JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pelajaran telah dipetik dari kasus pembunuhan Brigadir Yosua. Dengan kewenangan yang begitu besar, Polri malah menjadi alat segelintir oknum untuk kepentingan pribadinya. Irjen Ferdy Sambo telah menjawab kecurigaan selama ini, bahwa benar penjahat paling sempurna adalah polisi.
BILA penjahat melakukan kejahatan, dia akan berupaya lari dari kejaran polisi. Namun, bila polisi yang melakukan kejahatan, apalagi yang berpangkat, justru menggunakan kewenangannya untuk berupaya membolak-balikkan keadilan. Yang benar jadi salah. Yang salah jadi benar.
Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto menuturkan, problem utaman
selama ini adalah Polri telah menjadi lembaga super. Perencanaan anggaran, perumusan kebijakan, operasional dan sekaligus pengawasan berada dalam satu tubuh, Korps Bhayangkara. “Pengawasan dilakukan internalnya dengan perkoncoannya,” ujarnya.
Antara satu sama lain, atas nama korps, letting, jiwa korsa atau apalah itu, penegak hukum malah melakukan kejahatan. “Polisi tidak bisa seperti ini,” terangnya kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos), kemarin.
Pengawasan eksternal yang dilakukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) justru diracuni. Kewenangannya sekadar rekomendasi, komposisi, dan personalnya justru dari kepolisian. “Di negara lain, Kompolnas ini membawahi polisi. Di Indonesia, Kompolnas kawan sendiri,” ujarnya.
Buktinya, Kompolnas sekarang ini tiga anggotanya dari polisi. Kedoknya purnawirawan. Problem Kompolnas bukan lembaganya, tapi karena personalnya justru rawan konflik kepentingan. “Maka perlu perbaikan sistem kepolisian,” jelasnya.
Kalau Menkopolhukamnya bukan seorang Mahfud MD, tentunya jalan cerita kasus pembunuhan Brigadir Yosua akan berbeda. “Maka, revisi UU 2/2002 tentang kepolisian sudah wajib hukumnya,” paparnya.
Dengan Polri berada di bawah kementerian. Bukan hanya di bawah Kemendagri, namun bisa kementerian-kementerian lainnya. Kalau perlu nomenklatur baru. Gambarannya bisa seperti UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU 34/2004 tentang TNI. Kemenhan membawahi anggaran TNI. Tapi, Panglima TNI langsung berada di bawah Presiden. “Dimana Polri secara anggaran di bawah kementerian, tetapi Kapolri langsung berada di bawah presiden,” jelasnya.
Sementara Komnas HAM membuka fakta baru bahwa kemungkinan ada sosok ketiga penembak brigadir Yosua. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menjelaskan, dari hasil uji balistik yang dilakukan, muncul dugaan adanya pelaku lain yang menembak Yosua. Artinya, penembak Yosua bukan hanya dua, tapi tiga orang. “Polri harus menyelidiki,” ujarnya.
Dugaan itu muncul dari besarnya lubang peluru yang berbeda. Diduga ada dua senjata yang digunakan untuk menembak Brigadir Yosua. Bila Sambo menyebut hanya Bharada E yang menembak, Bharada E justru mengaku penembak bukan hanya dirinya. Lalu, siapa yang menembak dengan senjata berjenis berbeda dari BHarada E. “Penyidik harus mencari bukti-bukti pendukung kuat, selain keterangan saksi,” jelasnya.
Pernyataan Kompolnas tersebut berbeda dengan kronologi yang dirilis Polri menggunakan animasi. Dalam kronologi tersebut, digambarkan bahwa Bharada E menembak Yosua tiga atau empat kali. Lantas, Sambo menembak Yosua di kepala bagian belakang dengan senjata Bharada E. Kalau uji balistik menemukan peluru jenis senjata lain, siapa penembak ketiga ini? (idr)