27.8 C
Medan
Friday, May 10, 2024

Keluarga Mantan Gubsu Minta Keadilan

Foto: PRAN HASIBUAN/SUMUT POS
BERI KETERANGAN: Cucu Almarhum Marah Halim Harahap, Mantan Gubernur Sumut, Muhammadi Akbar Siregar (kiri), Faisal Amri Pohan (kanan), dan kuasa hukum Rianto Sibarani (tengah), saat memberikan keterangan kepada wartawan di Medan, Kamis (5/7) sore.

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Keluarga mantan Gubernur Sumut Marah Halim Harahap, Faisal Amri Pohan dan Muhammad Akbar Siregar, merasa dizalimi mafia tanah, dan mendapat perlakuan tidak adil dari Polda Sumut, terkait kasus jual beli tanah yang terletak di Jalan Putri Hijau Medan.

Permasalahan yang dihadapi Faisal dan Akbar, berawal saat membuat perjanjian dengan DZ, mengenai pembaruan tentang pengikatan diri untuk melakukan jual beli dengan akta notaris nomor 21 pada 13 November 2014 di hadapan notaris Magdalena Hasibuan.

“Berdasar perjanjian tersebut, DZ menyerahkan uang sebesar Rp2,5 miliar. Namun, 17 November dan 4 Desember 2014, DZ meminjam sebagian uang yang diserahkan tadi Rp500 juta. Kemudian, saya dan Bang Faisal meminta tambahan uang sebesar Rp750 juta,” tutur Muhammad Akbar Siregar, Kamis (5/7) lalu.

Pada 2016, lanjut Akbar, DZ menyampaikan, pihak TVRI akan menggugat Faisal Amri Pohan dan dirinya, serta ahli waris lainnya, terhadap lahan tersebut. Atas dasar itu, DZ meminta uangnya kembali, bahkan meminta tambahan kompensasi 30 persen atau Rp975 juta. “Jadi total uang yang harus dikembalikan kepadanya sebesar Rp4,225 milliar. Uang yang sebelumnya sempat ia pinjam sebesar Rp500 juta tidak dibayarnya,” imbuhnya.

Anehnya, meski DZ belum membayar lunas lahan tersebut, 2 sertifikat hak milik (SHM) nomor 9 yang diterbitkan pada 22 September 1976 atas nama Marah Halim Harahap, dan SHM nomor 10 yang diterbitkan 22 September 1976 atas nama Zuraidah Marah Halim, sudah dikuasi DZ.

Saat ditanya, Akbar mengaku tidak tahu, kenapa 2 sertifikat tersebut ada di tangan DZ. “Ceritanya, sertifikat itu sebenarnya dari zaman dulu, om kami bekerja sama dengan mereka, dan kami enggak tahu sertifikat itu berpindah tangan kepada mereka. Jadi memang jelas menurut saya dikuasai secara tidak sah, karena boleh dicek terhadap sertifikat itu, tidak ada serah terima atau perjanjian,” jelasnya.

Foto: PRAN HASIBUAN/SUMUT POS
BERI KETERANGAN: Cucu Almarhum Marah Halim Harahap, Mantan Gubernur Sumut, Muhammadi Akbar Siregar (kiri), Faisal Amri Pohan (kanan), dan kuasa hukum Rianto Sibarani (tengah), saat memberikan keterangan kepada wartawan di Medan, Kamis (5/7) sore.

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Keluarga mantan Gubernur Sumut Marah Halim Harahap, Faisal Amri Pohan dan Muhammad Akbar Siregar, merasa dizalimi mafia tanah, dan mendapat perlakuan tidak adil dari Polda Sumut, terkait kasus jual beli tanah yang terletak di Jalan Putri Hijau Medan.

Permasalahan yang dihadapi Faisal dan Akbar, berawal saat membuat perjanjian dengan DZ, mengenai pembaruan tentang pengikatan diri untuk melakukan jual beli dengan akta notaris nomor 21 pada 13 November 2014 di hadapan notaris Magdalena Hasibuan.

“Berdasar perjanjian tersebut, DZ menyerahkan uang sebesar Rp2,5 miliar. Namun, 17 November dan 4 Desember 2014, DZ meminjam sebagian uang yang diserahkan tadi Rp500 juta. Kemudian, saya dan Bang Faisal meminta tambahan uang sebesar Rp750 juta,” tutur Muhammad Akbar Siregar, Kamis (5/7) lalu.

Pada 2016, lanjut Akbar, DZ menyampaikan, pihak TVRI akan menggugat Faisal Amri Pohan dan dirinya, serta ahli waris lainnya, terhadap lahan tersebut. Atas dasar itu, DZ meminta uangnya kembali, bahkan meminta tambahan kompensasi 30 persen atau Rp975 juta. “Jadi total uang yang harus dikembalikan kepadanya sebesar Rp4,225 milliar. Uang yang sebelumnya sempat ia pinjam sebesar Rp500 juta tidak dibayarnya,” imbuhnya.

Anehnya, meski DZ belum membayar lunas lahan tersebut, 2 sertifikat hak milik (SHM) nomor 9 yang diterbitkan pada 22 September 1976 atas nama Marah Halim Harahap, dan SHM nomor 10 yang diterbitkan 22 September 1976 atas nama Zuraidah Marah Halim, sudah dikuasi DZ.

Saat ditanya, Akbar mengaku tidak tahu, kenapa 2 sertifikat tersebut ada di tangan DZ. “Ceritanya, sertifikat itu sebenarnya dari zaman dulu, om kami bekerja sama dengan mereka, dan kami enggak tahu sertifikat itu berpindah tangan kepada mereka. Jadi memang jelas menurut saya dikuasai secara tidak sah, karena boleh dicek terhadap sertifikat itu, tidak ada serah terima atau perjanjian,” jelasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/