29 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Tegakkan Kebebasan Pers, Yael Sinaga dan Widiya Hastuti Raih Penghargaan Oktovianus Pogau

BERPOSE: Yael Sinaga dan Widiya Hastuti, dua wartawan muda dari Medan, meraih Penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau.

MEDAN,SUMUTPOS.CO-Dua wartawan muda asal Medan, yakni Yael Sinaga dan Widiya Hastuti, meraih Penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau. Keduanya dinilai memiliki keberanian berjuang untuk menegakkan kebebasan pers, kebebasan akademik, serta hak individu LGBT.

“Menang atau kalah soal biasa. Tapi perjuangan buat menegakkan kebebasan pers, kebebasan akademik serta hak individu LGBT adalah sumbangan yang penting buat masyarakat Medan,” kata Andreas Harsono, Ketua Dewan Juri penghargaan Pogau dari Yayasan Pantau, saat menyerahkan Oktovianus Pogau Award kepada Yael dan Widiya, lewat webinar, awal pekan ini,

 Yael dan Widiya melakukan gugatan hukum terhadap rektor USU, Runtung Sitepu, yang memberhentikan semua awak redaksi, dan membredel media mahasiswa Suara USU pada Maret 2019 lalu.  Mereka kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. Namun upaya hukum tersebut dinilai sebagai sebuah langkah monumental buat kebebasan pers mahasiswa di Indonesia. Mereka lantas mendirikan media baru.

  Mulanya, Yael menulis sebuah cerita fiksi soal perempuan lesbian jatuh cinta berjudul Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya, yang diterbitkan website Suara USU, tempat mereka bekerja, pada 12 Maret 2019. Suara USU mengangkat cerita tersebut dalam Instagram mereka pada 18 Maret.

 Tulisan tersebut menuai polemik. Rektor USU lantas memanggil awak redaksi Suara USU pada 25 Maret. Cerita tersebut dinilai mengandung ‘pornografi’ dan ‘homoseksualitas’, dua hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kampus. Rektor meminta cerita itu dihapus dari website Suara USU.

 Namun awak redaksi Suara USU menolak menghapus. Mereka menuduh pihak universitas lebih khawatir cerita itu akan memicu diskusi tentang diskriminasi dan intimidasi, yang meluas terhadap individu lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) di Indonesia.  Buntutnya, Rektor memecat total 18 orang awak redaksi Suara USU.

 Yael dan Widiya menyurati Rektor, namun tak ada jawaban. Pada 22 Juni 2019, Rektorat USU membongkar Sekretariat Suara USU dengan alasan renovasi. Yael dan Widiya melayangkan gugatan pembredelan Suara USU pada 14 Agustus 2019 dengan bantuan Perhimpunan Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara di PTUN Medan.

Pada 14 November 2019, PTUN Medan menolak gugatan mereka. Hakim mengatakan manajemen kampus memiliki tugas dan wewenang melaksanakan penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dapat melakukan tindakan berupa mengeluarkan kebijakan dalam terjadinya pro dan kontra terkait cerpen tersebut.

 Sinaga dan Hastuti menerima keputusan pengadilan. Mereka tak banding dengan pertimbangan mereka masih kuliah. Mereka berpendapat, perjuangan dilanjutkan dengan cara-cara baru.

“Kami hormat pada pergulatan serta kesulitan Sinaga dan Hastuti dalam melawan pembredelan media mereka. Mereka kehilangan Suara USU. Mereka merasa pahit kebebasan pers dan kemerdekaan akademik dibungkam di Medan namun ia takkan mati,” ujar Andreas Harsono.

 Yael Sinaga adalah mahasiswa USU jurusan antropologi. Ia bergabung dengan Suara USU pada 2017. Saat pembredelan Suara USU, Sinaga adalah pemimpin umumnya.

 Sementara Widiya Hastuti adalah mahasiswa USU jurusan ilmu sejarah. Hastuti bergabung dengan Suara USU pada 2016. Saat pembredelan Suara USU, Hastuti adalah pemimpin redaksinya.

 “Demokrasi lahir bersama jurnalisme. Ia juga akan mati bersama-sama. Salah satu hambatan demokrasi Indonesia adalah terlalu sering terjadi pembredelan. Jarang ada media, baik media umum maupun kampus, berumur panjang di Indonesia. Bandingkan dengan Harvard Crimson, sesama pers mahasiswa dari Universitas Harvard, terbit tanpa putus sejak 1873,” kata Andreas Harsono.

 Yayasan Pantau memandang gugatan hukum Sinaga dan Hastuti sejalan dengan visi Penghargaan Oktovianus Pogau, yang ingin terus merawat keberanian dalam jurnalisme seiring dengan tujuan Yayasan Pantau guna meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia. (rel)

BERPOSE: Yael Sinaga dan Widiya Hastuti, dua wartawan muda dari Medan, meraih Penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau.

MEDAN,SUMUTPOS.CO-Dua wartawan muda asal Medan, yakni Yael Sinaga dan Widiya Hastuti, meraih Penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau. Keduanya dinilai memiliki keberanian berjuang untuk menegakkan kebebasan pers, kebebasan akademik, serta hak individu LGBT.

“Menang atau kalah soal biasa. Tapi perjuangan buat menegakkan kebebasan pers, kebebasan akademik serta hak individu LGBT adalah sumbangan yang penting buat masyarakat Medan,” kata Andreas Harsono, Ketua Dewan Juri penghargaan Pogau dari Yayasan Pantau, saat menyerahkan Oktovianus Pogau Award kepada Yael dan Widiya, lewat webinar, awal pekan ini,

 Yael dan Widiya melakukan gugatan hukum terhadap rektor USU, Runtung Sitepu, yang memberhentikan semua awak redaksi, dan membredel media mahasiswa Suara USU pada Maret 2019 lalu.  Mereka kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. Namun upaya hukum tersebut dinilai sebagai sebuah langkah monumental buat kebebasan pers mahasiswa di Indonesia. Mereka lantas mendirikan media baru.

  Mulanya, Yael menulis sebuah cerita fiksi soal perempuan lesbian jatuh cinta berjudul Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya, yang diterbitkan website Suara USU, tempat mereka bekerja, pada 12 Maret 2019. Suara USU mengangkat cerita tersebut dalam Instagram mereka pada 18 Maret.

 Tulisan tersebut menuai polemik. Rektor USU lantas memanggil awak redaksi Suara USU pada 25 Maret. Cerita tersebut dinilai mengandung ‘pornografi’ dan ‘homoseksualitas’, dua hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kampus. Rektor meminta cerita itu dihapus dari website Suara USU.

 Namun awak redaksi Suara USU menolak menghapus. Mereka menuduh pihak universitas lebih khawatir cerita itu akan memicu diskusi tentang diskriminasi dan intimidasi, yang meluas terhadap individu lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT) di Indonesia.  Buntutnya, Rektor memecat total 18 orang awak redaksi Suara USU.

 Yael dan Widiya menyurati Rektor, namun tak ada jawaban. Pada 22 Juni 2019, Rektorat USU membongkar Sekretariat Suara USU dengan alasan renovasi. Yael dan Widiya melayangkan gugatan pembredelan Suara USU pada 14 Agustus 2019 dengan bantuan Perhimpunan Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara di PTUN Medan.

Pada 14 November 2019, PTUN Medan menolak gugatan mereka. Hakim mengatakan manajemen kampus memiliki tugas dan wewenang melaksanakan penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dapat melakukan tindakan berupa mengeluarkan kebijakan dalam terjadinya pro dan kontra terkait cerpen tersebut.

 Sinaga dan Hastuti menerima keputusan pengadilan. Mereka tak banding dengan pertimbangan mereka masih kuliah. Mereka berpendapat, perjuangan dilanjutkan dengan cara-cara baru.

“Kami hormat pada pergulatan serta kesulitan Sinaga dan Hastuti dalam melawan pembredelan media mereka. Mereka kehilangan Suara USU. Mereka merasa pahit kebebasan pers dan kemerdekaan akademik dibungkam di Medan namun ia takkan mati,” ujar Andreas Harsono.

 Yael Sinaga adalah mahasiswa USU jurusan antropologi. Ia bergabung dengan Suara USU pada 2017. Saat pembredelan Suara USU, Sinaga adalah pemimpin umumnya.

 Sementara Widiya Hastuti adalah mahasiswa USU jurusan ilmu sejarah. Hastuti bergabung dengan Suara USU pada 2016. Saat pembredelan Suara USU, Hastuti adalah pemimpin redaksinya.

 “Demokrasi lahir bersama jurnalisme. Ia juga akan mati bersama-sama. Salah satu hambatan demokrasi Indonesia adalah terlalu sering terjadi pembredelan. Jarang ada media, baik media umum maupun kampus, berumur panjang di Indonesia. Bandingkan dengan Harvard Crimson, sesama pers mahasiswa dari Universitas Harvard, terbit tanpa putus sejak 1873,” kata Andreas Harsono.

 Yayasan Pantau memandang gugatan hukum Sinaga dan Hastuti sejalan dengan visi Penghargaan Oktovianus Pogau, yang ingin terus merawat keberanian dalam jurnalisme seiring dengan tujuan Yayasan Pantau guna meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia. (rel)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/