26 C
Medan
Sunday, October 6, 2024

MUI: Sebagian Besar Ulama Larang Minum Kencing Unta

Foto: Gagah Wijoseno/detikcom
Air kencing unta (di dalam botol) dan susu unta (di baskom)Air kencing unta (di dalam botol) dan susu unta (di baskom).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Video sekelompok orang meminum air kencing unta sedang ramai dibicarakan. Begini pendapat komisi fatwa MUI mengenai hukum meminum kencing unta tersebut.

Wasekjen Bidang Fatwa MUI KH Sholahudin Al Ayub mengatakan ada perbedaan pendapat dari para ulama soal meminum air kencing unta. Namun sebagian besar ulama mengatakan hal itu tak diperbolehkan.

“Para ulama berbeda pendapat terkait masalah ini. Ada yang mengatakan dalam hal tertentu dibolehkan. Ada pula yang mengatakan bahwa itu tak dibolehkan,” kata Kiai Ayub saat dihubungi, Jumat (5/1/2018). “Jadi jumhur sebagian besar ulama mengatakan bahwa itu tidak boleh,” sambungnya.

Larangan tersebut muncul karena air kencing merupakan kotoran yang berasal dari dalam tubuh sehingga dianggap sebagai najis. Sementara bagi yang memperbolehkan menganggap ada manfaat dari air kencing unta.

Unta-Ilustrasi

“Ada sebagian yang menyatakan hal itu bermanfaat. Lalu kemudian yang lain menyatakan itu tidak boleh, itu mengatakan dari hadis apa yang keluar dari dua jalan, jalan depan dan belakang dan hewan ternak itu adalah bagian yang najis. Karena sesuatu yang najis tak boleh dikonsumsi,” ungkapnya.

Kiai Ayub mengatakan perbedaan pendapat ini disebabkan tidak ada hadis yang kuat dan meyakinkan soal hukum meminum air kencing unta. Namun, berbeda dengan meminum susu unta dimana tak ada perbedaan pendapat dari para ulama.

“Kalau susu, para ulama sudah sepakat tidak masalah. Kalau susu kan selain bermanfaat (juga) tidak ada keraguan bahwa itu tidak najis,” ucap dia.

Atas perbedaan pendapat ini, Kiai Ayub menyerahkan kembali kepada tafsiran atau pendapat (ijtihad) masing-masing.

“Ya ini tergantung bagaimana orang berijtihad saja. Kalau di Indonesia yang sebagian menggunakan mahzab syafi’iyah itu tidak boleh. Kalau di Arab Saudi menggunakan mahzab Ahmad bin Hambal itu boleh saja. Jadi tergantung keyakinannya,” tuturnya. (jbr/fjp/dtc)

Foto: Gagah Wijoseno/detikcom
Air kencing unta (di dalam botol) dan susu unta (di baskom)Air kencing unta (di dalam botol) dan susu unta (di baskom).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Video sekelompok orang meminum air kencing unta sedang ramai dibicarakan. Begini pendapat komisi fatwa MUI mengenai hukum meminum kencing unta tersebut.

Wasekjen Bidang Fatwa MUI KH Sholahudin Al Ayub mengatakan ada perbedaan pendapat dari para ulama soal meminum air kencing unta. Namun sebagian besar ulama mengatakan hal itu tak diperbolehkan.

“Para ulama berbeda pendapat terkait masalah ini. Ada yang mengatakan dalam hal tertentu dibolehkan. Ada pula yang mengatakan bahwa itu tak dibolehkan,” kata Kiai Ayub saat dihubungi, Jumat (5/1/2018). “Jadi jumhur sebagian besar ulama mengatakan bahwa itu tidak boleh,” sambungnya.

Larangan tersebut muncul karena air kencing merupakan kotoran yang berasal dari dalam tubuh sehingga dianggap sebagai najis. Sementara bagi yang memperbolehkan menganggap ada manfaat dari air kencing unta.

Unta-Ilustrasi

“Ada sebagian yang menyatakan hal itu bermanfaat. Lalu kemudian yang lain menyatakan itu tidak boleh, itu mengatakan dari hadis apa yang keluar dari dua jalan, jalan depan dan belakang dan hewan ternak itu adalah bagian yang najis. Karena sesuatu yang najis tak boleh dikonsumsi,” ungkapnya.

Kiai Ayub mengatakan perbedaan pendapat ini disebabkan tidak ada hadis yang kuat dan meyakinkan soal hukum meminum air kencing unta. Namun, berbeda dengan meminum susu unta dimana tak ada perbedaan pendapat dari para ulama.

“Kalau susu, para ulama sudah sepakat tidak masalah. Kalau susu kan selain bermanfaat (juga) tidak ada keraguan bahwa itu tidak najis,” ucap dia.

Atas perbedaan pendapat ini, Kiai Ayub menyerahkan kembali kepada tafsiran atau pendapat (ijtihad) masing-masing.

“Ya ini tergantung bagaimana orang berijtihad saja. Kalau di Indonesia yang sebagian menggunakan mahzab syafi’iyah itu tidak boleh. Kalau di Arab Saudi menggunakan mahzab Ahmad bin Hambal itu boleh saja. Jadi tergantung keyakinannya,” tuturnya. (jbr/fjp/dtc)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/