31.7 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Perang dari Tahun 1960

Foto: Fachril/Posmetro Medan/JPNN Lokasi 'perang' warga antar lorong di Belawan. Satu warga tewas dalam 'perang' tersebut.
Foto: Fachril/Posmetro Medan/JPNN
Lokasi ‘perang’ warga antar lorong di Belawan. Satu warga tewas dalam ‘perang’ tersebut.

BELAWAN, SUMUTPOS.CO – Perang antar lorong di Belawan bukanlah peristiwa baru bagi kalangan masyarakat yang bermukim di wilayah pantai utara Kota Medan. Pasalnya, perang ini sudah ada sejak tahun 60-an. Dan, hal itu sudah seperti tradisi bagi mereka. Namun, apa latar belakang dan permasalahan yang menjadikan perang makin marak belum diketahui secara jelas.

“Dari tahun 60-an saya sudah tinggal di sini, perang sudah ada jadi ini sudah seperti tradisi, sejak itu saya saja heran apa motif perang ini,” kata Buyung, salah seorang warga. Bahkan, kata pria berusia lebih dari setengah abad itu, untuk mendamaikan kedua belah pihak, selama ini berbagai upaya perdamaian sudah sering dilakukan.

“Potong kambing, lembu dan kerbau sudah dilakukan di sini untuk mendamaikan mereka. Kurasa tinggal potong unta saja yang belum, tapi mereka tetap saja perang,” herannya. Mengingat perang yang terjadi merupakan bentuk perang-perang terdahulu, warga jadi menganggap bentrok itu sebagai sesuatu yang biasa saja.

“Jadi perang tadi malam tidak membuat warga di sini heran lagi, walaupun sudah ada korban jiwa,” bebernya. Sementara itu, Forum Komunikasi Masyarakat Belawan (Formabem) menilai, kepadatan penduduk serta banyaknya pengangguran diduga menjadi pemicu terjadinya pertikaian antarwarga di Belawan.

“Jadi bentrokan antar warga ini sudah seperti tradisi, selain kepadatan penduduk, jumlah pengangguran yang sulit teratasi juga menjadi pemicu keributan,” kata, Asril Melayu Koordinator Penghubung Formabem. Selain dua hal yang menjadi penyebab, Asril menduga maraknya peredaran yang terjadi disekitar pinggiran pantai juga menjadi akibat dari hilangnya moralitas warga untuk menghargai satu sama lain.

“Diduga peredaran norkoba maupun minuman keras juga jadi penyebab utama, bahkan warga yang terlibat bentrokan umumnya berani dan tidak merasa takut setelah mengkonsumsinya. Dan ini mesti diselidiki oleh aparat penegak hukum, karena bukan tidak mungkin jalur pinggiran pantai dimanfaatkan oknum tertentu untuk memasok barang terlarang,” tuturnya. (bbs/deo)

Foto: Fachril/Posmetro Medan/JPNN Lokasi 'perang' warga antar lorong di Belawan. Satu warga tewas dalam 'perang' tersebut.
Foto: Fachril/Posmetro Medan/JPNN
Lokasi ‘perang’ warga antar lorong di Belawan. Satu warga tewas dalam ‘perang’ tersebut.

BELAWAN, SUMUTPOS.CO – Perang antar lorong di Belawan bukanlah peristiwa baru bagi kalangan masyarakat yang bermukim di wilayah pantai utara Kota Medan. Pasalnya, perang ini sudah ada sejak tahun 60-an. Dan, hal itu sudah seperti tradisi bagi mereka. Namun, apa latar belakang dan permasalahan yang menjadikan perang makin marak belum diketahui secara jelas.

“Dari tahun 60-an saya sudah tinggal di sini, perang sudah ada jadi ini sudah seperti tradisi, sejak itu saya saja heran apa motif perang ini,” kata Buyung, salah seorang warga. Bahkan, kata pria berusia lebih dari setengah abad itu, untuk mendamaikan kedua belah pihak, selama ini berbagai upaya perdamaian sudah sering dilakukan.

“Potong kambing, lembu dan kerbau sudah dilakukan di sini untuk mendamaikan mereka. Kurasa tinggal potong unta saja yang belum, tapi mereka tetap saja perang,” herannya. Mengingat perang yang terjadi merupakan bentuk perang-perang terdahulu, warga jadi menganggap bentrok itu sebagai sesuatu yang biasa saja.

“Jadi perang tadi malam tidak membuat warga di sini heran lagi, walaupun sudah ada korban jiwa,” bebernya. Sementara itu, Forum Komunikasi Masyarakat Belawan (Formabem) menilai, kepadatan penduduk serta banyaknya pengangguran diduga menjadi pemicu terjadinya pertikaian antarwarga di Belawan.

“Jadi bentrokan antar warga ini sudah seperti tradisi, selain kepadatan penduduk, jumlah pengangguran yang sulit teratasi juga menjadi pemicu keributan,” kata, Asril Melayu Koordinator Penghubung Formabem. Selain dua hal yang menjadi penyebab, Asril menduga maraknya peredaran yang terjadi disekitar pinggiran pantai juga menjadi akibat dari hilangnya moralitas warga untuk menghargai satu sama lain.

“Diduga peredaran norkoba maupun minuman keras juga jadi penyebab utama, bahkan warga yang terlibat bentrokan umumnya berani dan tidak merasa takut setelah mengkonsumsinya. Dan ini mesti diselidiki oleh aparat penegak hukum, karena bukan tidak mungkin jalur pinggiran pantai dimanfaatkan oknum tertentu untuk memasok barang terlarang,” tuturnya. (bbs/deo)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/