minus 19,51 persen tahun 2015. Semua itu efek dari turunnya petumbuhan ekonomi Cina.
“Kecuali di provinsi Sumut, sektor pertambangan bisa tumbuh pesat sebesar 9 persen. Ini karena adanya Tambang Emas Martabe. Menariknya, Sumut masih memiliki potensi tambang yang besar, terutama di sepanjang garis Bukit Barisan,” kata pengamat pertambangan nasional, Mangantar Marpaung, dalam Orientasi Lanjutan Bagi Media yang digelar Tambang Emas Agincourt Resources (Martabe), dengan topik ‘Pengembangan Tambang Sebagai Potensi Pembangunan Daerah’ di Parapat, Sabtu (21/5).
Saat ini, kata dia, ada tiga kontrak karya di Sumut, yakni PT Agincourt Resources dengan hasil tambang emas dan perak di Tapsel, PT Sorikmas juga emas di Madina, dan Dairi Mining dengan timah hitam dan perak di Dairi. Tetapi baru PT Agincourt Resources yang beroperasi. Sementara dua Kontrak Karya lainnya belum melanjutkan tahapan eksplorasinya, dengan berbagai alasan.
Jika ketiga pemegang KK itu beroperasi, kata Marpaung, sumbangannya terhadap pembangunan Sumut dalam jangka panjang pasti besar. Karenanya, perlu didorong perkembangan usaha sektor pertambangan di Sumut dan Indonesia. Karena selain potensinya masih besar, sektor itu juga memberi banyak keuntungan signifikan, dengan multiplier effect yang cukup baik.
“Industri pertambangan termasuk ‘footlose industry’, yang tidak gampang hengkang sembarang waktu dari lokasinya. Sehingga sangat berpotensi mengembangkan daerah di mana ia berada dalam jangka panjang. Berbeda dengan “non footlose industry” seperti tekstil, industri makanan, dan lain-lain, yang bisa saja hengkang sewaktu-waktu dari sebuah kota, jika bisnis dinilai tidak menjanjikan,” katanya.
Melihat signifikannya dukungan sector pertambangan terhadap pembangunan daerah, kata Marpaung, pemerintah perlu memberi dukungan. Mengingat, biaya eksplorasi pertambangan mineral sampai menghasilkan bankable feasibility study report sangatlah mahal. Mencapai miliaran rupiah. Dan pengujiannya bisa memakan waktu bertahun-tahun.
“Jangan seperti saat ini, baru sebatas tahapan eksplorasi saja, investor sudah diperhadapkan dengan berbagai aturan, yang berpotensi membuat perusahaan itu mundur. Belum lagi banyaknya permintaan dari oknum-oknum tertentu, mulai dari pemerintah dan oknum keamanan sampai dengan masyarakat sekitar,” kata pejabat komisaris di beberapa perusahaan tambang nasional ini.
Pemerintah diharapkan mengatur berbagai perizinan agar jangan tumpang tindih. Saat ini saja, ada sekitar 22 Undang-undang yang berkaitan dengan tambang. Belum lagi ditambah dengan Peraturan Pemerintah (PP) ditambah lagi peraturan daerah dan aturan lainnya.
“Mungkin sudah bisa kita bayangkan bagaimana rumitnya untuk mematuhi sekitar 22 Undang-undang tersebut, yang sudah pasti isinya akan saling bersenggolan. Untuk itulah kita mengharapkan Revolusi Mental dari pak Jokowi untuk memangkas aturan yang berbelit-belit, dan mempercepat proses perizinan bisnis tambang yang berdampak meningkatkan sumber pendapatan negara,” kata Marpaung.
Di akhir materinya, Marpaung menyebutkan, meski Sumut memiliki potensi besar dalam SDA tambang, namun kegiatan eksplorasi masih minim. “Mungkin harus diberi izin bagi kelompok prospector dari luar negeri, untuk masuk ke Sumut melakukan prospek,” rekomendasinya.
Dalam kesempatan itu, Deputi Direktur PT Agincourt Resources, Linda Siahaan mengatakan, sejak penuangan emas perdana pada 24 Juli 2012 lalu, total angka investasi termasuk belanja modal dan modal kerja Tambang Emas Martabe mendekati USD 900 juta atau Rp8,5 triliun, yang sebagian besar dibelanjakan oleh negara.
“Hingga memasuki tahun keempat operasi penuh, Tambang Emas Martabe telah menjadi bukti nyata kehadiran tambang sebagai salah satu pemicu dan motor penggerak pertumbuhan efek ganda, baik secara sosial, ekonomi maupun lingkungan masyarakat. Pertumbuhan ini berkontribusi positif terhadap pembangunan berkelanjutan suatu daerah,” pungkasnya.
Selain Mangantar Marpaung, Tota Simatupang, Staf Pengajar Teknik Industri Institut Tehnologi Bandung dan Munawar Syahroni, Manajer Hubungan Kepemerintahan PT Agincourt Resources, juga menjadi pemateri dalam orientasi lanjutan tersebut. (mea)