30.6 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Keluarga Mantan Gubsu Minta Keadilan

Begitupun, DZ awalnya membuat pernyataan, apabila keluarga mantan Gubsu Marah Halim Harahap telah memberikan uang, maka perjanjian yang dibuat dalam akta notaris nomor 21 dibatalkan kedua belah pihak, dan DZ memberi 2 sertifikat tersebut. “Tapi setelah diberikan sejumlah uang yang diminta, DZ tidak mengembalikan 2 SHM tersebut, dan tidak mau membatalkan akta notaris nomor 21 itu,” ungkap Akbar lagi.

Karena 2 sertifikat tidak dikembalikan, maka Akbar dan Faisal memutuskan melaporkan kasus ini ke Polda Sumut pada 10 Agustus 2017, dengan laporan Nomor: LP/941/VIII/2017/SPKT. Namun laporan ini di SP3 oleh kepolisian. Selesai urusan dengan DZ, sambung Akbar, datang calon pembeli lain berinisial S. Ia bersedia membayar tanah itu dengan harga Rp45 miliar, sesuai penawaran awal. “Pada 15 Agustus 2017, di hadapan notaris, S memberikan uang muka sebesar Rp1 miliar, dan akan melakukan pembayaran lunas ketika lahan tersebut sudah dieksekusi. Nah di 12 Desember 2017, PN Medan melakukan eksekusi atas lahan tersebut sesuai putusan Mahkamah Agung. Setelah proses eksekusi selesai, saya meminta tambahan uang ke S sebesar Rp5 miliar,” bebernya.

Anehnya, S malah melaporkan Akbar dan Faisal ke Polda Sumut, tentang penggelapan uang atau menempatkan keterangan palsu. Singkat cerita, lanjut Akbar, pada 30 Maret 2017, ia dan Faisal dijemput paksa pihak kepolisian dan ditahan selama 20 hari di Polda Sumut. “Selama 20 hari saya cuma ditanya sekali oleh penyidik, apakah uang Rp1 miliar itu masih ada? Saya jawab, uang masih utuh. Selebihnya, kami dibiarkan begitu saja,” katanya.

Pada 3 Juli 2018, sebut Akbar, keluar putusan atas gugatan perdata di PN Medan dengan perkara Nomor: 32/PDT.G/2018/PN-MDN terhadap DZ. “Dalam amar putusan itu, DZ diminta mengembalikan SHM atas lahan tersebut. Sayangnya, sampai detik ini tidak dikembalikan. Anehnya, laporan itu dinyatakan SP3. Kenapa soal uang Rp1 miliar itu, saya malah ditahan? Kan aneh. Saya dan Faisal merasa dizalimi penegak hukum. Dan kasus ini, sepertinya ditunggangi mafia tanah. Karena kasus yang sejatinya perdata berubah menjadi pidana,” ujarnya.

Menanggapi kasus ini, kuasa hukum keluarga Marah Halim Harahap, Ranto Sibarani menilai, ada kaitannya antara DZ dengan S. “Bagaimana mungkin, ketika S tidak sanggup memenuhi janjinya membayar Rp45 miliar, dan kami mau mengembalikan uangnya Rp1 miliar dia tolak. Tapi dia melaporkan klien kami ke Polda Sumut. Kasus ini diproses atau dilanjutkan, dan klien kami dijemput paksa di Jakarta oleh 8 polisi. Dan 20 hari setelah itu, tidak ada diperiksa. Sementara laporan kami terhadap DZ dihentikan. Kami mohon keadilan,” ungkapnya.

Ranto menduga, ada orang yang menggunakan kekuasaan untuk melanggengkan keinginannya, yakni agar harga tanah tersebut di bawah harga pasar. (prn/saz)

 

 

Begitupun, DZ awalnya membuat pernyataan, apabila keluarga mantan Gubsu Marah Halim Harahap telah memberikan uang, maka perjanjian yang dibuat dalam akta notaris nomor 21 dibatalkan kedua belah pihak, dan DZ memberi 2 sertifikat tersebut. “Tapi setelah diberikan sejumlah uang yang diminta, DZ tidak mengembalikan 2 SHM tersebut, dan tidak mau membatalkan akta notaris nomor 21 itu,” ungkap Akbar lagi.

Karena 2 sertifikat tidak dikembalikan, maka Akbar dan Faisal memutuskan melaporkan kasus ini ke Polda Sumut pada 10 Agustus 2017, dengan laporan Nomor: LP/941/VIII/2017/SPKT. Namun laporan ini di SP3 oleh kepolisian. Selesai urusan dengan DZ, sambung Akbar, datang calon pembeli lain berinisial S. Ia bersedia membayar tanah itu dengan harga Rp45 miliar, sesuai penawaran awal. “Pada 15 Agustus 2017, di hadapan notaris, S memberikan uang muka sebesar Rp1 miliar, dan akan melakukan pembayaran lunas ketika lahan tersebut sudah dieksekusi. Nah di 12 Desember 2017, PN Medan melakukan eksekusi atas lahan tersebut sesuai putusan Mahkamah Agung. Setelah proses eksekusi selesai, saya meminta tambahan uang ke S sebesar Rp5 miliar,” bebernya.

Anehnya, S malah melaporkan Akbar dan Faisal ke Polda Sumut, tentang penggelapan uang atau menempatkan keterangan palsu. Singkat cerita, lanjut Akbar, pada 30 Maret 2017, ia dan Faisal dijemput paksa pihak kepolisian dan ditahan selama 20 hari di Polda Sumut. “Selama 20 hari saya cuma ditanya sekali oleh penyidik, apakah uang Rp1 miliar itu masih ada? Saya jawab, uang masih utuh. Selebihnya, kami dibiarkan begitu saja,” katanya.

Pada 3 Juli 2018, sebut Akbar, keluar putusan atas gugatan perdata di PN Medan dengan perkara Nomor: 32/PDT.G/2018/PN-MDN terhadap DZ. “Dalam amar putusan itu, DZ diminta mengembalikan SHM atas lahan tersebut. Sayangnya, sampai detik ini tidak dikembalikan. Anehnya, laporan itu dinyatakan SP3. Kenapa soal uang Rp1 miliar itu, saya malah ditahan? Kan aneh. Saya dan Faisal merasa dizalimi penegak hukum. Dan kasus ini, sepertinya ditunggangi mafia tanah. Karena kasus yang sejatinya perdata berubah menjadi pidana,” ujarnya.

Menanggapi kasus ini, kuasa hukum keluarga Marah Halim Harahap, Ranto Sibarani menilai, ada kaitannya antara DZ dengan S. “Bagaimana mungkin, ketika S tidak sanggup memenuhi janjinya membayar Rp45 miliar, dan kami mau mengembalikan uangnya Rp1 miliar dia tolak. Tapi dia melaporkan klien kami ke Polda Sumut. Kasus ini diproses atau dilanjutkan, dan klien kami dijemput paksa di Jakarta oleh 8 polisi. Dan 20 hari setelah itu, tidak ada diperiksa. Sementara laporan kami terhadap DZ dihentikan. Kami mohon keadilan,” ungkapnya.

Ranto menduga, ada orang yang menggunakan kekuasaan untuk melanggengkan keinginannya, yakni agar harga tanah tersebut di bawah harga pasar. (prn/saz)

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/