32 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Perjuangkan Peternak Bebek

Hamdan SPt MSi

Diskriminasi ternyata tidak dialami oleh manusia saja. Bangsa unggas pun mengalaminya. Contohnya, bebek yang dianggap lebih ‘rendah’ derajatnya dibanding ayam. Hal inilah yang menjadi perjuangan Hamdan SPt MSi.

Awalnya, dia sempat dianggap aneh. Hamdan memang giat menggelar eksperimen di seputar kediamannya. Perlahan tapi pasti usaha tersebut memberi pencerahan bagi orang-orang di sekitarnya. Seperti keputusannya untuk membuka peternakan bebek pejantan muda yang membuat siapapun mengerutkan dahi. Pasalnya, peternakan bebek selama ini didominasi dengan bebek petelur atau betina. Hanya sedikit yang menaruh perhatian pada peternakan bebek potong atau pejantan. “Potensi tumbuh bebek potong lebih besar dibanding bebek petelur. Hanya butuh waktu tiga bulan sudah bisa dipanen dengan berat maksimal 1,3 Kilogram, berat komersil untuk penjualan,” terang Hamdan yang ditemui di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU), Kamis (21/4) lalu.

Nah, dengan pertimbangan itu dosen Fakultas Pertanian USU ini mengembangkan peternakan bebek potong. Belakangan suami dari Satiawati SP juga menaruh perhatian pada peternakan bebek potong muda secara intensif atau dikandangkan. Hal yang tentunya asing untuk peternak lokal mengingat peternakan bebek selama ini dilakukan dengan menggembala. Namun, Hamdan kukuh dan menjawab dengan keberhasilan mengembangkan sistem peternakan organik.

Seperti yang dipaparkan Hamdan, pilihan untuk beternak bebek bukan tanpa dasar dan alasan. Salah satunya adalah diskriminasi yang dilakukan para pedagang dengan menerapkan penjualan dalam bentuk ekor untuk bebek. Tidak seperti unggas lainnya yang penjualannya dalam berat, misalnya ayam. Deskriminasi lainnya dapat dilihat dari tidak adanya makanan bebek yang khusus diproduksi oleh perusahan multinasional.

“Hal itu memberi ruang bagi kreasi dan design dalam menyiapkan pakan bebek.  Yang pasti tidak ada bahan baku yang perfect. Kita hanya perlu memperhatikan tiga hal yaitu bahannya tidak beracun, tidak bersaing dengan manusia, dan mudah didapat juga murah,” bebernya.

Untuk pakan bebeknya, Hamdan mengaku hanya menggunakan bahan-bahan limbah alam seperti ampas ubi yang memiliki kandungan energi tinggi, tepung ikan, dedak padi, bungkil, roti basi, limbah bihun, pecahan mie instan, atau limbang tepung sagu. Bahan-bahan yang banyak disediakan oleh alam dan memiliki semua kebutuhan dari ternak.
Bahan-bahan itu kemudian diekplorasi sesuai dengan kebutuhan di mana bebek membutuhkan 18 persen sampai 20 persen protein dan 2800-2900 kilo kalori energi. “Selama ini para peternak hanya disarankan untuk membeli dan membeli pakan. Begitu juga dengan pertanian kita yang membuat tergantung pada koorporasi-koorporasi besar. Dengan membuat pakan sendiri kita bisa lepas dari ketergantungan itu,” tegas pria yang gemar bercerita ini.

Namun semua itu memiliki pengaruh dalam biaya yang dibutuhkan. Untuk itu Hamdan mengingatkan akan pentingnya manajemen yang benar-benar baik. Terutama dalam penanganan pakan yang membutuhkan 60 persen dari biaya produksi. Salah satu langkah antisipasi yang dapat dilakukan adalah melaksanakan sistem estafet dengan jarak panen satu minggu.

Eksperimen-eksperimen sendiri sudah dilakukannya sejak bergabung di Pertanian Alternatif Nusantara Sumatera Utara. Di bawah arahan Irwansyah Hasibuan, ayah dari M Rizky Fatihah (11) dan Amir Ahmad Sayyidinah (7) ini kerap mengajak masyarakat untuk melihat hal-hal baru lewat percobaan yang dilakukannya di bidang pertanian maupun peternakan. Dengan usaha yang tak pernah berhenti dalam mengembangkan pupuk dan pakan ternak, beberapa bulan belakangan ini Hamdan dan keluarga dapat menikmati sayuran maupun memakan ikan yang bebas dari bahan kimia. “Dengan situasi saat ini tidak semua orang bisa mengecap pendidikan. Tapi semua orang punya kemampuan yang bila diasah dapat memberi penghidupan yang baik juga,” pungkasnya. (jul)

Hamdan SPt MSi

Diskriminasi ternyata tidak dialami oleh manusia saja. Bangsa unggas pun mengalaminya. Contohnya, bebek yang dianggap lebih ‘rendah’ derajatnya dibanding ayam. Hal inilah yang menjadi perjuangan Hamdan SPt MSi.

Awalnya, dia sempat dianggap aneh. Hamdan memang giat menggelar eksperimen di seputar kediamannya. Perlahan tapi pasti usaha tersebut memberi pencerahan bagi orang-orang di sekitarnya. Seperti keputusannya untuk membuka peternakan bebek pejantan muda yang membuat siapapun mengerutkan dahi. Pasalnya, peternakan bebek selama ini didominasi dengan bebek petelur atau betina. Hanya sedikit yang menaruh perhatian pada peternakan bebek potong atau pejantan. “Potensi tumbuh bebek potong lebih besar dibanding bebek petelur. Hanya butuh waktu tiga bulan sudah bisa dipanen dengan berat maksimal 1,3 Kilogram, berat komersil untuk penjualan,” terang Hamdan yang ditemui di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU), Kamis (21/4) lalu.

Nah, dengan pertimbangan itu dosen Fakultas Pertanian USU ini mengembangkan peternakan bebek potong. Belakangan suami dari Satiawati SP juga menaruh perhatian pada peternakan bebek potong muda secara intensif atau dikandangkan. Hal yang tentunya asing untuk peternak lokal mengingat peternakan bebek selama ini dilakukan dengan menggembala. Namun, Hamdan kukuh dan menjawab dengan keberhasilan mengembangkan sistem peternakan organik.

Seperti yang dipaparkan Hamdan, pilihan untuk beternak bebek bukan tanpa dasar dan alasan. Salah satunya adalah diskriminasi yang dilakukan para pedagang dengan menerapkan penjualan dalam bentuk ekor untuk bebek. Tidak seperti unggas lainnya yang penjualannya dalam berat, misalnya ayam. Deskriminasi lainnya dapat dilihat dari tidak adanya makanan bebek yang khusus diproduksi oleh perusahan multinasional.

“Hal itu memberi ruang bagi kreasi dan design dalam menyiapkan pakan bebek.  Yang pasti tidak ada bahan baku yang perfect. Kita hanya perlu memperhatikan tiga hal yaitu bahannya tidak beracun, tidak bersaing dengan manusia, dan mudah didapat juga murah,” bebernya.

Untuk pakan bebeknya, Hamdan mengaku hanya menggunakan bahan-bahan limbah alam seperti ampas ubi yang memiliki kandungan energi tinggi, tepung ikan, dedak padi, bungkil, roti basi, limbah bihun, pecahan mie instan, atau limbang tepung sagu. Bahan-bahan yang banyak disediakan oleh alam dan memiliki semua kebutuhan dari ternak.
Bahan-bahan itu kemudian diekplorasi sesuai dengan kebutuhan di mana bebek membutuhkan 18 persen sampai 20 persen protein dan 2800-2900 kilo kalori energi. “Selama ini para peternak hanya disarankan untuk membeli dan membeli pakan. Begitu juga dengan pertanian kita yang membuat tergantung pada koorporasi-koorporasi besar. Dengan membuat pakan sendiri kita bisa lepas dari ketergantungan itu,” tegas pria yang gemar bercerita ini.

Namun semua itu memiliki pengaruh dalam biaya yang dibutuhkan. Untuk itu Hamdan mengingatkan akan pentingnya manajemen yang benar-benar baik. Terutama dalam penanganan pakan yang membutuhkan 60 persen dari biaya produksi. Salah satu langkah antisipasi yang dapat dilakukan adalah melaksanakan sistem estafet dengan jarak panen satu minggu.

Eksperimen-eksperimen sendiri sudah dilakukannya sejak bergabung di Pertanian Alternatif Nusantara Sumatera Utara. Di bawah arahan Irwansyah Hasibuan, ayah dari M Rizky Fatihah (11) dan Amir Ahmad Sayyidinah (7) ini kerap mengajak masyarakat untuk melihat hal-hal baru lewat percobaan yang dilakukannya di bidang pertanian maupun peternakan. Dengan usaha yang tak pernah berhenti dalam mengembangkan pupuk dan pakan ternak, beberapa bulan belakangan ini Hamdan dan keluarga dapat menikmati sayuran maupun memakan ikan yang bebas dari bahan kimia. “Dengan situasi saat ini tidak semua orang bisa mengecap pendidikan. Tapi semua orang punya kemampuan yang bila diasah dapat memberi penghidupan yang baik juga,” pungkasnya. (jul)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/