SUMUTPOS.CO – Publik kembali dihebohkan dengan penangkapan artis Nikita Mirzani (NM) dan Puty Revita (PR) terkait prostitusi online oleh Bareskrim Polri. Namun, penerapan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tidak memuaskan sejumlah kalangan, salah satunya pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel.
Kenapa? Karena UU tersebut menempatkan NM dan PR sebagai korban. Ini diperkuat dengan Keppres 69 Tahun 2008 tentang Satgas Pemberantasan TPPO. Sedangkan sang mucikari Ronald Rumagit alias Onat (O) dan Ferry Okviansyah (F) dijerat sebagai tersangka karena diduga melanggar Pasal 2 UU TPPO lantaran mendapatkan keuntungan ekonomi dari perannya sebagai muncikari.
Dengan status korban, maka sesuai amanat UU TPPO, NM dan PR akan mendapatkan kompensasi. Inilah yang dianggap Reza tidak sesuai dengan pemikirannya. Lalu bagaimana seharusnya polisi memperlakukan NM dan PR? Serta orang-orang yang diduga menjadi penikmat jasa pemuas NM dan PR? Berikut perbincangan reporter JPNN (grup SUMUTPOS.CO) M Fathra N.I dengan Reza, Minggu (13/12).
Bagaimana anda melihat kasus prostitusi online yang telah menjerat dua mucikari O dan F, serta dua anak buahnya NM dan PR?
NM dan PR adalah korban, kata polisi. UU TPPO dan KUHP memang mengasumsikan PSK adalah korban. Keberpihakan yang bagus terhadap korban. Namun kedua piranti hukum tersebut abai terhadap fakta bahwa tidak sedikit orang yang berkehendak sukarela dan berencana secara sengaja untuk menjadi PSK.
Maksudnya?
Mereka (NM dan PR) tidak memenuhi kriteria sebagai orang yang tereksploatasi, sehingga secara substantif mereka bukan korban. Juga, jika merujuk UU TPPO, korban mendapat kompensasi dan restitusi. Silahkan jawab, relakah jika si artis justru mendapat ganti rugi? Saya tidak rela!
Berarti ada kelemahan di UU TPPO?
Kelemahan mendasarnya ada pada UU TPPO. Jadi, UU itu perlu direvisi.
Posisi PSK di sini sama dengar pengguna narkoba, dianggap korban lalu lepas dari jerat hukum? Kalau pengguna narkoba dapat rehabilitasi, PSK dapat kompensasi dan restitusi? Itulah yang saya kritisi. Semalam saya bicara dengan Direktur Jatsila PMJ. Dia bilang NM adalah korban, merujuk UU TPPO. Kalau konsekuen dengan itu, berarti NM dan PR nantinya akan mendapat restitusi (ganti rugi).
Restitusi seperti apa yang akan didapat NM dan PR?
Duit. Pengadilan yang putuskan. Itu pasti dapat duitnya? Apa gak celah untuk jerat NM? Kalau polisi pakai UU TPPO dan NM, PR disebut sebgai korban, maka jelas-jelas tercantum dalam pasal (48) bahwa korban tersebut akan dapat restitusi.
Menurut anda, NM ini korban? Atau sengaja menjual diri? Atau ada kriteria lain?
Jawaban saya tadi, yang bersangkutan (NM dan PR) tidak memenuhi kriteria sebagai orang yang tereksploatasi. Tapi UU sendiri yang jelek, sehingga malah menjungkirbalikkan logika. Polisi semestinya tak usah sebut NM sebaga korban. Kan ada victimless crimes semacam korupsi, kecelakaan tunggal lalin dan lain-lain. Kalau revisi UU, terminologi seperti apa yang pas supaya orang-orang seperti NM bisa dijerat.
Atau ada pasal pengecualian, bagi yang benar korban perdagangan orang bisa dapat restitusi?
Definisi eksploitasi di dalam UU tersebut kudu diubah. Jika memenuhi consent (mendapat persetujuan), maka bukan merupakan eksploitasi.
Selama UU belum diubah, berarti NM- NM lain akan dengan bebas membiarkan diri mereka “dieksploitasi” karena tidak bisa dijerat hukum?
Betul.
Bagaimana kira-kira buat pengguna, yang kabarnya ada kalangan pejabat hingga direktur perusahaan besar di Jakarta?
Kalau mereka dianggap sebagai pengeksploitasi, maka mereka terkena pidana.
Apa polisi harus ungkap para pengguna ini, kan bisa jadi sanksi sosial?
Kudu diungkap. Tapi dalam kasus prostitusi online sebelumnya, itu tidak terjadi. (jpnn/deo)