SUMUTPOS.CO – Masyarakat Sumatera Utara kehilangan momen bersejarah. Pasalnya, 87 persen langit Sumatera Utara tertutup awan tebal. Alhasil, fenomena Super Blue Blood Moon atau gerhana bulan total yang terjadi tadi malam, tak dapat dinikmati masyarakat dengan mata telanjang.
Antusias masyarakat Sumatera Utara cukup tinggi untuk menyaksikan fenomena alam langka yang terakhir kali terjadi setengah abad lampau, tepatnya 31 Maret 1866 tersebut. Namun, realita tak sesuai dengan ekspektasi. Prediksi Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah I Medan pun tak meleset. Langit Sumatera Utara diselimuti awan tebal, sehingga gerhana bulan total tak bisa dinikmati secara kasat mata.
Kepala Bidang (Kabid) Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah I Medan, Syahnan mengatakan, dari pemantauan mereka, memang hampir di seluruh Sumut fenomena gerhana bulan tak teramati jelas karena tertutup awan. Tapi, ada juga kawasan yang kondisinya cerah dan bisa melihat langsung gerhana tersebut. “Sepeti di Labusel, tadi saya dapat informasi bisa dilihat. Cuaca di sana terang, cuma di Medan tak Nampak, kondisi cuaca tak mendukung,” katanya.
Syahnan mengatakan, tak cuma di Sumut, banyak wilayah di Indonesia juga tak bisa melihat gerana bulan karena cuaca mendung. “Yang bisa melihat jelas seperti di Kalimantan, Sulawesi, tapi banyak wilayah juga yang tak bias terlihat,” katanya sembari menyebut masyarakat bisa memantau langsung melalui website resmi BKMG, yakni bmkg.go.id.
Menurut Syahnan, dari pemantauan di kawasan Medan Tuntungan, sekira pukul 19.00 WIB memang tidak terlihat jelas. Akan tetapi, setelah beberapa waktu dapat terlihat jelas. “Dari awal memang tidak dapat diamati secara jelas dikarenakan pengaruh faktor cuaca yang berawan. Namun, sekitar pukul 9 malam (21.00) bulan terlihat jelas. Akan tetapi, sudah memasuki fase terakhir,” ujarnya.
Dia mengatakan, fenomena gerhana bulan dengan sebutan Super Blue Blood Moon ini akan bisa dilihat kembali pada 150 tahun mendatang. “Langka ya memang, tapi kita tak bisa melihatnya lagi, karena 150 tahun lagi baru terulang kejadian serupa. Ya anak cucu kitalah nanti yang bisa melihat,” ungkap Syahnan.