
Pengundian lapak dan kios Pasar Marelan, Rabu (31/1).
“Saya ingat waktu sosialisasi awal Januari kemarin, Dirut PD Pasar mengatakan akan memikirkan pembangunan lapak dan kios dengan harga yang disepakati Rp10 juta. Rencananya, pembuatan lapak dan kios dilakukan setelah serahterima gedung pada 7 Februari mendatang,” terangnya.
Kenyataannya, pembangunan lapak dan kios malah dialihkan ke P3TM.
Selain itu, pedagang dipaksa membayar uang pendaftaran Rp100 ribu dan uang muka lapak Rp3 juta, sedangkan kios Rp5 juta. Pedagang juga dipaksa ikut organisasi P3TM.
“Jadi kami semua dijebak, seolah-olah keputusan membangun kios dan lapak yang dilakukan P3TM adalah kesepakatan pedagang. Padahal itu tidak ada. Bahkan harga lapak yang tadinya Rp10 juta, naik menjadi Rp13 juta hingga Rp 15 juta. Ini tidak adil. Makanya saya keberatan,” tegasnya.
Ia mengklaim, puluhan pedagang yang berjualan di Pasar Mini Marelan namun tidak mendapat tempat di gedung baru Pasar Marelan, akan melakukan aksi keberatan dan melaporkan masalah itu ke Wali Kota Medan.
“Sudah menyalahi ini semua. Kami selama ini tidak kenal yang namanya P3TM… kami dicurangi. Lihatlah, pedagang luar semua yang berjualan di gedung baru. Kami akan ributi ini sampai mereka masuk penjara,” cetusnya kesal.
Kekesalan serupa juga diungkapkan seorang wanita penjual sembako. Kata wanita berusia 57 tahun itu, sikap pengelola Pasar Marelan yang tidak memberikan tempat sesuai luas dagangannya, sangat mengesalkan.
“Saya sampai saat ini belum dapat kios. Saya minta kios di lantai bawah. Namun karena saya tidak punya uang untuk menambah yang mereka minta, saya jadi tidak dapat kios. Orang lain yang punya uang langsung dapat kios,” kesalnya.
Meski begitu, nenek berjilbab ini pasrah jika tidak mendapat kios. Ia memilih berjualan di lokasi lama di Pasar Mini Marelan. “Karena saya tak ada uang beli kios di bawah, saya bertahan jualan di tempat lama. Ini memang tak adil. Siapa ada uang, dia yang menang,” katanya sedih. (fac)

