SUMUTPOS.CO – Jumlah cuti liburan yang diambil orang-orang Amerika tahun lalu merupakan yang paling sedikit dalam empat dekade terakhir, membuat mereka kehilangan kompensasi miliaran dolar tanpa mendapat poin dari para atasan, menurut analisis kelompok industri yang baru saja dirilis.
Laporan dari Asosiasi Perjalanan AS mengatakan bahwa rata-ratan orang Amerika dengan cuti berbayar menggunakan 16 hari dari jatah 20,9 hari cuti pada 2013, turun dari rata-rata 20,3 hari dari 1976 sampai 2000.
Laporan itu menambahkan bahwa hilangnya 169 juta hari dari waktu cuti sama dengan kehilangan manfaat US$52,4 miliar.
“Dengan memilih bekerja daripada cuti berbayar, para pegawai pada dasarnya bekerja untuk para atasan mereka secara gratis,” menurut analisis tersebut.
Laporan itu tidak memberikan alasan turunnya jumlah cuti yang diambil namun musim gugur bertepatan dengan resesi 2007-2009 dan pemulihan ekonomi yang lambat. Survei Ipsos/Reuters pada 2010 menemukan bahwa hanya 57 persen dari rakyat Amerika yang menggunakan seluruh jatah cutinya.
Pegawai yang lebih makmur cenderung mendapat jatah cuti lebih banyak, dan lebih banyak lagi cuti yang tidak mereka ambil, menurut studi tersebut. Orang-orang dengan penghasilan tahunan lebih dari $150.000 gagal menggunakan rata-rata 6,5 hari cuti tahun lalu, sementara mereka yang berpenghasilan kurang dari $29.000 tidak mengambil rata-rata 3,7 hari cuti.
Para pegawai yang kehilangan cuti berbayar tidak mendapatkan lebih banyak kenaikan gaji atau bonus dibandingkan mereka yang mengambil cuti mereka. Mereka juga dilaporkan memiliki tingkat stress lebih tinggi di kantor, menurut survei tersebut.
“Martir pekerja Amerika tidak lebih berhasil. Kita perlu mengubah cara pikir kita. Bekerja terus tanpa santai tidak akan membawa kita pada kemajuan, hanya menambah stress,” ujar RogerDow, presiden dan CEO Asosiasi Perjalanan AS, dalam pernyataan tertulis.
Analisis itu dibuat oleh Oxford Economics, sebuah lembaga analisis. Lembaga tersebut menggunakan data Departemen Tenaga Kerja dan survei bulan Juni atas 1.303 pekerja oleh GfK Public Affairs and Corporate Communications yang terkait dengan Oxford Economics. (Reuters)