25.6 C
Medan
Wednesday, May 22, 2024

Sekali Suntik Rp100 Juta, Pilih Terapi Meski Kanker Stadium Lanjut

Curhat Pasien Kanker di Fuda Cancer Hospital, Guangzhou, China

Divonis kanker stadium lanjut bak terkena pukulan supertelak. Bikin shock, bingung, dan sedih. Nah, pasien seperti itu butuh pendekatan personal dan penjelasan mendetail. Seperti apa?

ANDA MARZUDINTA (dari Guangzhou).

Maria Bernadeth Susilowati, 70, tak pernah mengira bahwa batuk yang dialaminya selama tiga bulan terakhir merupakan gejala kanker. Maklum, batuk itu seperti batuk biasa. Tidak mengeluarkan dahak, apalagi darah. Batuk tersebut kadang-kadang hilang, tapi kemudian kambuh lagi. Selain batuk, ibu lima anak itu beberapa kali merasakan tenggoroknya gatal.

“Saya bukan perokok, hampir tidak pernah minum minuman beralkohol. Saya juga hampir tidak pernah kena asap dapur karena sibuk bekerja. Jadi, saya bingung dari mana sumber kanker paru ini,” ujar Maria kepada Jawa Pos (Group Sumut Pos)di Fuda Cancer Hospital, Guangzhou, China, Jumat lalu (24/2).

Suatu ketika Maria mengeluhkan batuknya itu kepada saudaranya yang jadi dokter. Dia pun disarankan untuk rontgen dada. Hasilnya, ada benjolan di paru-paru Maria. “Saya ingat betul, waktu itu 19 Juli 2010. Kata dokter, lokasi benjolan dekat dengan pembuluh darah besar di perbatasan jantung dan paru-paru. Kalau mau operasi, sulit,” jelas perempuan yang mengelola perusahaan garmen bersama keluarganya itu.

Setelah diketahui ada kanker di paru-paru Maria, dilakukan perundingan keluarga. Dua kakak, seorang adik, dan lima anaknya mengupayakan hal terbaik demi kesembuhan Maria. “Apalagi, papa saya baru sekitar dua tahun lalu meninggal karena brain cancer (kanker otak). Kami ingin yang terbaik untuk mama,” kata Toni, anak kedua Maria yang setia mendampingi sang mama di Guangzhou.

Maria kemudian berobat ke Singapura. Dia menjalani biopsi dan dinyatakan mengalami small cell carcinoma. Maria harus mengikuti tahap terapi kanker. Yakni, radioterapi sebanyak 15 kali. “Sinar (demikian Maria menyebut radioterapi, Red) dilakukan setiap Senin sampai Jumat,  Sabtu, dan Minggu libur,” cerita nenek delapan cucu itu.

Maria juga wajib kemoterapi setiap tiga minggu. “Efeknya, tumpah (muntah), diare sampai seminggu, dan rambut rontok. Tidak cuma rambut kepala, rambut alis dan rambut lain juga habis,” ungkap dia. Berat badan Maria pun turun drastis. Yang awalnya 79 kilogram menjadi 69 kilogram. Satu paket kemoterapi terdiri atas enam kali terapi. Setelah itu, baru dilakukan PET scan (positron emission tomography scan) dan general check-up. “Hasilnya bagus, tidak ada penyebaran. Saya ganti-ganti obat kemo sampai lima kali,” jelasnya.

Pada PET scan berikutnya, diketahui ada penyebaran. “Dokter menyarankan ganti obat kemo. Harganya nggak ketulungan, sekali suntik seratus juta rupiah,” ujar perempuan yang tinggal di Malang, Jatim, tersebut. Untuk sekali terapi di Singapura, Maria menyatakan habis sampai Rp 70 juta.
Dia kemudian berunding dengan keluarga. “Anak saya yang tinggal di Korea meminta kopi semua hasil pemeriksaan saya. Dia ingin mendiskusikan pilihan penanganan selain kemo yang mahal itu,” ujarnya.

Akhirnya, disepakati melanjutkan pengobatan Maria di Guangzhou. “Pada 17 November 2011 saya periksa darah dan PET scan ulang di Fuda Cancer Hospital ini. Hasilnya, kanker sudah menyebar ke liver, tulang belakang, dan entong-entong (punggung atas). Hasil CEA (penanda kanker) juga tinggi sekali, sampai 500-an,” paparnya.

Menurut perempuan yang berada di bawah pengawasan dr Silvia Mariann dan suster Xiaoli Ren itu, dokter memberikan penjelasan mengenai penyakitnya dengan sangat detail. “Saya jadi bisa menerima bahwa kanker itu tergolong penyakit kronis. Para dokter mengupayakan cara untuk mengendalikan kanker,” imbuh dia.

Dia juga mendapat penjelasan dari dr Changming Zheng, kepala lantai 3, yang mayoritas dihuni pasien dari Indonesia. “Saya perlu cryosurgery dua kali, kemudian kemoterapi nano,” tuturnya, menirukan penjelasan dokter.

Cryosurgery merupakan metode pembekuan tumor menjadi bola es dengan menggunakan gas argon. Targetnya suhu minus 160 derajat Celsius. Kemudian, suhu dinaikkan menjadi 40 derajat Celsius dengan memanfaatkan gas helium.

“Dengan cara tersebut, diharapkan sel-sel kanker mati. Tetapi, jaringan sehat di sekitar benjolan tidak terpengaruh,” jelas dr Lizhi Niu PhD, pakar cryosurgical ablation (CSA), setelah peresmian gedung baru Fuda Cancer Hospital, Jinan School of Medicine, yang dihadiri Menkes dr Endang Rahayu Sedyaningsih, Sabtu (25/2).

Prof dr Kecheng Xu, chief executive president Fuda Cancer Hospital, menambahkan, yang diupayakan tim dokternya adalah mengendalikan kanker. (c11/ca/jpnn)

Curhat Pasien Kanker di Fuda Cancer Hospital, Guangzhou, China

Divonis kanker stadium lanjut bak terkena pukulan supertelak. Bikin shock, bingung, dan sedih. Nah, pasien seperti itu butuh pendekatan personal dan penjelasan mendetail. Seperti apa?

ANDA MARZUDINTA (dari Guangzhou).

Maria Bernadeth Susilowati, 70, tak pernah mengira bahwa batuk yang dialaminya selama tiga bulan terakhir merupakan gejala kanker. Maklum, batuk itu seperti batuk biasa. Tidak mengeluarkan dahak, apalagi darah. Batuk tersebut kadang-kadang hilang, tapi kemudian kambuh lagi. Selain batuk, ibu lima anak itu beberapa kali merasakan tenggoroknya gatal.

“Saya bukan perokok, hampir tidak pernah minum minuman beralkohol. Saya juga hampir tidak pernah kena asap dapur karena sibuk bekerja. Jadi, saya bingung dari mana sumber kanker paru ini,” ujar Maria kepada Jawa Pos (Group Sumut Pos)di Fuda Cancer Hospital, Guangzhou, China, Jumat lalu (24/2).

Suatu ketika Maria mengeluhkan batuknya itu kepada saudaranya yang jadi dokter. Dia pun disarankan untuk rontgen dada. Hasilnya, ada benjolan di paru-paru Maria. “Saya ingat betul, waktu itu 19 Juli 2010. Kata dokter, lokasi benjolan dekat dengan pembuluh darah besar di perbatasan jantung dan paru-paru. Kalau mau operasi, sulit,” jelas perempuan yang mengelola perusahaan garmen bersama keluarganya itu.

Setelah diketahui ada kanker di paru-paru Maria, dilakukan perundingan keluarga. Dua kakak, seorang adik, dan lima anaknya mengupayakan hal terbaik demi kesembuhan Maria. “Apalagi, papa saya baru sekitar dua tahun lalu meninggal karena brain cancer (kanker otak). Kami ingin yang terbaik untuk mama,” kata Toni, anak kedua Maria yang setia mendampingi sang mama di Guangzhou.

Maria kemudian berobat ke Singapura. Dia menjalani biopsi dan dinyatakan mengalami small cell carcinoma. Maria harus mengikuti tahap terapi kanker. Yakni, radioterapi sebanyak 15 kali. “Sinar (demikian Maria menyebut radioterapi, Red) dilakukan setiap Senin sampai Jumat,  Sabtu, dan Minggu libur,” cerita nenek delapan cucu itu.

Maria juga wajib kemoterapi setiap tiga minggu. “Efeknya, tumpah (muntah), diare sampai seminggu, dan rambut rontok. Tidak cuma rambut kepala, rambut alis dan rambut lain juga habis,” ungkap dia. Berat badan Maria pun turun drastis. Yang awalnya 79 kilogram menjadi 69 kilogram. Satu paket kemoterapi terdiri atas enam kali terapi. Setelah itu, baru dilakukan PET scan (positron emission tomography scan) dan general check-up. “Hasilnya bagus, tidak ada penyebaran. Saya ganti-ganti obat kemo sampai lima kali,” jelasnya.

Pada PET scan berikutnya, diketahui ada penyebaran. “Dokter menyarankan ganti obat kemo. Harganya nggak ketulungan, sekali suntik seratus juta rupiah,” ujar perempuan yang tinggal di Malang, Jatim, tersebut. Untuk sekali terapi di Singapura, Maria menyatakan habis sampai Rp 70 juta.
Dia kemudian berunding dengan keluarga. “Anak saya yang tinggal di Korea meminta kopi semua hasil pemeriksaan saya. Dia ingin mendiskusikan pilihan penanganan selain kemo yang mahal itu,” ujarnya.

Akhirnya, disepakati melanjutkan pengobatan Maria di Guangzhou. “Pada 17 November 2011 saya periksa darah dan PET scan ulang di Fuda Cancer Hospital ini. Hasilnya, kanker sudah menyebar ke liver, tulang belakang, dan entong-entong (punggung atas). Hasil CEA (penanda kanker) juga tinggi sekali, sampai 500-an,” paparnya.

Menurut perempuan yang berada di bawah pengawasan dr Silvia Mariann dan suster Xiaoli Ren itu, dokter memberikan penjelasan mengenai penyakitnya dengan sangat detail. “Saya jadi bisa menerima bahwa kanker itu tergolong penyakit kronis. Para dokter mengupayakan cara untuk mengendalikan kanker,” imbuh dia.

Dia juga mendapat penjelasan dari dr Changming Zheng, kepala lantai 3, yang mayoritas dihuni pasien dari Indonesia. “Saya perlu cryosurgery dua kali, kemudian kemoterapi nano,” tuturnya, menirukan penjelasan dokter.

Cryosurgery merupakan metode pembekuan tumor menjadi bola es dengan menggunakan gas argon. Targetnya suhu minus 160 derajat Celsius. Kemudian, suhu dinaikkan menjadi 40 derajat Celsius dengan memanfaatkan gas helium.

“Dengan cara tersebut, diharapkan sel-sel kanker mati. Tetapi, jaringan sehat di sekitar benjolan tidak terpengaruh,” jelas dr Lizhi Niu PhD, pakar cryosurgical ablation (CSA), setelah peresmian gedung baru Fuda Cancer Hospital, Jinan School of Medicine, yang dihadiri Menkes dr Endang Rahayu Sedyaningsih, Sabtu (25/2).

Prof dr Kecheng Xu, chief executive president Fuda Cancer Hospital, menambahkan, yang diupayakan tim dokternya adalah mengendalikan kanker. (c11/ca/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/