27.8 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Inilah Penyebab Balita Pendek

Jangan lalai memantau pertumbuhan balita Anda. Kalau Anda perhatikan balita Anda ternyata lebih pendek dibandingkan teman-teman sebayanya, Anda patut waspada. Bisa jadi, anak Balita Anda termasuk stunting.

Stunting adalah kondisi di mana tinggi badan balita itu lebih pendek dari yang seharusnya bisa dicapai pada umur tertentu. Jumlah balita pendek di Tanah Air ternyata masih cukup tinggi. Kalau mengacu pada hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, ada 35,6% balita yang mengalami stunting, baik balita pendek maupun sangat pendek.

Kondisi stunting pada balita seringkali tidak disadari. Baru setelah mencapai usia dua tahun, orangtuanya menyadari bahwa balitanya pendek. Kondisi stunting ini tidak bisa hanya dilihat dari penampilan fisik balita. Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya.

Sebagai contoh, pada umur 12 bulan, balita dikatakan memiliki panjang badan normal apabila berada dalam kisaran 71 cm sampai dengan 80.5 cm. Apabila di bawah 71 cm termasuk pendek, sedang di atas 80.5 cm termasuk tinggi. Balita pendek adalah masalah gizi kronis, yang disebabkan kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama. Bahkan, sejak anak masih dalam kandungan. Hal ini sering terjadi lantaran ketidaktahuan orang tua atau belum adanya kesadaran untuk memberikan makanan sesuai dengan kebutuhan gizi anaknya.

Selain asupan gizi yang kurang, seringnya anak sakit juga menjadi penyebab terjadinya gangguan pertumbuhan. Apabila gangguan ini bersifat kronis, dampaknya juga menyebabkan anak menjadi pendek. Risikonya makin besar ketika perilaku hidup bersih dan sehat tidak diterapkan.

Kalau sanitasi lingkungan yang menjadi tumbuh kembang anak diabaikan, anak pun rawan terhadap penyakit infeksi. Namun, stunting tidak melulu dipengaruhi asupan gizi dan sering tidaknya balita sakit. Riwayat gizi sang ibu, baik sebelum hamil maupun di masa kehamilan, juga sangat berkaitan dengan potensi balita stunting.

Lantas, apa yang bakal terjadi kalau tren balita stunting ini kita biarkan? Kita bakal sulit mendapatkan generasi penerus bertubuh tinggi dan berotak cerdas. Memang, balita stunting tak cuma terkait tinggi pendek tubuhnya tapi juga kecerdasan anak ke depan. Kekurangan asupan gizi sejak masih dalam kandungan, terutama protein, menjadi salah satu penyebabnya. Protein bukan saja dibutuhkan untuk pertumbuhan tinggi badan, melainkan juga pertumbuhan otaknya.

Kementerian Kesehatan menyebutkan,  90% pertumbuhan otak manusia terjadi sejak janin sampai sebelum anak berusia lima tahun. Bahkan, 70% pertumbuhan otak itu terjadi di bawah usia dua tahun. Proses pertumbuhan seperti ini tidak dijumpai di periode-periode usia lainnya. Karenanya seringkali periode ini dijuluki masa emas atau periode kritis.

Stunting memang berdampak serius, tapi bukan berarti tidak dapat dicegah. Pencegahan stunting sejatinya dapat dilakukan sedini mungkin dengan memperbaiki asupan gizi mulai dari remaja putri, wanita usia subur, ibu hamil maupun pada balita. Artinya, sebelum hamil, kondisi si calon ibu harus sudah “siap” hamil. Tentunya dengan asupan gizi yang cukup, berat badan memadai dan tidak . (net)

Jangan lalai memantau pertumbuhan balita Anda. Kalau Anda perhatikan balita Anda ternyata lebih pendek dibandingkan teman-teman sebayanya, Anda patut waspada. Bisa jadi, anak Balita Anda termasuk stunting.

Stunting adalah kondisi di mana tinggi badan balita itu lebih pendek dari yang seharusnya bisa dicapai pada umur tertentu. Jumlah balita pendek di Tanah Air ternyata masih cukup tinggi. Kalau mengacu pada hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, ada 35,6% balita yang mengalami stunting, baik balita pendek maupun sangat pendek.

Kondisi stunting pada balita seringkali tidak disadari. Baru setelah mencapai usia dua tahun, orangtuanya menyadari bahwa balitanya pendek. Kondisi stunting ini tidak bisa hanya dilihat dari penampilan fisik balita. Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya.

Sebagai contoh, pada umur 12 bulan, balita dikatakan memiliki panjang badan normal apabila berada dalam kisaran 71 cm sampai dengan 80.5 cm. Apabila di bawah 71 cm termasuk pendek, sedang di atas 80.5 cm termasuk tinggi. Balita pendek adalah masalah gizi kronis, yang disebabkan kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama. Bahkan, sejak anak masih dalam kandungan. Hal ini sering terjadi lantaran ketidaktahuan orang tua atau belum adanya kesadaran untuk memberikan makanan sesuai dengan kebutuhan gizi anaknya.

Selain asupan gizi yang kurang, seringnya anak sakit juga menjadi penyebab terjadinya gangguan pertumbuhan. Apabila gangguan ini bersifat kronis, dampaknya juga menyebabkan anak menjadi pendek. Risikonya makin besar ketika perilaku hidup bersih dan sehat tidak diterapkan.

Kalau sanitasi lingkungan yang menjadi tumbuh kembang anak diabaikan, anak pun rawan terhadap penyakit infeksi. Namun, stunting tidak melulu dipengaruhi asupan gizi dan sering tidaknya balita sakit. Riwayat gizi sang ibu, baik sebelum hamil maupun di masa kehamilan, juga sangat berkaitan dengan potensi balita stunting.

Lantas, apa yang bakal terjadi kalau tren balita stunting ini kita biarkan? Kita bakal sulit mendapatkan generasi penerus bertubuh tinggi dan berotak cerdas. Memang, balita stunting tak cuma terkait tinggi pendek tubuhnya tapi juga kecerdasan anak ke depan. Kekurangan asupan gizi sejak masih dalam kandungan, terutama protein, menjadi salah satu penyebabnya. Protein bukan saja dibutuhkan untuk pertumbuhan tinggi badan, melainkan juga pertumbuhan otaknya.

Kementerian Kesehatan menyebutkan,  90% pertumbuhan otak manusia terjadi sejak janin sampai sebelum anak berusia lima tahun. Bahkan, 70% pertumbuhan otak itu terjadi di bawah usia dua tahun. Proses pertumbuhan seperti ini tidak dijumpai di periode-periode usia lainnya. Karenanya seringkali periode ini dijuluki masa emas atau periode kritis.

Stunting memang berdampak serius, tapi bukan berarti tidak dapat dicegah. Pencegahan stunting sejatinya dapat dilakukan sedini mungkin dengan memperbaiki asupan gizi mulai dari remaja putri, wanita usia subur, ibu hamil maupun pada balita. Artinya, sebelum hamil, kondisi si calon ibu harus sudah “siap” hamil. Tentunya dengan asupan gizi yang cukup, berat badan memadai dan tidak . (net)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/