30 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Di Korea Utara, Laki-laki Pengambil Keputusan, Perempuan Pencari Nafkah

Perempuan pekerja sebuah pabrik tekstil di Pyongyang, yang 80 persen pekerjanya perempuan. (AP/Wong Maye-E)
Perempuan pekerja sebuah pabrik tekstil di Pyongyang, yang 80 persen pekerjanya perempuan. (AP/Wong Maye-E)

Korea Utara adalah masyarakat militeristik yang didominasi laki-laki, tapi perempuanlah yang menghasilkan uang karena negara yang tertutup itu memungkinkan terbentuknya ekonomi berbasis pasar tidak resmi.
Perempuan menghasilkan lebih dari 70 persen pendapatan rumah tangga di Korea Utara, terutama sebagai pedagang di pasar-pasar informal yang bermunculan dalam tahun-tahun terakhir, menurut hasil riset lembaga pemerintah Korea Selatan, Institut Korea untuk Unifikasi Nasional (KINU).
Hal ini terjadi meskipun perempuan hanya sekitar separuh dari 12 juta warga Korea Utara yang aktif secara ekonomi, menurut para ahli. Sebagian besar pria terperangkap sebagai pegawai negeri dengan gaji kecil atau menjadi tentara.
“Kami warga Korea mengatakan laki-laki bertempur di garis depan sosialisme tapi perempuan berperang dalam pertempuran kehidupan,” ujar Jung, perempuan berusia 26 tahun yang lari ke Korea Selatan pada tahun 2012 dan rutin mengirim uang ke negara asalnya untuk membantu bisnis “abu-abu” ibunya dalam berternak babi dan menjual alkohol yang dibuat dari jagung.
“Tidak ada subsidi negara dan pekerjaan ayah saya tidak bergaji, namun ia harus melakukannya karena tugas,” ujar Jung, mahasiswi di Seoul yang meminta nama lengkapnya tidak disebutkan untuk melindungi keluarganya yang masih ada di Utara.
Ekonomi Utara yang tersentralisasi belum pulih dari tumbangnya Uni Soviet, pendukung ekonomi dan militer Pyongyang selama Perang Dingin. Hal itu diikuti oleh kelaparan parah tahun 1990an yang menewaskan sekitar 800.000 sampai 1,5 juta orang, ketika perempuan mulai menjual jamur dan potongan kabel tembaga untuk memberi makan keluarga mereka.
Ransum dari negara sudah lama tidak tersedia, sehingga warga semakin beralih ke ekonomi informal untuk menyokong keluarga mereka, dan perempuan memainkan peran aktif.
Namun tetap saja laki-laki mendominasi militer dan pemerintahan Korea Utara, yang memegang kekuasaan absolut di negara berpenduduk 24,5 juta tersebut. Perempuan-perempuan yang duduk di eselon-eselon atas elit Pyongyang saat ini hanyalah kerabat pemimpin Kim Jong-un — saudara perempuannya Kim Yo Jong dan bibinya Kim Kyong Hui, saudara perempuan mendiang pemimpin Kim Jong-il.
Ekonomi pasar “abu-abu” tidak begitu legal tapi ditolerir secara luas, dengan para pejabat korup termasuk para peserta utama.
Para pedagang yang membuka lapak di beberapa dari sekitar 400 pasar yang telah muncul di seluruh negeri membayar pajak kepada para pejabat partai, menurut para pengungsi dan ahli.

Perempuan pekerja sebuah pabrik tekstil di Pyongyang, yang 80 persen pekerjanya perempuan. (AP/Wong Maye-E)
Perempuan pekerja sebuah pabrik tekstil di Pyongyang, yang 80 persen pekerjanya perempuan. (AP/Wong Maye-E)

Korea Utara adalah masyarakat militeristik yang didominasi laki-laki, tapi perempuanlah yang menghasilkan uang karena negara yang tertutup itu memungkinkan terbentuknya ekonomi berbasis pasar tidak resmi.
Perempuan menghasilkan lebih dari 70 persen pendapatan rumah tangga di Korea Utara, terutama sebagai pedagang di pasar-pasar informal yang bermunculan dalam tahun-tahun terakhir, menurut hasil riset lembaga pemerintah Korea Selatan, Institut Korea untuk Unifikasi Nasional (KINU).
Hal ini terjadi meskipun perempuan hanya sekitar separuh dari 12 juta warga Korea Utara yang aktif secara ekonomi, menurut para ahli. Sebagian besar pria terperangkap sebagai pegawai negeri dengan gaji kecil atau menjadi tentara.
“Kami warga Korea mengatakan laki-laki bertempur di garis depan sosialisme tapi perempuan berperang dalam pertempuran kehidupan,” ujar Jung, perempuan berusia 26 tahun yang lari ke Korea Selatan pada tahun 2012 dan rutin mengirim uang ke negara asalnya untuk membantu bisnis “abu-abu” ibunya dalam berternak babi dan menjual alkohol yang dibuat dari jagung.
“Tidak ada subsidi negara dan pekerjaan ayah saya tidak bergaji, namun ia harus melakukannya karena tugas,” ujar Jung, mahasiswi di Seoul yang meminta nama lengkapnya tidak disebutkan untuk melindungi keluarganya yang masih ada di Utara.
Ekonomi Utara yang tersentralisasi belum pulih dari tumbangnya Uni Soviet, pendukung ekonomi dan militer Pyongyang selama Perang Dingin. Hal itu diikuti oleh kelaparan parah tahun 1990an yang menewaskan sekitar 800.000 sampai 1,5 juta orang, ketika perempuan mulai menjual jamur dan potongan kabel tembaga untuk memberi makan keluarga mereka.
Ransum dari negara sudah lama tidak tersedia, sehingga warga semakin beralih ke ekonomi informal untuk menyokong keluarga mereka, dan perempuan memainkan peran aktif.
Namun tetap saja laki-laki mendominasi militer dan pemerintahan Korea Utara, yang memegang kekuasaan absolut di negara berpenduduk 24,5 juta tersebut. Perempuan-perempuan yang duduk di eselon-eselon atas elit Pyongyang saat ini hanyalah kerabat pemimpin Kim Jong-un — saudara perempuannya Kim Yo Jong dan bibinya Kim Kyong Hui, saudara perempuan mendiang pemimpin Kim Jong-il.
Ekonomi pasar “abu-abu” tidak begitu legal tapi ditolerir secara luas, dengan para pejabat korup termasuk para peserta utama.
Para pedagang yang membuka lapak di beberapa dari sekitar 400 pasar yang telah muncul di seluruh negeri membayar pajak kepada para pejabat partai, menurut para pengungsi dan ahli.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/