25 C
Medan
Saturday, June 1, 2024

Suap Ditransfer ke Rekening Staf Istri, Edhy Jadi Tersangka, Minta Maaf ke Jokowi dan Prabowo

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Setelah diumumkan sebagai tersangka, Menteri Kelautan dan Perikanan (nonaktif) Edhy Prabowo kembali menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KKP), kemarin (26/11). Politikus Partai Gerindra itu melanjutkan proses administrasi penyidikan yang belum selesai. Edhy juga menjalani pemeriksaan kesehatan.

TERSANGKA: Edhy Prabowo bersama tersangka lainnya saat dihadirkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (25/11) malam pukul 23.45 WIB.
TERSANGKA: Edhy Prabowo bersama tersangka lainnya saat dihadirkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (25/11) malam pukul 23.45 WIB.

Saat masuk ke gedung KPK pukul 11.49, Edhy yang mengenakan rompi tahanan oranye dan tangan diborgol itu irit bicara. Tersangka suap terkait izin ekspor benih lobster (benur) dari bos PT Dua Putera Perkasa (DPP) Suharjito itu langsung masuk ke ruang penyidikan didampingi pengawal tahanan (waltah) dari KPK.

Edhy sempat bicara ke awak media pukul 00.30 atau setelah KPK menggelar konferensi pers (konpers) pengumuman tersangka. Dalam kesempatan itu, suami Iis Rosita Dewi tersebut menyampaikan permohonan maaf kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang telah dianggap sebagai gurunya. “Saya minta maaf kepada Bapak Presiden, saya telah mengkhianati kepercayaan beliau. Saya minta maaf ke Pak Prabowo Subianto, guru saya, yang sudah mengajarkan banyak hal,” ujarnya.

Edhy juga sempat menyampaikan permohonan maaf untuk ibunya. Dan seluruh rakyat Indonesia, khususnya para pekerja perikanan. “Ini (dugaan suap ekspor benur) adalah kecelakaan dan saya bertanggungjawab. Saya tidak akan lari dan saya akan beberkan apa yang saya lakukan,” ungkapnya. Dalam kesempatan itu, Edhy sempat menyatakan mundur dari jabatan menteri KP dan wakil ketua umum Gerindra. “Saya yakin prosesnya sudah berjalan, saya akan hadapi dengan jiwa besar.”

Di sisi lain, dua tersangka yang belum diamankan KPK dalam OTT benur kemarin akhirnya menyerahkan diri. Mereka adalah staf khusus (stafsus) Edhy, Andreau Pribadi Misata dan pihak swasta, Amiril Mukminin. Mereka datang ke gedung KPK sekitar pukul 12.00 atau tak lama setelah Edhy masuk ruang penyidikan.

Selain menjabat stafsus, Andreau juga merangkap sebagai Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) yang salah satu tugasnya adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen calon eksportir benur. Sementara Amiril dalam kasus ini berperan sebagai pihak yang melakukan kesepakatan dengan bos PT DPP Suharjito terkait dengan nilai biaya angkut benur Rp1.800/ekor.

Deputi Penindakan KPK Karyoto menerangkan dengan penyerahan diri kedua tersangka tersebut, artinya seluruh tersangka kasus suap terkait perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020 itu sudah berhasil diamankan. “Untuk kepentingan penyidikan, KPK melakukan penahanan (terhadap dua tersangka yang menyerahkan diri).”

Karyoto kembali menjelaskan, kasus tersebut berawal dari SK Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster yang mengisyaratkan Andreau sebagai ketuanya. PT DPP menjadi salah satu perusahaan yang mengajukan perizinan terkait lobster itu dengan menyetujui kesepakatan yang dibuat.

PT DPP diduga telah melakukan transfer ke rekening PT Aero Citra Kargo (ACK) yang memang ditunjuk orang-orang Edhy sebagai perusahaan pengiriman benur ke luar negeri. Besarnya Rp731,573 juta. Dalam perkara ini, PT ACK ditengarai sebagai ‘penampung’ uang dari sejumlah perusahaan eksportir benur.

Sejauh ini KPK mengendus aliran uang terkait dengan ekspor benur sebanyak Rp9,8 miliar. Mulanya uang itu disimpan di rekening PT ACK, kemudian dialirkan ke rekening pengurus PT ACK ; Amri dan Ahmad Bahtiar. Keduanya merupakan nominee dari pihak Edhy dan Yudi Surya Atmaja.

Pada 5 November, Bahtiar pernah mengalirkan uang ke rekening ajudan istri Edhy sebesar Rp3,4 miliar. Sebagian uang itu yang dibelanjakan barang mewah di Amerika pada 21-23 November lalu. Di antaranya, tas LV, tas Hermes, baju Old Navy, jam Rolex, jam Jacob n Co, tas koper Tumid an tas koper LV. Nilainya ditaksir mencapai Rp750 juta.

Selain aliran uang itu, ada pula uang USD 100 ribu dari Suharjito yang dialirkan kepada Edhy melalui Safri (stafsus menteri) dan Amiril. Safri dan Andreau juga pernah ter-capture melakukan transaksi keuangan dengan ajudan istri Edhy, Ainul Faqih pada Agustus lalu. Nilainya sebesar Rp436 juta.

Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, partainya menghormati dan mengikuti proses hukum yang ada sesuai aturan yang berlaku. “Dan Pak Prabowo serta Partai Gerindra tetap berkomitmen dalam pemberantasan korupsi,” terang dia di gedung DPR kemarin.

Terkait pengunduran diri Edhy dari Gerindra, dia mengatakan, partainya menerima dengan baik sesuai ketentuan dan aturan yang berlaku di internal partai. Gerindra akan segera mencari pengganti Edhy sebagai wakil ketua umum DPP Gerindra.

Sedangkan terkait pengunduran dirinya dari posisi Menteri KKP, Dasco mengatakan, hal itu diserahkan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi. Partainya tidak akan mencampuri pergantian menteri, karena itu menjadi prerogatif presiden. “Kami dari Partai Gerindra akan menunggu saja bagaimana kebijakan dari presiden nanti,” urainya.

Apakah Partai Gerindra tidak menyiapkan nama pengganti Edhy sebagai menteri KKP? Dasco menegaskan bahwa pihaknya belum berbicara dan belum mendapatkan kabar lebih lanjut terkait pergantian menteri KKP. “Saya sudah sampaikan itu adalah hak prerogatif presiden,” tegasnya.

PDIP juga merespon kadernya yang ikut terseret kasus tersebut. Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menyatakan, Andreau Misanta adalah anggota partai yang pernah menjadi Caleg DPR RI yang diusung pada Pemilu 2019. “Namun usai pencalonan yang gagal itu, yang bersangkutan sudah tidak aktif lagi di partai,” terang dia.

Basarah baru mengetahui, Andreau menjadi staf ahli Edhy Prabowo setelah adanya kasus OTT. Menurut dia, karena posisi Andreau sebagai staf ahli adalah keputusan pribadi, maka segala bentuk perilaku dan tindak tanduknya sama sekali tidak berkaitan dengan PDIP. (tyo/tau/han/lum)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Setelah diumumkan sebagai tersangka, Menteri Kelautan dan Perikanan (nonaktif) Edhy Prabowo kembali menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KKP), kemarin (26/11). Politikus Partai Gerindra itu melanjutkan proses administrasi penyidikan yang belum selesai. Edhy juga menjalani pemeriksaan kesehatan.

TERSANGKA: Edhy Prabowo bersama tersangka lainnya saat dihadirkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (25/11) malam pukul 23.45 WIB.
TERSANGKA: Edhy Prabowo bersama tersangka lainnya saat dihadirkan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (25/11) malam pukul 23.45 WIB.

Saat masuk ke gedung KPK pukul 11.49, Edhy yang mengenakan rompi tahanan oranye dan tangan diborgol itu irit bicara. Tersangka suap terkait izin ekspor benih lobster (benur) dari bos PT Dua Putera Perkasa (DPP) Suharjito itu langsung masuk ke ruang penyidikan didampingi pengawal tahanan (waltah) dari KPK.

Edhy sempat bicara ke awak media pukul 00.30 atau setelah KPK menggelar konferensi pers (konpers) pengumuman tersangka. Dalam kesempatan itu, suami Iis Rosita Dewi tersebut menyampaikan permohonan maaf kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang telah dianggap sebagai gurunya. “Saya minta maaf kepada Bapak Presiden, saya telah mengkhianati kepercayaan beliau. Saya minta maaf ke Pak Prabowo Subianto, guru saya, yang sudah mengajarkan banyak hal,” ujarnya.

Edhy juga sempat menyampaikan permohonan maaf untuk ibunya. Dan seluruh rakyat Indonesia, khususnya para pekerja perikanan. “Ini (dugaan suap ekspor benur) adalah kecelakaan dan saya bertanggungjawab. Saya tidak akan lari dan saya akan beberkan apa yang saya lakukan,” ungkapnya. Dalam kesempatan itu, Edhy sempat menyatakan mundur dari jabatan menteri KP dan wakil ketua umum Gerindra. “Saya yakin prosesnya sudah berjalan, saya akan hadapi dengan jiwa besar.”

Di sisi lain, dua tersangka yang belum diamankan KPK dalam OTT benur kemarin akhirnya menyerahkan diri. Mereka adalah staf khusus (stafsus) Edhy, Andreau Pribadi Misata dan pihak swasta, Amiril Mukminin. Mereka datang ke gedung KPK sekitar pukul 12.00 atau tak lama setelah Edhy masuk ruang penyidikan.

Selain menjabat stafsus, Andreau juga merangkap sebagai Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) yang salah satu tugasnya adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen calon eksportir benur. Sementara Amiril dalam kasus ini berperan sebagai pihak yang melakukan kesepakatan dengan bos PT DPP Suharjito terkait dengan nilai biaya angkut benur Rp1.800/ekor.

Deputi Penindakan KPK Karyoto menerangkan dengan penyerahan diri kedua tersangka tersebut, artinya seluruh tersangka kasus suap terkait perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020 itu sudah berhasil diamankan. “Untuk kepentingan penyidikan, KPK melakukan penahanan (terhadap dua tersangka yang menyerahkan diri).”

Karyoto kembali menjelaskan, kasus tersebut berawal dari SK Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster yang mengisyaratkan Andreau sebagai ketuanya. PT DPP menjadi salah satu perusahaan yang mengajukan perizinan terkait lobster itu dengan menyetujui kesepakatan yang dibuat.

PT DPP diduga telah melakukan transfer ke rekening PT Aero Citra Kargo (ACK) yang memang ditunjuk orang-orang Edhy sebagai perusahaan pengiriman benur ke luar negeri. Besarnya Rp731,573 juta. Dalam perkara ini, PT ACK ditengarai sebagai ‘penampung’ uang dari sejumlah perusahaan eksportir benur.

Sejauh ini KPK mengendus aliran uang terkait dengan ekspor benur sebanyak Rp9,8 miliar. Mulanya uang itu disimpan di rekening PT ACK, kemudian dialirkan ke rekening pengurus PT ACK ; Amri dan Ahmad Bahtiar. Keduanya merupakan nominee dari pihak Edhy dan Yudi Surya Atmaja.

Pada 5 November, Bahtiar pernah mengalirkan uang ke rekening ajudan istri Edhy sebesar Rp3,4 miliar. Sebagian uang itu yang dibelanjakan barang mewah di Amerika pada 21-23 November lalu. Di antaranya, tas LV, tas Hermes, baju Old Navy, jam Rolex, jam Jacob n Co, tas koper Tumid an tas koper LV. Nilainya ditaksir mencapai Rp750 juta.

Selain aliran uang itu, ada pula uang USD 100 ribu dari Suharjito yang dialirkan kepada Edhy melalui Safri (stafsus menteri) dan Amiril. Safri dan Andreau juga pernah ter-capture melakukan transaksi keuangan dengan ajudan istri Edhy, Ainul Faqih pada Agustus lalu. Nilainya sebesar Rp436 juta.

Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, partainya menghormati dan mengikuti proses hukum yang ada sesuai aturan yang berlaku. “Dan Pak Prabowo serta Partai Gerindra tetap berkomitmen dalam pemberantasan korupsi,” terang dia di gedung DPR kemarin.

Terkait pengunduran diri Edhy dari Gerindra, dia mengatakan, partainya menerima dengan baik sesuai ketentuan dan aturan yang berlaku di internal partai. Gerindra akan segera mencari pengganti Edhy sebagai wakil ketua umum DPP Gerindra.

Sedangkan terkait pengunduran dirinya dari posisi Menteri KKP, Dasco mengatakan, hal itu diserahkan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi. Partainya tidak akan mencampuri pergantian menteri, karena itu menjadi prerogatif presiden. “Kami dari Partai Gerindra akan menunggu saja bagaimana kebijakan dari presiden nanti,” urainya.

Apakah Partai Gerindra tidak menyiapkan nama pengganti Edhy sebagai menteri KKP? Dasco menegaskan bahwa pihaknya belum berbicara dan belum mendapatkan kabar lebih lanjut terkait pergantian menteri KKP. “Saya sudah sampaikan itu adalah hak prerogatif presiden,” tegasnya.

PDIP juga merespon kadernya yang ikut terseret kasus tersebut. Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah menyatakan, Andreau Misanta adalah anggota partai yang pernah menjadi Caleg DPR RI yang diusung pada Pemilu 2019. “Namun usai pencalonan yang gagal itu, yang bersangkutan sudah tidak aktif lagi di partai,” terang dia.

Basarah baru mengetahui, Andreau menjadi staf ahli Edhy Prabowo setelah adanya kasus OTT. Menurut dia, karena posisi Andreau sebagai staf ahli adalah keputusan pribadi, maka segala bentuk perilaku dan tindak tanduknya sama sekali tidak berkaitan dengan PDIP. (tyo/tau/han/lum)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/