KIEV, SUMUTPOS.CO – Lepasnya Republik Crimea dari Ukraina berdampak serius bagi Igor Tenyukh. Politikus 55 tahun yang menjabat menteri pertahanan itu menjadi bulan-bulanan media dan publik Ukraina yang tidak terima dengan hasil referendum 16 Maret lalu. Kemarin (25/3) Tenyukh pun mengundurkan diri.
Parlemen Ukraina menerima surat pengunduran diri pria berpangkat laksamana itu dalam sidang kemarin. Di hadapan para legislator, Tenyukh membantah semua tuduhan dan kritik yang dialamatkan kepadanya. Sebagian politisi Ukraina menyebut dia tidak becus dalam menangani keamanan di Crimea. Sampai-sampai pasukan Rusia dengan mudah bisa menginvasi wilayah otonomi Ukraina di semenanjung Laut Hitam tersebut.
Kendati tidak terima dengan tuduhan publik dan sebagian politisi Ukraina, Tenyukh tidak menolak saat harus mempertanggungjawabkan insiden Crimea. Karena itu, dia pun rela mengundurkan diri dari kabinet. “Awalnya, parlemen menolak pengunduran diri Tenyukh. Tapi, mereka lantas menerimanya melalui pemungutan suara,” lapor media Ukraina.
Sebagai pengganti Tenyukh, parlemen Ukraina menunjuk Kolonel Jenderal Mikhail Kovalyov sebagai menteri pertahanan yang baru. Sejak bulan lalu, sistem pertahanan dan keamanan Ukraina memang menjadi sorotan. Sebab, pemerintahan interim tidak kunjung menindak Rusia yang dengan sengaja mengirimkan sejumlah besar personel militer ke perbatasan dua negara.
Bahkan, Kremlin juga mengirimkan serdadu bersenjata Kalashnikov ke ibu kota Crimea. Berdalih mengamankan kepentingan Rusia di Crimea, Kremlin tidak peduli dengan kritik dan kecaman masyarakat internasional. Sejauh ini, mereka juga tidak pernah mengakui pasukan bersenjata yang memakai baju loreng ala militer Rusia itu sebagai tentara mereka.
Bersamaan dengan pengunduran diri Tenyukh kemarin, Ukraina menarik mundur seluruh pasukannya dari Crimea. Pemerintahan Perdana Menteri (PM) Arseniy Yatsenyuk memerintahkan seluruh serdadu Ukraina yang bertugas di Crimea untuk pulang. Saat masih menjabat, Tenyukh mengaku menerima permohonan dari sekitar 6.500 personel militer dan keluarga mereka yang menginginkan penarikan pasukan.
“Sebanyak 4.300 personel militer dan 2.200 keluarga mereka menyatakan kesanggupan untuk tetap mengabdi kepada militer Ukraina. Karena itu, pemerintah segera mengevakuasi mereka dari Crimea,” ujar Tenyukh. Para personel militer dan keluarganya tersebut khawatir perubahan status Crimea itu berdampak buruk bagi mereka. Sebab, kini Crimea menjadi bagian dari Rusia.
Sementara itu, untuk kali pertama sejak konflik politik pecah di Ukraina, perwakilan pemerintah Kiev dan Moskow bertemu. Dalam pertemuan tertutup Senin lalu (24/3) tersebut, Kiev diwakili oleh Menteri Luar Negeri Andriy Deshchytsia. Sedangkan Moskow mengirimkan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov. Dua utusan penting itu berbincang di sela pertemuan soal nuklir di Kota Den Haag, Belanda.
“Kami membahas visi kami tentang dialog nasional dua negara dan kami juga berusaha menampung seluruh aspirasi masyarakat Ukraina,” terang Lavrov dalam jumpa pers kemarin. Menanggapi rencana G-8 untuk mendepak Rusia dari grup tersebut, politikus 64 tahun itu menanggapinya dengan santai. Dia mempersilakan negara-negara Barat menjatuhkan sanksi apa pun terhadap Moskow terkait Crimea. (AP/AFP/BBC/hep/c11/dos)