Muhammad Tahi Parlindungan Hutagaol
Tamat dari jurusan Sosial Politik Universitas Darma Agung adalah cita-cita Muhammad Tahi Parlindungan Hutagaol (43). Tapi apa daya, ketiadaan dana membuatnya harus keluar seusai menyelesaikan lima semester. Tak pelak, dia pun harus banting stir.
Begitulah, kehidupan Hutagaol di kala muda. Setelah tak lagi kuliah, dirinya pun mencari sembarang pekerjaan untuk terus tetap hidup. Kehidupan susahnya makin menjadi setelah dia menikahi seorang gadis, Diti Zahro (kini 38 tahun). Terpaksa, Hutagaol, bekerja sebagai buruh bangunan. Tidak itu saja, dia pun sempat menjadi kernet angkotan kota.
Nah, tak mau terus hidup dalam kesusahan, dirinya bertekad mengubah nasib. Dia pun mencari ide. Teringat olehnya kalau 15 tahun sebelumnya dia sempat mengangankan memiliki usaha pengelolahan bubuk kopi.
Berangkat dari ingatan tersebut pada 2009 lalu dia nekad mengambil langkah. Bermodalkan uang 10 juta rupiah pinjaman Bank dengan mengagunkan surat tanah orangtua, dia dan istri nekad berjudi dengan usaha pengorengan dan pengilingan kopi. Awalnya mereka hanya mampu memproduksi 20 kilogram kopi dalam sepekan. “Dari kecil dululah kita memulai usaha ini, lambat laun daya penjualan mulai tinggi. Baru sekarang kita nikmati hasilnya,’’ ujar Hutagaol di rumahnya di Jalan Gatot Subroto, Lingkungan I, Kelurahan Lubuk Baru, Kecamatan Padang Hulu, Kota Tebing Tinggi, belum lama ini.
Sejatinya, Hutagaol memiliki angan membangun usaha bubuk kopi tersebut karena dasar prihatin. Ya, dirinya melihat usaha tersebut semakin ditinggalkan pengusaha lokal. Namun, pengusaha keturunan malah makin giat merambah bubuk hitam yang nikmat tersebut. “Mengapa kita tidak bisa membuatnya? Hal inilah yang mendorong saya membuat pengolahan bubuk kopi tersebut,” katanya.
Hutagaol menjelaskan, bahan baku kopi yang diolahnya berasal dari Aceh dan selebihnya didatangkan dari daerah Lintong Nihuta Kabupaten Humbahas, Dolok Sanggul. Untuk pengolahan menjadi bubuk kopi, biji kopi yang sudah kering terlebih dahulu digoreng selama empat jam; pengorengan tetap terus berputar dengan dibakar mengunakan bara api. Setelah empat jam, kopi didinginkan sekitar 2 jam dan kemudian digiling dan dikemas ke dalam kemasan per gram, seperempat, dan setengah kilo. “Untuk menambahkan rasa nikamt kopi, kita campurkan satu resep. Namun, resep ini adalah rahasia kita tidak bisa diberitahukan,” kekeh Hutagaol.
Ya, usaha Hutagaol kini bukan lagi usaha kecil. Untuk per harinya kopi bubuk yang dihasilkan mencapai kisaran 200 kilogram. Bahkan, pasar kopinya kini semakin meluas, tidak hanya di wilayah Sumatera Utara saja, Pekanbaru Riau pun dijamah. “Permitaan konsumen banyak, namun kita tidak bisa memenuhinya. Pasalnya, pembuatan dan pengemasan masih mengunakan tenaga orang (manual),” bilangnya.
Bubuk Kopi yang dihasilkan Hutagaol diberi nama Cap Dua Kera dengan kemasan wadah satu gram, seperempat, dan setengah kilo. Hutagaol juga menyediakan penjualan dengan sistem banyak 9 per pak). Untuk satu pak ukuran 10 kilogram dijual dengan harga Rp130.000, sementara untuk per kilonya dihargai Rp13.000. “Banyak usaha kecil yang memiliki potensi, seandainya pemerintah lebih peduli, bukan tidak mungkin usaha tersebut akan terbantu,” kata Hutagaol. (mag-3)
—
Mampu Serap 25 Tenaga Kerja
Sempat hidup susah bukan berarti Muhammad Tahi Parlindungan Hutagaol sangat bernafsu untuk menjadi orang kaya. Baginya, kaya itu urusan belakang, yang utama adalah lapangan pekerjaan.
“Dalam dunia usaha kita jangan lebih terfokus untuk menjadi orang kaya, namun kita harus lebih memikirkan bagaimana kita bisa menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya untuk membantu kaum yang lemah,” aku Hutagaol.
Ya, Hutagaol memang bisa saja berbicara semacam itu. Pasalnya, selain usaha pengelolahan bubuk kopi, ternyata dirinya juga memiliki usaha tahu dan tempe. Dan, pekan lalu, dirinya malah baru membuka usaha lain, yakni pembuatan tauge (kecambah). Nah, untuk semua usaha itu, tenaga kerja yang sudah diserapnya sebanyak 25 orang. “Alhamdulillah, kita bisa membantu mempekerjakan orang lain. Demi Tuhan saya berbuat begini bukan untuk kaya, namun saya merasa bangga bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi yang membutuhkan,” tegasnya.
Meski begitu, Hutagaol menyadari kalau dirinya tak bisa bekerja sendiri untuk mencapai posisi seperti sekarang. “Sebenarnya ini tidak terlepas dari binaan Karang Taruna Kota Tebing Tinggi. Karang Tarunalah yang telah banyak membantu saya dalam mempromosikan hasil-hasil produk usaha saya ini,’’ bilangnya sambil melirik Pembina dari Karang Taruna Kota Tebing Tinggi, Deyan Feri Panjaitan, yang kebetulan hadir saat itu. (mag-3)