MEDAN,SUMUTPOS.CO-Sidang korupsi pengutipan dana bagi hasil dan pajak bumi dan bangunan (DBH-PBB) Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) kembali berlanjut, di Ruang Cakra 9 Pengadilan Tipikor Medan, Senin (12/10). Beragendakan keterangan terdakwa, disebut pengutipan tersebut diketahui Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
“Kami sudah berkoordinasi dengan Dirjen Keuangan, disitu dikatakan perwakilannya boleh untuk dibagikan, sebelum dilakukannya perda tersebut pihak kami sudah berkoordinasi hingga ke Jakarta,” ucap terdakwa Ahmad Fuad Lubis, selaku mantan Kadis Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD) Kabupaten Labura.
Hal itu juga dibenarkan dua terdakwa lainnya, yakni Armada pangaloan selaku mantan Kabid dan Faizal Irwan Dalimunte selaku mantan Kadis PPKAD tahun 2014-2015.
Bahkan menurutnya, dalam perbincangan tersebut, pihaknya diberikan wewenang untuk melakukan penagihan PBB Perkebunan itu. “Kami melakukan pengutipan uang PBB itu sejak tahun 2014 hingga 2015,” sebut terdakwa.
Namun, menurut saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hendri Sipahutar, menyatakan bahwa PBB itu adalah dana bagi hasil yang dilakukan secara birokrat yang bisa digunakan oleh pemkab. Bahkan dikatakannya, dana bagi hasil itu, harusnya dibagikan oleh pemerintah pusat ke Pemkab.
“Biaya yang diterima oleh pusat, itu dibagikan ke daerah, jadi yang mengatur itu pusat, jadi itu diseleksi mana yang di bagi hasilkan dan digunakan,” kata ahli.
Dijelaskannya, ada aturan lain yang semestinya dilakukan, ia menyarankan untuk melakukan PBB-P2. “Kalau PBB itu, yang atur pemerintah pusat. Namun, bedanya itu PBB-P2, itu untuk perdesaan dan perkotaan,” ujarnya.
Ia juga membenarkan bahwa PBB-P2 legal dilakukan, sebab pemungutan itu resmi lakukan oleh Daerah. “Kalau disitu ada pemerintah yang memerintahkan kalau ada pemungutan dilakukan oleh daerah. Dan itu sifatnya bukan insentif,” jelasnya.
Lebih jauh kata dia, dalam kegiatan tersebut memiliki norma-norma yang seharusnya dijalani, namun buka menjadi insentif perseorangan.
“Itu ada normanya, yang pemerintah bilang abc itu gaada. Yang melakukan kegiatan dan pembagian dana, bukan menjadi intensif seperti ini,” tandasnya.
Dalam dakwaan JPU, ketiga terdakwa diadili dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan biaya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perkebunan yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Utara Tahun Anggaran 2013-2015.
Ketiga terdakwa melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp2,1 miliar.
Bahwa perbuatan ketiga terdakwa dan Kharuddin Syah selaku Bupati Labuhanbatu Utara pada tahun 2014 dan 2015 adalah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan yang menimbulkan kerugian keuangan Negara.
Berdasarkan perhitungan kerugian, keuangan Negara yang dilakukan oleh BPKP Perwakilan Sumatera Utara di Medan melalui Surat Kepala BPKP Perwakilan Provinsi Sumut Nomor: R-49/PW.02/5.1/2019 tanggal 20 September 2019 hal Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas perkara dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan biaya pemungutan PBB sebesar Rp2,1 miliar.
Perbuatannya ketiga terdakwa diancam Pidana dalam Pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana. (man/han)