SUMUTPOS.CO – Merasa difitnah, Selasa (2/6) sore, Bripka Efendi mendatangi kantor GRAHA PENA MEDAN. Dalam kesempatan itu, Efendi menceritakan kronologi penembakan pada Senin (2/6) kemarin. Dirinya menyangkal menembak langsung ke hadapan Tinus Munthe yang dikatakannya saat itu berjarak 2 meter darinya.
“Saya nembaknya ke atas 2 kali. Bukan ke hadapan dia (Tinus Munthe). Matilah dia kalau begitu ceritanya, orang jaraknya sama saya cuma 2 meter aja. Saya juga ngga mau kotori tangan saya,” ujarnya.
Penembakan tersebut dilakukannya sebagai shock terapi bagi teman-teman Tinus Munthe yang saat kejadian berdatangan ke area kekisruhan.
“Ada sekitar 30-an kawan-kawan dia yang awalnya kumpul di tempat biliard yang ga jauh dari rumahnya. Semua pada berdatangan. Saya satu orang mereka rame, saya tembakan saja ke atas 2 kali jadinya,” ujarnya.
Dirinya pun bercerita mengenai awal terjadinya kekisruhan tersebut yang merupakan puncak kekesalan dari perbuatan Tinus Munthe kepadanya selama ini. Pada tahun 2011 Efendi membuka usaha rumah makan di tanah warisan orangtuanya, di Dusun Aekpopo Desa Pancur Batu, Kec. Merek. RM tersebut pun disewakan oleh orang lain.
Namun pada Januari 2014 lalu, RM tersebut tidak lagi beroperasi karena penyewanya dilarang oleh Tinus Munthe yang tak lain adalah keponakannya sendiri. Sejak Januari hingga Juni sudah dua orang calon penyewa yang tidak jadi menyewa.
“Akhirnya pada 23 Aapril saya buat laporan ke Polres Kab.Karo atas perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh Tinus Munthe dengan nomor STPL/246/IV/2014/SU/RES T.KARO. Jadi yang saya laporkan itu karena sudah kesekian kalinya dia mengganggu saya. Dia bilang sama orang yang mau menyewa kalau itu tanah sengketa jadi ga usah nyewa di sana. Yang saya laporkan itu si Tinus ngusir si penyewa yang lagi ngecat bangunan. Selama ini saya ga melapor karena saya anggap dia itu masih saudara saya. Tapi ini udah keterlaluan dia,” ucapnya.
Lalu tgl 11 Mei 2014, Tinus dan teman-temannya memagar kedai Efendi dengan kawat berduri yang menyebabkan orang tidak dapat masuk atau keluar bangunan. “Saya lapor ke polres dan telepon ke Kasat Serse bersama anggota Polres cek ke TKP dan kami buka bersama pagarnya. Karena objeknya 1 jadi saya dibilang tidak usah buat laporan lagi, jadi penindakannya aja yang ditingkatkan,” ujarnya. Barulah puncaknya pada 2 Juni 2014 diman Efendi yang merupakan anggota Analisa Dampak Lalu Lintas (Andal) Dirlantas, di Jl. Putri Hijau, Medan menyempatkan dirinya ke memonitor pekerjaan tukang yang disuruhnya membuat pagar sekira pukul 08.30 WIB.
Karena ada bahan bangunan yang kurang, maka Efendi pun pergi sejenak untuk membeli kekurangan bahan tersebut. Sekembalinya dia sekira pukul 11.00 WIB, Efendi tidak menemukan tukangnya ada di lokasi. “Saya telepon tukangnya, dibilangnya dia dilarang sama Tinus kerja. Tapi saya lanjut aja ngecat, benerin baut-bautnya. Saya coba sabar,” ungkapnya.
Namun, sekira pukul 16.00 WIB, Tinus datang ke halaman bangunan RM Efendi dengan mengendarai mobil dengan kencang. Disanalah seluruh emosi dan kekesalan seorang Efendi seketika meluap. Tanpa pikir panjang Efendi pun langsung memukul kaca depan mobil Tinus dengan gagang cangkul yang kebetulan ada di sekitar halaman bangunan tersebut. Tak puas, Efendi pun mengejar Tinus sampai ke rumahnya.
“Saya kejar sampai depan rumahnya. Saya meledakkan senjata 2 kali untuk mengantisipasi kerumunan massa. Tinus itu juga pemilik biliard itu. Tiap hari ada yang main judi di sana. Itulah puncak emosi yang saya tahan selama ini. Cobalah bayangkan itu,” ungkapnya menahan perasaan kesalnya.
Diceritakannya bahwa tanah warisan tersebut merupakan tanah warisan dengan luas 15×50 meter tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan Tinus. Orangtua Tinus sendiri sebenarnya sudah memberikan jatah tanah tak jauh dari lokasi tersebut. Namun Tinus yang dikatakan Efendi tak mau menghargai sejarah, justru bersikeras mengganggu Efendi, seolah-olah, Efendi menduduki tanahnya.
“Saya punya sertifikatnya semua. Udah pernah kami kumpulkan semua, boru, dan saudara yang lain untuk menjelaskan perihal tanah itu. Tapi mereka tak mau tahu. Katanya, dulu-dulu, kalau sekarang ya sekarang. Mana bisa gitu lah. Dia harus menghargai sejarah. Semua kan sudah ada jatahnya masing-masing,” tandasnya. (ind/cr-3/deo)