MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kengototan warga penggarap meminta 70 persen dari ganti rugi lahan pembangunan ruas tol Medan Binjai, membuat pemerintah jengah. Karenanya, jika tetap tidak ada kata sepakat antara warga dengan pemilik sertifikat tanah, maka proses pembebasan lahan bagi 378 kepala keluarga (KK) akan berakhir di pada keputusan pengadilan.
Hal itu disampaikan Ketua Tim Percepatan Pembangunan Proyek Strategis Nasional di Sumatera Utara (Sumut), Binsar Situmorang kepada Sumut Pos. Menurutnya, sebelumnya sudah ada upaya sosialisasi dan negosiasi soal pembagian ganti rugi kepada warga yang berada di lahan tersebut. Begitu juga dengan pemilik sertifikat lahan yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Terkait adanya keberatan dan protes dari penggarap yang berada di atas lahan tersebut, Binsar menyampaikan, memang ada permintaan pembagian porsi ganti rugi tersebut menjadi 60-40, yakni pemilik sertifikat tanah mendapat bagian lebih kecil. Sedangkan untuk penambahan jumlah, tidak mungkin dilakukan mengingat keterbatasan dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
“Memang masalahnya mereka (penggarap) minta pembagian itu tidak seperti yang disampaikan. Untuk itu kita terus sosialisasikan kepada masyarakat tentang pembagian itu, jadi masih pakai negosiasi dengan pendekatan persuasif,” ujar Binsar, akhir pekan kemarin.
Namun diakuinya, proyek nasional tersebut memiliki target dan batas waktu untuk menuntaskan pekerjaan membangun jalan Tol Medan-Binjai sesuai yang direncanakan. Sehingga jika dengan pendekatan persuasif dilakukan, tidak juga menemui jalan keluar, maka jalan yang diambil adalah melalui pengadilan.
“Untuk pembebasan lahan ini, kita sudah sosialisasi ke tingkat pemerintah kota, kecamatan hingga kepada lurahnya. Jadi yang jelas, dari tim kita sudah sampaikan ke warga,” katanya.
Karena itu lanjutnya, proses eksekusi nantinya akan diambil jika memang tidak ada kata sepakat terkait porsi yang disebutkan sebesar 40 persen untuk penggarap dan 60 persen untuk pemilik sertifikat tanah.
“Ya kalau memang tidak ada juga kesepakatan, dikembalikan ke ranah hukum. Biar lembaga hukum yang memutuskan bagaimana nanti. Karena upaya sosialisasi dan pendekatan persuasif sudah dilakukan. Karena itu urusannya sudah lembaga hukum, bukan kita eksekutornya,” tegasnya.