35.6 C
Medan
Saturday, May 25, 2024

PLTA Batangtoru Berada di Zona Merah Patahan

Prayugo Utomo/JawaPos.com
Ahli Geofisika asal Institut Teknologi Bandung (ITB), Teuku Abdullah Sanny dihadirkan sebagai saksi ahli saat memberikan keterangan pada persidangan gugatan Walhi Sumut terhadap PT NSHE atas izin lingkungan pembangunan PLTA Batangtoru.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sidang gugatan izin lingkungan Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru kembali dilanjutkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kota Medan, Senin (7/1). Ahli Geofisika asal Institut Teknologi Bandung (ITB), Teuku Abdullah Sanny dihadirkan sebagai saksi ahli.

Dalam persidangan, terkuak fakta PLTA Batangtoru berada di zona merah patahan yang cukup berbahaya. Jika terjadi gempa, banyak potensi bahaya yang mengancam proyek yang dikerjakan oleh PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) tersebut.

Usai persidangan, Teuku Abdullah Sanny memaparkan hal menarik soal fakta patahan di kawasan Batangtoru. Dia menjelaskan, bendungan yang menjadi sumber energi tersebut memang tidak berada tepat di patahan. Namun, vibrasi atau getaran dari gempa di patahan bisa memberikan pengaruh yang signifikan.

“Di dekat situ ada patahan, di peta lima kilometer dari situ. Bagaimana pengaruh patahan atau vibrasi terhadap bendungan, itu yang perlu diperhatikan. Perlu dilakukan penelitian detil,” ungkapnya, Senin (7/1).

Penelitian detil dari aspek geofisika memang sangat dibutuhkan, karena zona merah dikatakan sebagai zona yang berbahaya. Belum ada penelitian yang menunjukkan jika lokasi pembangunan bendungan berada di segmen yang paling berbahaya.

Bahkan, Teuku Abdullah Sanny sendiri tidak berani menjamin jika proyek itu diteruskan tanpa penelitian dari aspek geofisika. “Saya tidak tahu Seperti apa. Karena bisa berbahaya di zona merah. Artinya sekarang tektonik begitu aktif. Gempa di mana mana. Jika sudah jadi bendungan bisa menimbulkan problem besar bagi lingkungan, sosial, masyarakat dan segala macam,” ungkapnya.

PT NSHE juga diduga menggunakan bahan peledak dalam jumlah besar untuk membuat terowongan. Kata Abdullah, penggunaan bahan peledak juga memberikan pengaruh dan berpotensi membuat fracture (patahan) baru.

“Jelas berpengaruh. Tapi bagaimana pengaruhnya mungkin mereka sudah menghitung atau bagaimana saya belum tahu,” ungkapnya.

Penggunaan bahan peledak, kata dia, bisa menjadi pemicu ampifikasi batuan yang ada di sana. Sehingga, dia kembali menekankan untuk dilakukan penelitian detil.

“Penelitian harus meyakinkan itu diteruskan atau tidak atau dipindahkan. saya juga belum bisa mengatakan sekarang. Tapi yang jelas Sudah wanti-wanti. Para ahli di seluruhdunia sama kesepakatannya, itu berada di zona merah,” jelasnya.

Dari skala 1-10, PLTA Batangtoru berada di angka enam dari sisi bahaya karena dibangun di dalam zona merah.

Koordinator Kuasa Hukum WALHI sebagai penggugat, Golfrid Siregar dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Jimmy Claus Pardede terus mempertanyakan kenapa aspek geofisika terkesan dikesampingkan. Menilik dari dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PLTA.

“Makanya kita pertanyakan, ini masalah bendungan. Ini masalah Dam. Bahwa mereka mengetahui lokasi itu rawan gempa. Tapi kenapa mengenyampingkan geologinya,” tukasnya.

Dalam persidangan tadi, pihak NSHE juga mendatangkan Ketua Tim Penyusunan Amdal Jonis Ginting. Namun sayangnya, Jonis enggan dimintai keterangan.

“Kalau untuk wawancara saya tidak ada waktu,” ujarnya sambil berlalu dengan beberapa orang dari NSHE.

Rizal Kapita, salah seorang pejabat NSHE tidak menjawab saat dihubungi via seluler. Pesan singkat yang dilayangkan juga tidak ditanggapi.

Pembangunan PLTA berkapasitas 510 Megawatt itu terus menuai polemik. Selain berpotensi menimbulkan bahaya baru, pembangunan PLTA menjadi ancaman bagi spesies Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) yang baru diumumkan pada November 2017 lalu. Jumlahnya yang berada di angka di bawah seribu ekor menempatkannya dalam status terancam punah.

Selain orangutan Tapanuli, banyak satwa dilindungi lainnya di dalam hutan (Harangan) Batangtoru. Seperti Harimau Sumatera, Beruang Madu, oa, dan jenis unggas yang dilindungi.

Pembangunan PLTA akan membuat fragmentasi antara blok barat dan blok Timur serta suaka margasatwa sebagai habitat Orangutan Tapanuli. Walhi bersama organisasi yang aktif di bidang lingkungan dan satwa dilindungi terus melakukan kampanye penolakan terhadap PLTA.

Sidang gugatan rencananya akan dilanjutkan pekan depan. Walhi akan menghadirkan saksi ahli dari Perancis. Sedangkan tergugat juga akan mendatangkan saksi ahli. (yugo/budi)

Prayugo Utomo/JawaPos.com
Ahli Geofisika asal Institut Teknologi Bandung (ITB), Teuku Abdullah Sanny dihadirkan sebagai saksi ahli saat memberikan keterangan pada persidangan gugatan Walhi Sumut terhadap PT NSHE atas izin lingkungan pembangunan PLTA Batangtoru.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sidang gugatan izin lingkungan Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru kembali dilanjutkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kota Medan, Senin (7/1). Ahli Geofisika asal Institut Teknologi Bandung (ITB), Teuku Abdullah Sanny dihadirkan sebagai saksi ahli.

Dalam persidangan, terkuak fakta PLTA Batangtoru berada di zona merah patahan yang cukup berbahaya. Jika terjadi gempa, banyak potensi bahaya yang mengancam proyek yang dikerjakan oleh PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) tersebut.

Usai persidangan, Teuku Abdullah Sanny memaparkan hal menarik soal fakta patahan di kawasan Batangtoru. Dia menjelaskan, bendungan yang menjadi sumber energi tersebut memang tidak berada tepat di patahan. Namun, vibrasi atau getaran dari gempa di patahan bisa memberikan pengaruh yang signifikan.

“Di dekat situ ada patahan, di peta lima kilometer dari situ. Bagaimana pengaruh patahan atau vibrasi terhadap bendungan, itu yang perlu diperhatikan. Perlu dilakukan penelitian detil,” ungkapnya, Senin (7/1).

Penelitian detil dari aspek geofisika memang sangat dibutuhkan, karena zona merah dikatakan sebagai zona yang berbahaya. Belum ada penelitian yang menunjukkan jika lokasi pembangunan bendungan berada di segmen yang paling berbahaya.

Bahkan, Teuku Abdullah Sanny sendiri tidak berani menjamin jika proyek itu diteruskan tanpa penelitian dari aspek geofisika. “Saya tidak tahu Seperti apa. Karena bisa berbahaya di zona merah. Artinya sekarang tektonik begitu aktif. Gempa di mana mana. Jika sudah jadi bendungan bisa menimbulkan problem besar bagi lingkungan, sosial, masyarakat dan segala macam,” ungkapnya.

PT NSHE juga diduga menggunakan bahan peledak dalam jumlah besar untuk membuat terowongan. Kata Abdullah, penggunaan bahan peledak juga memberikan pengaruh dan berpotensi membuat fracture (patahan) baru.

“Jelas berpengaruh. Tapi bagaimana pengaruhnya mungkin mereka sudah menghitung atau bagaimana saya belum tahu,” ungkapnya.

Penggunaan bahan peledak, kata dia, bisa menjadi pemicu ampifikasi batuan yang ada di sana. Sehingga, dia kembali menekankan untuk dilakukan penelitian detil.

“Penelitian harus meyakinkan itu diteruskan atau tidak atau dipindahkan. saya juga belum bisa mengatakan sekarang. Tapi yang jelas Sudah wanti-wanti. Para ahli di seluruhdunia sama kesepakatannya, itu berada di zona merah,” jelasnya.

Dari skala 1-10, PLTA Batangtoru berada di angka enam dari sisi bahaya karena dibangun di dalam zona merah.

Koordinator Kuasa Hukum WALHI sebagai penggugat, Golfrid Siregar dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Jimmy Claus Pardede terus mempertanyakan kenapa aspek geofisika terkesan dikesampingkan. Menilik dari dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PLTA.

“Makanya kita pertanyakan, ini masalah bendungan. Ini masalah Dam. Bahwa mereka mengetahui lokasi itu rawan gempa. Tapi kenapa mengenyampingkan geologinya,” tukasnya.

Dalam persidangan tadi, pihak NSHE juga mendatangkan Ketua Tim Penyusunan Amdal Jonis Ginting. Namun sayangnya, Jonis enggan dimintai keterangan.

“Kalau untuk wawancara saya tidak ada waktu,” ujarnya sambil berlalu dengan beberapa orang dari NSHE.

Rizal Kapita, salah seorang pejabat NSHE tidak menjawab saat dihubungi via seluler. Pesan singkat yang dilayangkan juga tidak ditanggapi.

Pembangunan PLTA berkapasitas 510 Megawatt itu terus menuai polemik. Selain berpotensi menimbulkan bahaya baru, pembangunan PLTA menjadi ancaman bagi spesies Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) yang baru diumumkan pada November 2017 lalu. Jumlahnya yang berada di angka di bawah seribu ekor menempatkannya dalam status terancam punah.

Selain orangutan Tapanuli, banyak satwa dilindungi lainnya di dalam hutan (Harangan) Batangtoru. Seperti Harimau Sumatera, Beruang Madu, oa, dan jenis unggas yang dilindungi.

Pembangunan PLTA akan membuat fragmentasi antara blok barat dan blok Timur serta suaka margasatwa sebagai habitat Orangutan Tapanuli. Walhi bersama organisasi yang aktif di bidang lingkungan dan satwa dilindungi terus melakukan kampanye penolakan terhadap PLTA.

Sidang gugatan rencananya akan dilanjutkan pekan depan. Walhi akan menghadirkan saksi ahli dari Perancis. Sedangkan tergugat juga akan mendatangkan saksi ahli. (yugo/budi)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/