28 C
Medan
Tuesday, December 3, 2024
spot_img

Hardiknas Diwarnai Aksi Unjukrasa

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
UNJUK RASA_Kelompok mahasiswa dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Medan itu berunjukrasa di Kantor DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol Medan, Rabu (2/5)

SUMUTPOS.CO –  Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2018 di Kota Medan diwarnai aksi unjuk rasa elemen mahasiwa. Kelompok mahasiswa dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Medan itu berunjukrasa di Kantor Gubernur Sumut, Jalan P Diponegoro Medan, Rabu (2/5) siang.

GMNI menyuarakan pokok masalah di dunia pendidikan Indonesia saat ini yaitu persoalan liberalisasi pendidikan, baik di institusi pendidikan negeri ataupun swasta. “Kebijakan ini tentunya mengakibatkan masalah pendidikan yang kompleks. Sebagai bukti nyata adanya liberalisasi pendidikan adalah mahalnya uang kuliah, terjadinya praktik penjualan kursi baik di sekolah maupun di perguruan tinggi, pembayaran uang SKS, penjualan ijazah dan lain-lain,” kata Koordinator Aksi, Senopen Evander Sihaloho kepada wartawan.

Permasalahan utamanya, kata dia, dunia pendidikan saat ini telah diliberalisasi. Artinya, pemerintah melakukan lepas tangan terhadap dunia pendidikan dengan dalil 20% APBN untuk pendidikan yang dirasa cukup. Namun pada kenyataannya, masih banyak masyarakat di Sumut ini khususnya yang tidak bisa mengenyam pendidikan.

Selain persoalan liberasisasi pendidikan, GMNI juga menyoroti soal student loan juga sertifikasi tenaga pengajar. Untuk permasalahan student loan, kata Evan, pemerintah akan memberlakukan sistem tersebut pada tahun ajaran baru tahun ini. “Student loan atau kredit mahasiswa, merupakan program pemberian pinjaman pendidikan bagi mahasiswa dengan bunga 2%. Hal ini tentu tidak relevan apabila diterapkan mengingat sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan bagi para mahasiswa setelah mereka lulus dari universitas,” ungkapnya.

Akibatnya, sambung dia, terjadi pembengkakan bunga pinjaman yang akan dibayarkan setiap penerima kredit dan itu harus dilunasi sebagai garansi mendapatkan pekerjaan setelah tamat. “Dengan demikian, penerima kredit dengan terpaksa akan menjadi buruh atau menjadikan harta benda yang mereka miliki sebagai jaminan hutang yang dapat berakhir pada penjualan aset pribadi, seperti tanah dan rumah,” paparnya seraya menegaskan bahwa hal tersebut dinilai dapat membuka pintu kapitalisme yang lebih masif lagi di Indonesia.

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
UNJUK RASA_Kelompok mahasiswa dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Medan itu berunjukrasa di Kantor DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol Medan, Rabu (2/5)

SUMUTPOS.CO –  Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2018 di Kota Medan diwarnai aksi unjuk rasa elemen mahasiwa. Kelompok mahasiswa dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Medan itu berunjukrasa di Kantor Gubernur Sumut, Jalan P Diponegoro Medan, Rabu (2/5) siang.

GMNI menyuarakan pokok masalah di dunia pendidikan Indonesia saat ini yaitu persoalan liberalisasi pendidikan, baik di institusi pendidikan negeri ataupun swasta. “Kebijakan ini tentunya mengakibatkan masalah pendidikan yang kompleks. Sebagai bukti nyata adanya liberalisasi pendidikan adalah mahalnya uang kuliah, terjadinya praktik penjualan kursi baik di sekolah maupun di perguruan tinggi, pembayaran uang SKS, penjualan ijazah dan lain-lain,” kata Koordinator Aksi, Senopen Evander Sihaloho kepada wartawan.

Permasalahan utamanya, kata dia, dunia pendidikan saat ini telah diliberalisasi. Artinya, pemerintah melakukan lepas tangan terhadap dunia pendidikan dengan dalil 20% APBN untuk pendidikan yang dirasa cukup. Namun pada kenyataannya, masih banyak masyarakat di Sumut ini khususnya yang tidak bisa mengenyam pendidikan.

Selain persoalan liberasisasi pendidikan, GMNI juga menyoroti soal student loan juga sertifikasi tenaga pengajar. Untuk permasalahan student loan, kata Evan, pemerintah akan memberlakukan sistem tersebut pada tahun ajaran baru tahun ini. “Student loan atau kredit mahasiswa, merupakan program pemberian pinjaman pendidikan bagi mahasiswa dengan bunga 2%. Hal ini tentu tidak relevan apabila diterapkan mengingat sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan bagi para mahasiswa setelah mereka lulus dari universitas,” ungkapnya.

Akibatnya, sambung dia, terjadi pembengkakan bunga pinjaman yang akan dibayarkan setiap penerima kredit dan itu harus dilunasi sebagai garansi mendapatkan pekerjaan setelah tamat. “Dengan demikian, penerima kredit dengan terpaksa akan menjadi buruh atau menjadikan harta benda yang mereka miliki sebagai jaminan hutang yang dapat berakhir pada penjualan aset pribadi, seperti tanah dan rumah,” paparnya seraya menegaskan bahwa hal tersebut dinilai dapat membuka pintu kapitalisme yang lebih masif lagi di Indonesia.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/