KAIRO-Revolusi rakyat berhasil menjatuhkan Presiden Hosni Mubarak pada 11 Februari lalu ternyata belum membawa perubahan signifikan di Mesir. Konflik horizontal yang berakibat bentrok berdarah kembali meletus di Kairo antara para demonstran yang me nuntut perubahan politik dan kubu yang loyal terhadap dewan militer.
Insiden itu terjadi hanya beberapa jam setelah penguasa militer berjanji untuk mewujudkan demokrasi di Mesir pada Sabtu (23/7) sore lalu. Demonstran pro reformasi bergerak dari Lapangan Tahrir menuju markas SCAF (Dewan Tinggi Militer, penguasa Mesir saat ini). Langkah mereka dihadang tentara yang memblokade jalan menuju markas SCAF dengan memasang kawat berduri.
Tiba-tiba, massa diserang para loyalis militer. Kubu pro militer melemparkan batu, kerikil, dan botol ke arah demonstran di Distrik Abassiyah, Kairo tak jauh dari markas SCAF. Bom molotov juga dilemparkan ke arah pengunjuk rasa akibatnya membakar seorang. Lusinan lainnya terluka.
Pasukan keamanan dan polisi anti huru-hara menembakkan gas air mata. Tujuannya untuk membubarkan dan memisah dua kubu pengunjuk rasa itu.
Kementerian Kesehatan Mesir melaporkan, 231 orang luka dalam bentrok dua kubu itu. Sebagian besar korban adalah massa pro demokrasi. Bahkan, 39 orang luka-luka dan dibawa ke rumah sakit. “Kami minta mereka membiarkan kami (loyalis militer) pergi, tetapi mereka menolak,” ujar aktivis pro reformasi, Wael Abbas.
Penguasa SCAF Jenderal Mohamed Hussein Tantawi berusaha mendinginkan keadaan. Dia memuji keberanian pemuda yang melengserkan Mubarak pada Februari lalu. Tantawi berjanji mewujudkan negara demokrasi di Mesir.
“Kami akan lapangkan jalan menuju terbentuknya pilar negara demokrasi yang mendukung kebebasan dan hak warga lewat pemilu parlemen yang bebas, jujur, dan adil. Kami juga akan siapkan konstitusi baru dan mengadakan pemilihan presiden secara langsung,”paparnya. (afp/ap/cak/dwi/jpnn)