JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Adanya dugaan perbudakan modern, kerja paksa, hingga penyiksaan dalam praktik kerangkeng manusia di belakang rumah Bupati Langkat (nonaktif) Terbit Rencana Peranginangin, menjadi kesimpulan penyelidikan dan pemantauan Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Hal tersebut merujuk sederet fakta dan keterangan sejumlah saksi yang ditemukan Komnas HAM.
Analis Pelanggaran HAM Komnas HAM, Yasdad Al Farisi membeberkan temuan-temuan tersebut. Diantaranya 26 bentuk kekerasan dan perlakuan yang merendahkan martabat para penghuni kerangkeng. Meliputi pemukulan di bagian rusuk, kepala, muka, dan bibir. Ada pula penghuni yang ditempeleng, ditendang, diceburkan ke kolam ikan, direndam, dan dipaksa bergelantungan seperti monyet.
“Juga dicambuk menggunakan selang, mata dilakban, dan kaki dipukul menggunakan palu atau martil hingga kuku jarinya copot,” kata Yasdad dalam konferensi pers secara virtual, kemarin (2/3). Selain itu, Komnas HAM juga menemukan perlakuan merendahkan martabat lain, seperti dipaksa tidur di atas daun jelatang, dan dipaksa makan cabai.
Komnas HAM juga menemukan 18 alat atau media yang digunakan untuk melakukan kekerasan dan merendahkan martabat tersebut. Antara lain, besi panas, ulat gatal, lilin, jeruk nipis, garam, plastik yang dilelehkan, rokok, tang, batako, hingga alat setrum. “Kekerasan itu menimbulkan bekas luka. Juga dampak traumatis yang membuat salah satu penghuni melakukan percobaan bunuh diri.”
Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam menambahkan, pihaknya juga mendapati temuan lain yang tak kalah penting. Yakni dugaan keterlibatan oknum anggota Polri dan TNI dalam tindakan kekerasan serta merendahkan martabat manusia itu. Mereka pun ditengarai sebagai pihak yang menyarankan pelaku kriminal untuk menjadi penghuni kerangkeng. ”Jadi ada oknum (Polri dan TNI) yang terlibat di sini (kerangkeng manusia, Red),” tegasnya.
Anam mengaku mendapatkan informasi penunjang terkait keterlibatan oknum aparat itu. Mulai dari nama hingga pangkat oknum dimaksud. “Saat ini dilakukan pendalaman hukum (kepada oknum Polri dan TNI) atas permintaan Komnas HAM,” ungkapnya.
Komnas HAM juga mendapati temuan terkait penghuni kerangkeng usia sekolah. Dari keterangan yang diperoleh, anak di bawah umur itu dijebloskan ke kerangkeng lantaran bolos sekolah dan geber gas motor ketika berpapasan dengan kelurga Cana, panggilan Terbit Rencana Peranginangin. “Kami belum sempat mendalami, karena dapatnya ketika proses (penyelidikan, Red) akhir,” ujarnya.
Secara umum, Komnas HAM menyebut, pelaku kekerasan dan merendahkan martabat itu berjumlah sekitar 19 orang. Selain oknum Polri dan TNI, pihak-pihak yang diduga kuat sebagai pelaku adalah pengurus kerangkeng. Mulai dari pembina, kepala kerangkeng, penghuni lama, hingga keluarga Cana sendiri. “Mereka patut diduga sebagai pelaku kekerasan,” terangnya.
Komnas HAM juga menemukan, para penghuni dipekerjakan di pabrik dan kebun sawit milik keluarga Cana. Mereka juga dipekerjakan di kebun sawit milik orang lain. Ada pula yang dipekerjakan sebagai buruh bangunan atau kuli di rumah Cana. Dari sederet aktivitas pekerjaan itu, para penghuni tidak mendapatkan upah. Mereka tidak bisa menolak lantaran takut disiksa.
Dari sederet temuan tersebut, Komnas HAM menyebut, jika aktivitas kerangkeng manusia itu bertentangan dengan UUD 1945. Serta pasal 8 ayat 1 dan 2 UU Nomor 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Juga Konvensi ILO Nomor 29/1930 mengenai kerja paksa. Secara umum, ketentuan itu tersebut melarang segala aktivitas perbudakan dan kerja paksa.
Saat dikonfirmasi Jawa Pos (grup Sumut Pos) terkait keterangan yang disampaikan Komnas HAM, Komandan Pusat Polisi Militer TNI AD (Puspomad) Letnan Jenderal TNI Chandra Sukotjo tidak merespons. Sampai kemarin malam, dia belum menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Jawa Pos.
Sementara, Polda Sumut menegaskan, akan menindak personelnya jika terbukti terlibat dalam kasus dugaan penganiayaan penghuni kerangkeng milik Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin. “Polda Sumut akan terus berkoordinasi serta berkomitmen dengan Komnas HAM dalam melakukan langkah-langkah untuk mendalami dan menyelidiki dugaan keterlibatan anggota Polri. Apabila itu benar, kita tidak akan ragu memprosesnya karena itu komitmen kita,” kata Kapolda Sumut Irjen Pol RZ Panca Putra Simanjuntak melalui Kabid Humas Polda Sumut Kombes Pol Hadi Wahyudi, Rabu (2/3) malam.
Sebelumnya, kasus dugaan tewasnya penghuni kerangkeng milik Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin telah naik status dari lidik ke sidik. “Penyidik Ditreskrimum Polda Sumut telah menaikan status penyelidikan menjadi penyidikan kasus kerangkeng Bupati Langkat nonaktif tersebut,” ujar Hadi.
Dari hasil tersebut, terangnya, akan ada yang ditetapkan tersangka. “Tentunya dengan naiknya status penyidikan ini akan ada potensi penetapan tersangka. Percayakan kasusnya kepada kami (Polda Sumut). Kami akan bekerja secara transparan dan profesional,” tegasnya.
Dijelaskannya, dari hasil gelar perkara, penyidik menaikan dari penyelidikan ke Penyidikan, atas dasar dua laporan Polisi (LP) Nomor: LP/A/263/2022/SPKT POLDA SUMUT, tanggal 10 Februari 2022, korban atas nama Sarianto Ginting dan laporan Polisi Nomor: LP/A/264/2022/SPKT POLDA SUMUT, tanggal 10 Feb 2022, korban atas nama Abdul Sidik Isnur alias Bedul. “Naiknya status penyidikan itu setelah Ditreskrimum Polda Sumut melakukan rangkaian penyelidikan dan gelar perkara, pada Sabtu 26 Februari 2022 dengan memeriksa lebih dari 70 saksi termasuk Bupati Langkat non aktif itu sendiri dan keluarga terdekatnya,” ungkapnya.
Dia menambahkan, beberapa waktu lalu melakukan pembongkaran kedua makam atas nama Sarianto Ginting dan atas nama Bedul serta melakukan olah TKP, menyita sejumlah barang bukti diantaranya surat pernyataan, kursi panjang terbuat dari kayu tempat memandikan jenazah, gayung untuk memandikan jenazah, kain panjang motif batik, tikar plastik dan selang kompresor.
Adapun pelaksanaan ekshumasi (penggalian makam) pada Sabtu 12 Februari 2022 dengan hasil sebagaimana dituangkan dalam Visum Et Repertum (VER): 02/II/ 2022/ RS BHAYANGKARA, Tanggal 12 Februari 2022. “Ekshumasi (pembongkaran) terhadap makam Sarianto Ginting sebagaimana dituangkan dalam Visum Et Repertum (VER): 01/II/2022/RS BHAYANGKARA, Tanggal 12 Februari 2022,” tandasnya.
LPSK Sampaikan Temuan ke Mahfud MD
Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengaku telah bertemu dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Dalam Pertemuan itu, LPSK menyampaikan salah satunya perkembangan kasus kerangkeng manusia di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menuturkan, setidaknya ada tiga hal pokok yang disampaikan kepada Mahfud MD. Pertama, mempertimbangkan peristiwa yang telah berlangsung selama 10 tahun terakhir dengan banyaknya korban, serta diduga kuat melibatkan banyak pihak, hendaknya Kemenkopolhukam dapat mendorong proses penegakan hukum yang berorientasi pemenuhan hak-hak korban.
“LPSK menyampaikan informasi kepada Kemenkopolhukam, temuan kerangkeng manusia di kediaman Bupati Langkat Terbit Rencana Paranginangin pada 18 Januari 2022 ketika KPK hendak melakukan penangkapan kepada yang bersangkutan. Namun hingga saat ini belum didapat informasi tentang tindak pidana dan tersangka atas peristiwa temuan kerangkeng tersebut,” ujar Edwin kepada wartawan, Kamis (3/3).
Kedua, lanjut Edwin, atas proses hukum yang berjalan, Kemenkopolhukam perlu mengoordinasikan dan melakukan pemantauan, termasuk juga asistensi terhadap pihak-pihak terkait atas kepastian hukum dan pasal yang akan dikenakan. Dengan demikian segenap pihak yang terlibat diharap dapat diminta pertanggungjawaban hukum dengan tetap mengedepankan dan mengakomodir hak-hak korban, khususnya saksi dan korban serta siapapun yang memiliki informasi penting guna pengungkapan perkara.
“Perlu didalami dugaan terjadinya penganiayaan, perampasan kemerdekaan dan perdagangan orang, serta pembiaran terhadap peristiwa yang diduga telah berlangsung selama 10 tahun ini,” katanya.
Ketiga, menurut Edwin, Kemenkopolhukam perlu mendorong ketegasan dan percepatan penegakan hukum dalam pengungkapan perkara, agar masyarakat kembali optimistis dan berani menyampaikan kebenaran dan menuntut hak sesuai ketentuan yang berlaku. “Semua korban kerangkeng berhak atas restituti,” ungkapnya. (tyo/syn/jpg/dwi)